|
|
KISAH PERJALAN NABI MUHAMMAD SAW

Hakikat dakwah para nabi sebelumnya adalah
menyebarkan Islam, begitu juga ajaran yang dibawa oleh Nabi yang terakhir
adalah Islam. Beliau saw adalah Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthalib, anak
seorang wanita Quraisy. Beliau saw adalah pemimpin anak-anak Nabi Adam as.
Beliau saw adalah hamba Allah SWT dan Rasul-Nya, serta
rahmat Allah SWT yang dihadiahkan kepada umat manusia.
Beliau saw lahir di tanah Arab. Ketika itu
malam gelap, tiba-tiba Abdul Muthalib membayangkan bahwa matahari telah terbit,
lalu ia bangun dan ternyata mendapati dirinya di pertengahan malam, keheningan
yang luar biasa menyelimuti gurun yang terbentang. Ia menuju pintu kemah, lalu
menyaksikan bintang-bintang bersinar di langit, dan dunia tampak di selimuti
dengan malam. Ia kembali menutup pintu kemah dan tidur. Belum lama ia dikuasai
oleh rasa kantuk yang amat sangat, sehingga ia kembali bermimpi untuk kedua
kalinya. Segala sesuatunya tampak jela s kali ini, Sesungguhnya sesuatu yang
besar memerintahnya untuk melaksanakan perintah yang sangat penting,
"Galilah zamzam!" Dalam mimpinya Abdul Muthalib bertanya:
"Apakah itu zamzam?" Kemudian untuk kedua kalinya perintah itu
mengatakan bahwa ia diperintahkan untuk menggali zamzam. Belum lama Abdul
Muthalib melihat sesuatu yang bersembunyi itu, sehingga ia berdiri di tempat
tidurnya dan hatinya berdebar dengan keras. Abdul Muthalib bangkit, lalu ia
membuka pintu kemah kemudian pergi ke gurun yang luas. Apakah arti zamzam?
Tiba-tiba pikirannya dipenuhi dengan cahaya yang datang dari jauh, bahwa pasti
zamzam adalah sebuah sumur, tetapi apa yang diinginkan oleh suara yang datang
dalam tidur itu agar ia menggali sumur, di sana tidak ada jawaban selain satu
jawaban dari pertanyaan ini, yaitu agar orang-orang yang berhaji dan
berkeliling di sekitar Ka'bah dapat meminumnya. Tetapi apa nilai dari sumur itu
sendiri, bukankah di sana terdapat banyak sumur yang dapat diminum oleh
orang-orang yang berhaji.
Abdul Muthalib duduk di tengah-tengah
pasir gurun pada pertengahan malam, ia memikirkan bintang-bintang sembari
merenungkan cerita-cerita kuno yang mengatakan tentang sumur yang memancar
darinya air sebagai akibat dari pukulan kaki Nabi Ismail as, di sana juga ada
cerita yang mengatakan bahwa sumur itu telah binasa sesuai dengan perjalanan
zaman.
Matahari terbit di atas gurun Jazirah
Arab, Abdul Muthalib keluar menemui orang-orang, dan menceritakan kepada mereka
bahwa ia akan menggali sebuah sumur di tempat tertentu, ia menunjukkan ke
tempat yang di situ ia diberitahu oleh suara yang ada dalam mimpinya.
Orang-orang Quraisy menolaknya, Sesungguhnya tempat yang diisyaratkan oleh
Abdul Muthalib terletak di antara dua berhala dari berhala-berhala yang biasa
disembah oleh masyarakat setempat, yaitu di antara berhala yang bernama Ashaf
dan NAllah. Abdul Muthalib merasa bahwa usahanya sia-sia untuk meyakinkan
kaumnya agar mengizinkannya untuk menggali sumur. Mereka mengetahui bahwa Abdul
Muthalib tidak mempunyai sesuatu selain hanya seorang anak. Bahwasanya ia tidak
memiliki anak-anak yang dapat menolong dan memperkuatnya serta melaksanakan
keinginan-keinginannya.
Pada saat itu di kawasan negeri Arab
dipenuhi dengan kabilah-kabilah yang terjalin suatu ikatan fanatisme atau
kesukuan yang kuat dan usaha untuk melindungi keluarga yang sangat menonjol.
Akhirnya Abdul Muthalib pergi dalam keadaan sedih, lalu ia berdiri di hadapan
Ka'bah dan mengungkapkan suatu nazar kepada Allah SWT. Ia berkata: "Jika
aku mendapat sepuluh anak laki-laki, dan mereka menginjak usia dewasa, sehingga
mereka mampu melindungiku saat aku menggali sumur Zamzam, maka aku akan
menyembelih salah seorang dari mereka di sisi Ka'bah sebagai bentuk
korban."
Pintu langit pun terbuka untuk doanya.
Belum sampai berlangsung satu tahun, istrinya melahirkan anaknya yang kedua dan
setiap tahun ia melahirkan anak laki-laki sampai pada tahun yang kesembilan,
sehingga Abdul Muthalib mempunyai sepuluh anak laki-laki. Kemudian berlalulah
zaman dan anak-anak Abdul Muthalib menjadi besar.
Abdul Muthalib akhirnya menjadi seseorang
yang memiliki kemampuan. Kemudian Abdul Muthalib berusaha melakukan rencananya
yang diisyaratkan dalam mimpinya itu, yaitu ia bersiap-siap untuk mengorbankan
salah satu anaknya sebagai bentuk pelaksanaannya dari nazarnya. Maka
dilakukanlah undian atas sepuluh anaknya, lalu keluarlah nama anaknya yang
paling kecil yaitu Abdullah. Ketika nama anak itu keluar dalam undian, maka
orang-orang yang ada disekitarnya berusaha memberontak, mereka mengatakan bahwa
mereka tidak akan membiarkan Abdullah disembelih.
Abdullah saat itu terkenal sebagai
seseorang yang bersih dikawasan Arab, ia telah dapat menarik simpati masyarakat
di sekitarnya. Ia tidak pernah menyakiti seseorang pun. Bahkan ia tidak pernah
meninggikan suaranya lebih dari orang lain. Senyuman khas Abdullah terkenal
sebagai senyuman yang paling lembut di kawasan Jazirah Arab. Muatan ruhaninya
demikian jernih, dan hatinya yang mulia menyerupai sebuah kebun di
tengah-tengah gurun hati-hati yang keras, oleh karena itu semua manusia datang
kepadanya dan menentang usaha penyembelihannya. Para pembesar Quraisy berkata,
"Lebih baik kami menyembelih anak-anak kami daripada ia harus disembelih,
dan menjadikan anak-anak kami sebagai tebusan baginya. Kami tidak akan
menemukan seseorang pun yang lebih baik dari dia seandainya kami
menyembelihnya, pertimbangkanlah kembali masalah itu, dan biarkan kami bertanya
kepada dukun."
Abdul Muthalib tampak tidak mampu
menghadapi tekanan ini, lalu ia mempertimbangkan kembali apa yang telah
ditetapkannya. Kemudian mereka mendatangi seorang dukun. Si dukun berkata:
"Berapakah taruhan yang kalian miliki?" Mereka menjawab:
"Sepuluh ekor unta." Dukun itu berkata: "Datangkanlah sepuluh
unta, lalu lakukanlah kembali undian atasnya dan atas nama Abdullah, jika
undian datang padanya, maka tambahlah sepuluh ekor unta lagi, lalu ulangilah
terus undian tersebut, demikian hingga tidak keluar lagi nama Abdullah."
Kemudian dilakukanlah undian atas nama
Abdullah dan atas sepuluh ekor unta yang besar. Undian itu pun mengeluarkan
terus nama Abdullah, hingga Abdul Muthalib menambah sepuluh ekor unta lagi,
kemudian lagi-lagi yang keluar nama Abdullah sehingga mereka pun menambah
sepuluh ekor unta lagi sampai jumlah unta itu telah mencapai seratus ekor unta.
Setelah itu, datanglah nama unta tersebut. Maka saat itu, masyarakat demikian
gembiranya sehingga berlinangan air mata, kegembiraan dari mereka karena
melihat Abdullah berhasil diselamatkan. Kemudian disembelihlah seratus ekor
unta di sisi Ka'bah, dan mereka membiarkannya di situ sehingga korban itu tidak
disentuh oleh seseorang pun dan juga disentuh oleh binatang-binatang buas.
Abdul Muthalib sangat gembira atas
keselamatan anaknya, Abdullah. Lalu ia menetapkan untuk menikahkannya dengan
gadis terbaik di Jazirah Arab, kemudian ia keluar dengannya pada suatu hari
dari Ka'bah ke rumah Wahab, dan di sana ia meminang untuknya Aminah binti
Wahab. Kemudian Aminah binti Wahab menikah dengan Abdullah bin Abdul Muthalib,
seorang pemuda yang paling mulia dan paling dicintai oleh orang-orang Quraisy.
Dinyalakanlah api-api di gunung-gunung
Mekah, agar para musafir dan para tamu mengetahui tempat diadakannya acara
tersebut, yaitu acara pernikahan antara Abdullah dan Aminah. Lalu disembelihlah
hewan-hewan korban, dan manusia dari kalangan orang-orang fakir bahkan binatang-binatang
buas dan burung makan darinya. Abdullah tinggal bersama istrinya dua bulan di
rumah pernikahan, hingga suatu hari ada kabar bahwa kafilah akan berangkat,
lalu Abdullah pun mengikuti kafilah tersebut dan melakukan perjalanan bersama
kafilah perdagangan Quraisy menuju Syam, itu adalah kesempatan terakhir yang
diperoleh Aminah binti Wahab bersamanya. Wajah Abdullah yang mulai tampak
berseri-seri mengucapkan selamat tinggal kepada Aminah, lalu setelah itu
bayang-bayang wajahnya tersembunyi bersama kafilah dan rnereka pun hilang.
Aminah tidak mengetahui bahwa itu adalah kesempatan terakhirnya setelah dua
bulan dari perkawinannya. Abdullah mengunjungi paman-pamannya dari kabilah bani
Najar di Madinah, dan di sana ia meletakkan jasadnya di muka bumi, ia meninggal
dunia.
Abdullah bin Abdul Muthalib kini telah
meninggal. Saat itu ia berusia dua puluh lima tahun. Kabar kematiannya
tiba-tiba tersebar dan sangat memilukan hati orang-orang yang mendengarnya,
sehingga kabar itu sampai ke istrinya. Aminah tampak menangis tersedu-sedu dan
ia tampak menyampaikan pertanyaan-pertanyaan pada dirinya dan tidak mengetahui
jawabannya, mengapa Allah SWT menebusnya dengan seratus unta jika kemudian Dia
menetapkan kematian baginya.
Tidak lama kemudian, lalu bergeraklah
dirahimnya janin dengan gerakan yang sedikit, ia tampak mulai mengetahui bahwa
ia sedang hamil. Aminah menangis dua kali, pertama ia menangis untuk dirinya
sendiri dan kali ini ia menangis untuk anak yang ditinggal mati ayahnya sebelum
ia sempat dilahirkan. Aminah tidak pernah mengetahui sebelumnya bahwa janin
yang dikandungnya akan menjadi anak yatim, ayahnya meninggal saat ia
dilahirkan.
Anak yatim ini harus menanggung beban
anak-anak yatim dan orang-orang fakir serta orang-orang yang sedih di muka
bumi. Ia akan menjadi Nabi yang terakhir dan rasul-Nya kepada manusia. Ia akan
menjadi rahmat yang dihadiahkan kepada manusia dan tidak akan mengetahui makna
rahmat kecuali orang yang merasakan penderitaan dan kepahitan. Inilah anak
kecil yang sebelum dilahirkan telah menelan kesedihan. Dan berlalulah hari demi
hari, lalu hilanglah tangisan penderitaan dan mata Aminah pun telah mengering,
namun kesedihannya tampak menyerupai sebuah pohon yang turnbuh bersama
kehausan.
Kemudian kesedihannya hari demi hari
semakin ia rasakan tetapi kesedihannya itu mulai tidak tampak ketika ia
mendapatkan bahwa janin yang dikandungnya tidaklah memberatkannya, sebaliknya
ia merasakan betapa ringannya janin yang dikandungnya bagaikan merpati yang
berkeliling di seputar Ka'bah, dan seandainya kesedihannya yang selalu
mengitarinya, maka tidak ada wanita yang lebih bahagia darinya dengan kehamilan
yang ringan ini. Janin itu adalah manusia yang mulia di sisi Tuhan, kemudian
semakin dekatlah hari kelahirannya. Sementara itu, pasukan Abrahahh mendekati
Mekah.
Abrahahh adalah seorang penguasa Yaman,
yaitu pada saat Yaman tunduk kepada Habasyah setelah penguasa Persia diusir. Di
Yaman ia membangun suatu gereja yang menunjukkan bangunan yang menakjubkan.
Abrahahh membangunnya dengan niat agar orang-orang Arab berpaling dari Baitul
Haram di Mekah. Ia melihat betapa orang-orang Yaman tertarik dengan rumah
tersebut. Dan ketika ia tidak melihat gereja yang dibangunnya memiliki daya
tarik seperti itu dan tidak mampu menarik hati orang-orang Arab, maka ia berkeinginan
kuat untuk menghancurkan Ka'bah, sehingga orang-orang tidak menuju ke Ka'bah
lagi melainkan ke gerejanya. Demikianlah akhirnya ia menyiapkan pasukan yang
besar yang dipenuhi dengan berbagai senjata, kemudian pasukan itu menuju
Ka'bah.
Pasukan Abrahahh terdiri dari kelompok
gajah yang besar yang digunakannya untuk menghancurkan Ka'bah. Gajah-gajah itu
bagaikan tank-tank yang kita gunakan saat ini. Orang-orang Arab pun mendengar
rencana tersebut. Memang orang-orang Arab saat itu terkenal sebagai penyembah
berhala, meskipun demikian mereka sangat memberikan penghargaan dan
penghormatan terhadap Ka'bah, karena mereka meyakini bahwa mereka adalah
anak-anak Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as pemelihara Ka'bah.
Perjalanan pasukan tiba-tiba dihadang oleh
seorang lelaki yang mulia dari penduduk Yaman yang bernama Dunaher. Ia mengajak
kaumnya dan dari kalangan orang-orang Arab untuk memerangi Abrahahh, sehingga
ada beberapa orang yang mengikutinya. Abrahahh berhadapan dengan tentara
tersebut tetapi pasukan yang sedikit itu dapat dengan mudah dipatahkan oleh
pasukan kafir yang besar itu. Kemudian Dunaher pun kalah dan menjadi tawanan
Abrahahh. Pasukan Abrahahh tersebut juga sempat ditentang oleh Nufail bin
Hubaid al-Aslami, namun Abrahahh pun dapat mengalahkan mereka dan berhasil
menawan Nufail.
Kemudian ketika Abrahahh melewati kota
Taif, menghadaplah kepadanya beberapa orang tokoh setempat, dan mereka tampak
gemetar ketakutan dan berkata kepadanya bahwa sesungguhnya 'rumah' yang
ditujunya tidak berada di tempat mereka, tetapi berada di Mekah. Hal itu mereka
sampaikan dengan maksud untuk memalingkannya dari rumah berhala mereka, di mana
mereka membangun di dalamnya berhala yang bernama Latha kemudian mereka
mengutus seseorang yang akan menunjukkan kepada Abrahahh letak Ka'bah. Ketika
Abrahahh berada di antara Taif dan Mekah, ia mengutus seorang pemimpin
pasukannya sehingga ia melihat keadaan Mekah. Di sana ia merampas banyak harta
dari kaum Quraisy dan selain mereka, dan di antara yang dirampasnya adalah dua
ratus unta milik Abdul Muthalib bin Hasyim. Saat itu Abdul Muthalib adalah
salah seorang pembesar Quraisy dan pemimpin mereka, serta pengawas sumur
Zamzam.
Kedatangan utusan Abrahahh di Mekah telah
menimbulkan gejolak pada kabilah-kabilah. Akhirnya kaum Quraisy bergerak,
begitu juga kaum Khananah. Kemudian mereka mengetahui bahwa mereka tidak
memiliki kemampuan untuk melawan Abrahahh, sehingga mereka membiarkannya, lalu
tersebarlah di Jazirah Arab berita tentang datangnya pasukan yang kuat yang
sulit untuk ditandingi. Dalam surat yang dibawa oleh utusannya itu, Abrahahh
menyampaikan bahwa ia tidak datang untuk memerangi mereka, namun ia datang
hanya untuk menghancurkan Ka'bah. Jika mereka tidak menentangnya, maka darah
mereka tidak akan ditumpahkan. Lalu utusan itu menemui Abdul Muthalib, ia
menceritakan tentang keinginan Abrahahh. Abdul Muthalib berkata: "Kami
tidak ingin memeranginya karena kami tidak memiliki kekuatan. Ka'bah adalah
rumah Allah SWT yang mulia dan suci, dan rumah kekasih-Nya Ibrahim. Jika Ia mencegahnya,
maka itu adalah rumah-Nya dan tempat suci-Nya, namun jika Ia membiarkannya,
maka demi Allah kami tidak memiliki kekuatan untuk mempertahankannya."
Kemudianutusan itu pergi bersama Abdul Mutihalib menuju Abrahahh.
Abdul Muthalib adalah seseorang yang
sangat terpandang dan sangat mulia. Ia memiliki kewibawaan dan kehormatan yang
mengagumkan. Ketika Abrahahh melihatnya, Abrahahh menampakkan penghormatan
kepadanya. Abrahahh memuliakannya dan mendudukannya di bawahnya, ia tidak suka
bahwa ia duduk bersamanya di kursi kekuasaannya. Lalu Abrahahh turun dari
kursinya dan duduk di atas sebuah permadani dan mendudukkan Abdul Muthalib di
sisinya. Kemudian ia berkata kepada penerjemahnya: "Katakan padanya apa
kebutuhannya?" Abdul Muthalib berkata: "Kebutuhanku adalah agar
Abrahahh mengembalikan dua ratus ekor unta yang diambilnya dariku" Ketika
Abdul Muthalib mengatakan demikian, wajah Abrahahh berubah, lalu ia berkata
kepada penerjemahnya: "Katakan padanya sungguh aku merasa kagum ketika
melihatnya, kemudian aku merasakan kehati-hatian saat berbicara dengannya,
apakah engkau berbicara denganku tentang dua ratus ekor unta yang telah aku
ambil, lalu engkau membiarkan rumah yang merupakan simbol agamanya dan
kakek-kakeknya, yang aku datang untuk menghancurkannya dan dia tidak
menyinggungnya sama sekali" Abdul Muthalib menjawab: "Aku adalah
pemilik unta, sedangkan pemilik rumah itu adalah Tuhan yang
melindunginya." Abrahahh berkata: "Dia tidak akan mampu melindunginya
dariku." Abdul Muthalib menjawab: "Lihat saja nanti!"
Selesailah dialog antara Abdul Muthalib
dan Abrahahh. Abrahahh pun mengembalikan unta yang telah dirampasnya. Abdul
Muthalib pergi menemui orang-orang Quraisy dan menceritakan apa yang
dialaminya, dan ia memerintahkan mereka untuk meninggalkan Mekah dan berlindung
dibalik gua-gua di gunung. Akhirnya kota Mekah dikosongkan oleh pemiliknya.
Aminah binti Wahab keluar ke gunung-gunung di dekat kota Mekah kemudian
malaikat turun di bumi Jarzirah Arab.
Abdul Muthalib berdiri dan memegangi pintu
Ka'bah dan berdiri bersama dengan sekelompok orang-orang Quraisy, mereka berdoa
kepada Allah SWT dan meminta perlindungan-Nya, agar para malaikat memerintahkan
gajah-gajah tidak melangkahkan kakinya sehingga gajah itu pun tetap di
tempatnya dan menaati perintah para malaikat, kemudian gajah-gajah itu menerima
pukulan yang dahsyat namun gajah-gajah itu tetap berdiam di tempatnya,
gajah-gajah itu tampak gemetar dan berteriak tetapi lagi-lagi gajah-gajah itu
menolak untuk bergerak dan tidak bergerak selangkah pun. Abrahahh bertanya:
"Mengapa pasukan tidak bergerak?" Kemudian dikatakan kepadanya bahwa
gajah-gajah menolak untuk bergerak. Abrahah mengangkat cemetinya. Dengan muka
emosi, ia ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi dengan gajah-gajahnya.
Matahari saat itu bersinar dan ia duduk di
kemahnya. Ketika ia keluar, matahari bersembunyi di balik segerombolan burung.
Abrahah mengangkat pandangannya ke arah langit. Mula-mula ia membayangkan bahwa
ia melihat sekawanan awan yang hitam. Kemudian ia mengamat-amati awan itu. Dan
ternyata ia bukan awan biasa. Itu adalah sekelompok burung yang menutupi cahaya
matahari dan menyerupai awan yang tebal. Burung ababil, burung yang banyak.
Gajah-gajah semakin berteriak dengan
kencang dan tampak ketakutan. Dan rasa takut itu kini menghinggapi seluruh
pasukan. Abrahah berteriak di tengah-tengah pasukannya agar gajah diusahakan
untuk maju secara paksa. Kemudian terbukalah salah satu jendela dari jendela
al-Jahim, dan burung-burung itu menghujani pasukan dengan batu dari Sijil,
yaitu batu yang sama yang pernah dihujankan kepada kaum Nabi Luth. Batu itu
menyerupai bom-bom atom yang digunakan saat ini.
Jika Anda membaca buku-buku kuno, maka
Anda akan mengetahui bagaimana peristiwa yang menimpa pasukan Abrahah. Anda
akan membayangkan bahwa Anda berada di hadapan suatu kekuatan yang
menghancurkan yang tidak diketahui asal muasalnya. Dunia mengenali sebagian
darinya setelah empat belas abad dari peristiwa tersebut. Buku-buku itu
mengatakan bahwa pasukan itu dihancurkan dengan penghancuran yang dahsyat.
Para tentara Abrahah kembali dalam keadaan
binasa di mana daging-daging dari tubuh mereka berceceran di jalan. Abrahah pun
mendapatkan luka dan mereka keluar dari tempat itu dalam keadaan dagingnya
terpisah satu persatu. Abrahah pun terbelah dadanya dan mati. Kemudian jasad
para pasukannya tersebar dan berceceran di bumi, seperti tanaman yang dimakan
oleh binatang. Setelah mendekati setengah abad, turunlah suatu surah di Mekah
yang menceritakan tentang peristiwa itu:
"Apakah kamu tidak memperhatikan
bagimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara gajah? Bukankah Dia telah
menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka 'bah) itu sia-sia? Dan Dia
mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka
dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadihan mereka
seperti daun yang dimakan (ulat)." (QS. al-Fil: 1-5)
Pasukan gajah yang ingin
memporak-porandakan Mekah dikalahkan. Kemudian mereka dihancurkan dan Tuhan
pemilik Ka'bah berhasil melindungi rumah suci-Nya. Perlindungan tersebut bukan
sebagai penghormatan bagi orang yang tinggal di rumah itu dan bukan sebagai
bentuk pengkabulan doa kaum yang menyembah berhala yang memenuhi tempat itu.
Allah SWT sebagai Pelindung Ka'bah memeliharanya karena adanya hikmah yang
tinggi; Allah SWT menginginkan sesuatu bagi rumah itu; Allah SWT ingin
melindunginya agar tempat itu menjadi tempat yang damai bagi manusia dan supaya
tempat itu menjadi pusat dari akidah yang baru dan menjadi tanah bebas yang
aman, yang tidak dikuasai oleh seseorang pun dari luar dan juga tidak
didominasi oleh pemerintahan asing yang akan membatasi dakwah. Yang demikian
itu karena di sana terdapat rumah dari rumah-rumah di Mekah yang lahir di sana
seorang anak di mana ibunya bernama Aminah binti Wahab dan ayahnya adalah
Abdullah, salah seorang tokoh Arab. Anak itu belum dilahirkan dan belum dapat
tugas kenabian dan ia belum memikul Islam di atas pundaknya dan belum menjadi
rahmat bagi alam semesta. Kemudian datanglah Abrahah yang ingin menghancurkan semua
ini tanpa ia mengetahui semua rahasia ini.
Tragedi yang menimpa Abrahah adalah karena
bahwa ia berusaha menentang kehendak Ilahi sehingga kehendak Ilahi itu
menghancurkannya dengan mukjizat yang mengagumkan. Datanglah banyak burung
dengan membawa batu-batuan yang tidak didengar suaranya. Kemudian burung-burung
melemparkan batu-batu itu kepada Abrahah beserta tentaranya. Semua ini
berdasarkan rencana Ilahi terhadap rumah-Nya dan agama-Nya serta nabi-Nya
sebelum orang mengetahui bahwa Nabi Islam telah bersiap-siap untuk meninggalkan
tempat tidurnya di perut ibunya dan mulai memasuki kehidupan yang keras di muka
bumi.
Di tengah-tengah kegembiraan Mekah karena
keselamatan penghuninya dan selamatnya Ka'bah, Aminah binti Wahab bermimpi: di
tengah suatu malam ia menyaksikan dirinya berdiri sendirian di tengah-tengah
gurun, dan telah keluar dari dirinya suatu cahaya besar yang menyinari timur
dan barat dan terbentang hingga langit. Aminah tiba-tiba terbangun dari
tidurnya namun ia tidak mengetahui tafsir dari mimpinya.
Berlalulah hari demi hari dari tahun
gajah. Dan pada waktu sahur dari malam Senin hari keduabelas dari bulan Rabiul
Awal, Aminah melahirkan seorang anak kecil yang yatim yang bernama Muhammad bin
Abdillah bin Abdul Muthalib, seorang cucu dari Ismail bin Ibrahim bin Adam.
Sebelum ia dilahirkan, dunia mati karena
kehausan padanya. Kehausan dunia sangat besar kepada cinta, rahmat, dan
keadilan. Sekarang teiah berlalu 600 tahun dari kelahiran al-Masih dan
orang-orang Masehi telah menjauhi ajaran cinta, bahkan keyakinan-keyakinan
berhalaisme telah meresap kepada sebagian kelompok mereka dan kejernihan ajaran
tauhid telah ternodai. Sedangkan orang-orang Yahudi telah meninggalkan
wasiat-wasiat Musa dan mereka kembali menyembah lembu yang terbuat dari emas. Dan
setiap orang dari mereka lebih memilih untuk memiliki lembu emas yang khusus.
Demikianlah, berhalaisme telah menyerang di bumi. Bumi dipenuhi oleh kegelapan.
Akal disingkirkan dan Tuhan diiupakan dan mereka menyerahkan diri mereka kepada
pembohong.
Ketika jantung dunia telah terkena
kekeringan, maka memancarlah dari timur suatu mata air keimanan yang jernih
yang menjadi puas dengannya separo dunia. Dan mukjizat besar terjadi ketika
mata air ini mengeluarkan air yang jernih dari jantung gurun yang paling besar
ketandusannya di dunia, yaitu gurun jazirah Arab. Berkenaan dengan penggambaran
masa tersebut, dalam hadis yang mulia dikatakan: "Sesungguhnya Allah
melihat penduduk bumi lalu Dia murka kepada mereka, baik orang-orang Arab
maupun orang-orang Ajam kecuali sebagian kecil dari Ahlulkitab."
Di tenda yang kasar, lahirlah seorang anak
yatim yang kemudian bertanggung jawab untuk memberikan minum kepada dunia yang
haus pada cinta, keadilan, kebebasan, serta kebenaran. Sementara itu, beberapa
langkah dari tempat kelahirannya terdapat berhala-berhala yang memenuhi Baitul
'Athiq dan sekitar Ka'bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail agar
menjadi rumah Allah SWT dan Dia disembah di dalamnya dan manusia merasa
tenteram di dalamnya. Di rumah yang kuno ini—yang dibangun sebelumnya oleh
Adam—dipenuhi patung-patung tuhan yang terbuat dari batu dan kayu. Ini
menunjukkan betapa akal orang-orang Arab saat itu mengalami titik terendah.
Sementara itu nun jauh di sana, tepatnya
di Yatsrib atau Madinah dipenuhi oleh orang-orang Yahudi yang mereka datang di
sana karena melarikan diri dari penindasan orang-orang Romawi. Mereka tinggal
di situ bagaikan srigala-srigala di atas tanah yang tersubur di mana mereka
melakukan monopoli dalam perdagangan. Mereka membagun kejayaan mereka dengan
memanfaatkan orang-orang Arab dan keheranan mereka terhadap diri mereka
sendiri.
Para cendikiawan Yahudi memperdagangkan
segala sesuatu, dimulai dari emas sampai Taurat. Mereka menyembunyikan
kertas-kertas darinya dan menampakkan sebagiannya; mereka mengubah
kertas-kertas Taurat itu untuk memperkaya diri mereka. Pada saat orang-orang
Yahudi menyembah emas dan sangat lihai melakukan persekongkolan, orang-orang
Arab justru menyembah batu dan mereka pandai berperang. Mereka juga lihai dalam
membuat syair lalu menggantungkannya di atas tirai-tirai Ka'bah. Orang-orang
Arab hidup di bawah naungan sistem kesukuan di mana kepala suku adalah pemimpin
dan nilainya sebanding dengan anak buahnya, dan kemampuan mereka dalam
berperang. Dan keutamaan seseorang dilihat dari asal muasalnya serta nilainya
juga dilihat dari kefanatikannya serta kebanggannya kepada nasab yang merupakan
kemuliannya, juga kefanatikannya terhadap berhala tertentu yang merupakan
agamanya. Jadi, segala bentuk kemuliaan dan kewibawaan tidak terbentuk kecuali
dalam ruang lingkup yang sempit dalam kabilah atau kesukuan.
Sedangkan di tempat yang jauh dari Mekah,
Romawi menyerupai burung rajawali yang lemah, namun belum sampai kehilangan
kekuatannya. Orang-orang Romawi sangat menyanjung kekuatan. Sedangkan di
belahan timur dari utara negeri Arab, orang-orang Persia menyembah api dan air.
Api tetap menyala di tempat peribadatan mereka di mana manusia rukuk untuknya.
Dan di sana terdapat danau Sawah yang dianggap suci oleh mereka.
Sementara itu, Kisra, raja kaum Persia
duduk di atas singgasananya dan memberikan keputusan terhadap manusia.
Keputusan Kisra selalu didengar dan dilaksanakan. Tidak ada seorang pun yang
berani menentangnya dan menolaknya. Orang-orang Persia berhasil mengalahkan Romawi
dan Yunani, sehingga mereka menjadi kekuatan yang dahsyat di muka bumi.
Meskipun mereka memiliki kekuatan yang sangat luar biasa, namun penyembahan api
jelas-jelas menunjukkan betapa bodohnya mereka dan betapa kekuatan mereka
diliputi oleh kebodohan sehingga akal mereka tercabut dan mereka terhalangi
untuk mencapai kebenaran. Alhasil, kegelapan semakin meningkat di setiap
penjuru bumi dan kehidupan berubah menjadi hutan yang lebat di mana di dalamnya
seorang yang kuat akan menyingkirkan seorang yang lemah dan di dalamnya yang
menang adalah kebatilan.
Di tengah-tengah suasana yang demikian
kelam, lahirlah seorang anak di tenda Mekah. Ketika anak tersebut lahir, maka
padamlah api yang disembah oleh kaum Persia dan keringlah danau Sawah yang
disucikan oleh manusia, bahkan robohlah empat belas loteng dari istana Kisra.
Dan setan merasa bahwa penderitaan yang besar telah merobek-robek hatinya. Ini
semua sebagai simbol dimulainya kehancuran kejahatan atau keburukan di muka
bumi dan terbebasnya akal manusia dari penyembahan terhadap sesama manusia atau
terhadap hal-hal yang bersifat khurafat. Manusia diajak hanya untuk menyembah
kepada Allah SWT. Kelahiran Rasul sebagai bukti hilangnya kelaliman,
sebagaimana kelahiran Nabi Musa yang menunjukkan kebebasan Bani Israil dari
kelaliman Fir'aun.
Ajaran Muhammad bin Abdillah merupakan
ajaran revolusi yang paling meyakinkan dan yang paling penting yang pernah
dikenal di dunia; ajaran yang bertugas untuk menyelamatkan dan membebaskan akal
dan materi. Tentara Al-Qur'an adalah tentara yang paling adil dan paling berani
untuk menghancurkan orang-orang yang lalim. Kita akan melihat dalam sejarah
Nabi bahwa kejadian-kejadian luar biasa telah mengelilingi Ka'bah sebelum
kelahirannya. Kemudian terjadilah peristiwa luar biasa setelah kelahirannya di
mana terjadilah peristiwa pembelahan dada pada saat beliau masih kecil, begitu
juga beliau dinaungi oleh awan di waktu kecil, bahkan beliau terkenal pada saat
masih kecil dengan kecenderungan untuk meninggalkan permainan-permainan yang biasa
dimainkan oleh anak-anak kecil seusia beliau. Allah SWT memberikan penjagaan
khusus kepadanya sehingga Jibril as turun kepadanya dengan membawa wahyu.
Selanjutnya, mukjizatnya yang pertama
adalah mukjizat yang terdapat pada kepribadiannya dan pemikiran-pemikirannya.
Itulah yang menjadi mukjizatnya yang terbesar setelah Al-Qur'an; itu adalah
bangunan ruhani yang tinggi di mana beliau mampu menahan penderitaan di jalan
Allah SWT. Dan dalam menegakkan kebenaran, beliau memikul berbagai macam
rintangan. Beliau melaksanakan amanat yang diembannya secara sempuma dan
sebaik-baik mungkin. Hal yang indah yang dikatakan tentang mukjizat Nabi
setelah diutusnya beliau adalah bahwa beliau tidak mempunyai mukjizat selain
usaha membebaskan akal: tanpa memiliki kekuatan luar biasa selain membebaskan
pikiran, tanpa dalil selain kalimat Allah SWT.
Sedangkan Isa bin Maryam telah berdakwah
dan mengajak manusia untuk menciptakan kesamaan, persaudaraan, dan cinta kasih
di antara mereka, namun Muhammad saw diberi karunia untuk mewujudkan persamaan,
persaudaraan, dan cinta kasih di antara orang-orang mukmin di tengah-tengah
kehidupannya dan setelah kehidupannya.
Ketika Nabi Isa mampu menghidupkan
orang-orang yang mati dan mengeluarkan mereka dari kuburan, Muhammad bin
Abdillah menghidupkan orang-orang hidup dari kematian mereka yang tidak pernah
mereka sadari. Itu adalah bentuk kematian yang paling berat. Beliau juga
mengeluarkan rnereka dari kegelapan dan kebodohan menuju cahaya ilmu, dan dari
belenggu syirik dan kekufuran menuju dunia tauhid.
Sulaiman sebagai seorang Nabi dan raja
mampu memperkerjakan jin untuk mengabdi padanya, bahkan mereka mampu terbang
beribu-ribu mil untuk menghadirkan singgasana musuh-musuhnya agar mereka semua
tercengang terhadap kemampuannya, sehingga mereka masuk Islam. Namun Muhammad
saw justru mengabdi kepada Islam hanya sebagai seorang tentara yang sederhana.
Beliau mengetahui bahwa ketika beliau lalai sesaat saja dari dakwah di jalan
Allah SWT, maka kesempatannya dalam menyebarkan agama Islam akan hilang.
Di saat terjadi peristiwa besar dalam
peperangan, tiba-tiba azan salat dikumandangkan, sehingga para pasukan yang
berperang mengerjakan salat. Tidak ada malaikat yang turun untuk melindungi
mereka ketika salat atau mencegah datangnya anak-anak panah dari punggung
mereka saat sujud. Karena itu, hendaklah para pasukan melindungi dirinya
sendiri. Para pasukan mukmin berusaha salat secara bergantian: sebagian mereka
salat dan sebagian mereka bertugas untuk menjaga.
Allah SWT berfirman:
"Dan apabila kamu berada di
tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama
mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) besertamu dan
menyandang senjata, kemudian apabila mereka sujud (telah menyempurnakan
serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi
musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu
bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan
menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin agar kamu lengah terhadap senjatamu
dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus."(QS. an-Nisa': 102)
Selesailah masalah itu dan tidak adak
malaikat yang turun untuk melindunginya dan menolongnya. Ini adalah masa
kematangan akal dan masa keletihan para nabi dan orang-orang mukmin. Dan sesuai
kadar keletihan mereka dalam menyampaikan ajaran Islam, mereka pun akan
mendapatkan balasan yang besar.
Pada masa para nabi sebelum Nabi Muhammad
saw, mereka menghadirkan mukjizat-mukjizat kepada kaum mereka saat memulai
dakwah, sehingga kaum tersebut mempercayai apa saja yang mereka bawa, sedangkan
Nabi Muhammad bin Abdillah tidak menghadirkan kepada kaumnya selain dirinya dan
ketulusannya.
Allah SWT telah memutuskan untuk
melindungi Musa dan memerintahkannya untuk mengangkat gunung di atas kaumnya
hingga mereka beriman kepada Taurat, atau untuk menjatuhkan gunung tersebut di
atas mereka. Ketika mengetahui hal yang Demikian itu, orang-orang Yahudi sujud
dengan meletakkan pipi mereka di atas tanah dan mereka mengamati bukit batu
yang berada di atas kepala mereka yang diangkat oleh tangan yang tersembunyi.
Sedangkan Nabi Muhammad bin Abdillah tak pernah memaksa seseorang pun.
Berimanlah beberapa orang kepadanya dan puaslah beberapa orang kepadanya dan
matilah bersamanya orang-orang yang mati dalam keadaan puas. Beliau tidak
membawa pedang kecuali saat panah yang beracun mendekati jantung Islam dan
mengancamnya.
Dakwah para nabi menuntut terjadinya
mukjizat demi mukjizat. Ini karena masa kekanak-kanakan manusia serta kelemahan
akal dan hilangnya panca indera menuntut rahmat Allah SWT untuk mendatangkan
mukjizat yang sesuai dengan masa turunnya mukjizat tersebut dan budaya
masyarakat setempat. Adalah hal yang maklum bahwa di tengah-tengah penduduk
Mekah saat itu tidak terdapat orang-orang yang cerdas atau orang-orang yang
bijak yang mampu menyerap kata-kata yang baik. Dan kesulitan yang dihadapi oleh
Islam adalah bahwa ia tidak diturankan pada masa ini saja, tetapi Islam
diturunkan untuk setiap masa. Allah SWT mengetahui bahwa manusia telah memasuki
masa kematangan berpikir yang mengagumkan, maka hikmah-Nya menuntut bahwa
pernyataan yang pertama kali disebutkan dalam risalah-Nya adalah "iqra'" (bacalah). Di samping itu, risalah
tersebut mengandung pemikiran yang universal, sistem yang membangun, dan hukum
yang mempesona, serta kebebasan yang diidamkan, dan manusia yang sempurna.
Adalah tidak mengurangi kehormatan para
nabi sebelum Nabi Muhammad saw di mana mereka tidak diutus di masa-masa
kematangan pemikiran, tetapi yang menambah kehormatan Nabi Muhammad saw bahwa
beliau diutus di tengah-tengah masa kematangan berpikir, dan beliau diutus
sebelum datangnya masa ini. Beliau memikul berbagai lipat cobaan yang pernah
dipikul oleh para nabi; beliau berdakwah dengan menanggung berbagai lipat
godaan dan cobaan; beliau mengalami siksaan yang pernah dialami oleh semua para
nabi; beliau mencintai Allah SWT sebagaimana para nabi mencintai-Nya. Allah SWT
memuliakannya ketika beliau mengimami mereka di saat salat pada saat beliau melakukan
Isra' dan Mi'raj. Meskipun demikian, ketika beliau keluar pada suatu hari
menemui sahabat-sahabatnya dan mendapati mereka mengutamakan para nabi dan
mendahulukannya atas mereka, maka beliau justru menampakkan kemarahan dan
wajahnya berubah. Beliau berkata: "Janganlah kalian mengutamakan aku atas
Yunus bin Mata."
Melalui pernyataan itu, beliau berusaha
meletakkan suatu pondasi pemikiran yang harus dilalui oleh kaum Muslim di mana
para nabi memang memiliki derajat tertentu di sisi Allah SWT. Boleh jadi ada
nabi yang lebih afdal atau yang lebih mulia daripada yang lain. Siapakah yang
menetapkan hal itu? Tidak ada seorang pun selain Allah SWT. Ada pun kaum Muslim
hendaklah mereka berhenti pada batas tertentu yang seharusnya mereka berikan
berkaitan dengan sopan santun terhadap para nabi. Selama Allah SWT menyampaikan
shalawat kepada rasul sebagai bentuk penghormatan dan memerintahkan mereka
untuk menyampaikan shalawat kepadanya, dan selama Rasulullah seperti nabi-nabi
yang lain, maka hendaklah mereka juga bershalawat kepada semua nabi tanpa
perbedaan, meskipun pada bentuk shalawat itu sendiri.
Sementara itu, bayi yang mungil itu yang
lahir di Mekah bergerak setelah tahun gajah. Kemudian berita tersebar di sana
sini dan Sampailah ke telinga kakeknya bahwa cucunya telah dilahirkan. Abdul
Muthalib segera menuju ke tempat itu dan membawa cucunya yang yatim lalu
berkeliling dengannya di Ka'bah sambil memikirkan namanya. Abdul Muthalib tidak
merasa terpukau dengan nama-nama yang mulai beredar di benaknya. Ia tampak
bingung menentukan nama yang paling tepat buat cucunya, bahkan kebingungannya
itu berlanjut sampai enam hari, sehingga sang Nabi disunat. Ketika malam telah
menyelimuti kawasan Mekah, datanglah kepadanya suara yang sama yang dulu pernah
dilihatnya dan didengarnya yang memerintahkannya untuk menggali zamzam. Di
tengah-tengah tidurnya, suara itu membisikkan kepadanya bahwa nama cucunya
berasal dari al-Ham, yang berarti Muhammad atau Ahmad.
Orang-orang Quraisy bertanya kepada Abdul
Muthalib: "Nama apa yang engkau berikan kepada cucumu?" Abdul
Muthalib menjawab sambil mengingat bisikan suara yang didengarnya saat mimpi,
"Muhammad." Nama tersebut sebenamya tidak umum di kalangan
orang-orang Jahilliyah. Mereka bertanya, "Mengapa Abdul Muthalib tidak
memakai narna-nama kakek-kakeknya dan nama-nama yang biasa dipakai di kalangan
mereka." Abdul Muthalib menjawab: "Aku ingin Allah SWT memujinya di
langit dan manusia memujinya di bumi."
Kami tidak mengetahui dorongan apa yang
mendikte Abdul Muthalib untuk menyatakan kalimat tersebut. Apakah kalimat itu
bersumber dari realitas kebanggaan orang-orang Arab yang populer atau berasal
dari realitas kebanggaan tradisional? Atau, apakah berangkat dari realitas
kegembiraan yang dalam dengan kelahiran si cucu, ataukah kalimat itu bersumber
dari suasana ruhani yang jernih dan bisikan alam gaib? Tentu kami tidak bisa
menjawab. Yang dapat kami ketahui adalah bahwa seseorang tidak akan layak
menyandang predikat manusia yang dipuji di bumi dan dipuji oleh Allah SWT di
langit seperti predikat yang disandang oleh Muhammad bin Abdillah.
Nabi Muhammad saw muncul ke alam wujud
dalam keadaan yatim. Beliau ditinggalkan oleh ayahnya saat beliau masih janin
di dalam perut ibunya. Allah SWT berfirman:
"Bukankah Dia mendapatimu sebagai
seorang yatim, lalu Dia melindungimu?" (QS. adh-Dhuha: 6)
Allah SWT melindunginya. Orang-orang sufi
mengatakan bahwa sebab-sebab kemanusiaan seperti adanya kakeknya Abdul Muthalib
dan bagaimana ia mengasuhnya dan melindunginya tidak lain hanya bentuk lahiriah
yang tidak begitu penting, sedangkan bentuk batiniah yang sebenarnya adalah
kita berada di hadapan manusia yang dilindungi dan diasuh oleh Tuhannya sejak
masih kecil. Allah SWT mendidiknya saat beliau masih kecil, dan mengujinya
dengan keyatiman saat beliau masih janin serta mengujinya dengan kelaparan
sejak masih kecil, dan dewasa dengan kematian si ibu, saat beliau masih kecil
dengan keterasingan di tengah-tengah keramaian, dan dengan terjaga di
tengah-tengah tidur serta dengan penderitaan demi penderitaan. Allah SWT telah
menyiapkannya sejak usia dini untuk memikul beban risalah terakhir.
Selanjutnya, ibunya seringkali memeluknya
lebih dari sebelumnya. Ia melihat bahwa banyak dari wanita-wanita yang menyusui
tidak berkenan untuk mengasuhnya. Adalah sudah menjadi tradisi yang berkembang
di Mekah di mana keluarga-keluarga yang mulia mengirim anaknya ke kawasan dusun
agar anak tersebut menyerap dan menghirup udara segar serta memperoleh mainan
yang memadai. Dan biasanya wanita-wanita yang menyusui anak-anak lebih tertarik
menyusui anak-anak dari orang-orang kaya. Namun ketika pemimpin manusia seorang
yang fakir, maka wanita-wanita yang biasa menyusui tidak berminat kepadanya.
Marilah kita telusuri bagaimana Halimah
binti Abi Duaib menceritakan kisahnya bersama anak kecil yang disusuinya:
"Saat itu terjadi musim tandus dan kami tidak memiliki sesuatu sehingga
aku dan suamiku mengalami kemiskinan yang luar biasa. Lalu kami menetapkan
keluar ke Mekah dan menemani wanita-wanita dari Bani Sa'ad. Kami semua mencari anak-anak
yang masih menvusu agar orang tua mereka dapat membantu kami untuk memenuhi
kebutuhan hidup.
Binatang yang aku tunggangi sangat lemah
dan sangat kurus yang itu semua disebabkan oleh kekurangan makanan. Bahkan kami
khawatir kalau-kalau ia berhenti di tengah perjalanan dan mati. Dan kami tidak
tidur semalaman karena melihat kondisi anak kecil yang bersama kami. Ia
menangis karena tidak menemukan makanan yang dapat dimakannya. Ia menangis
karena kelaparan dan tidak mendapat air susu, baik dari air susuku maupun air
susu unta yang dibawa oleh suamiku, sehingga kami tidak dapat memuaskan
dahaganya. Di tengah-tengah malam, aku merasakan keputusasaan. Aku
bertanya-tanya bagaimana aku dapat melakukan sesuatu dalam keadaan yang
demikian.
Akhirnya, kami sampai di Mekah. Sementara
itu, wanita-wanita yang ingin mencari anak-anak yang dapat mereka susui telah
mendahului kami. Mereka mengambil anak-anak kecil yang mereka sukai, kecuali
satu anak, yaitu Muhammad di mana ayahnya telah meninggal dan ia berasal dari
keluarga yang miskin meskipun sebenarnya kedudukannya sangat mulia di antara
tokoh-tokoh Quraisy. Oleh karena itu, wanita-wanita enggan untuk mengasuhnya.
Namun aku dan suamiku tidak sepaham dengan mereka karena aku tidak peduli
dengan keyatiman dan kcfakirannya. Kemudian aku malu untuk kembali dan tidak
mengambil bayi yang dapat aku susui kemudian. Di samping itu, aku malu jika
mendapat cercaan dari wanita-wanita itu. Lalu aku merasakan adanya kasih sayang
yang memenuhi hatiku terhadap anak kecil yang tampan itu yang akan diganggu
oleh udara yang kotor."
Kisah tersebut mengatakan bahwa saat
anak-anak kecil mendapatkan wanita-wanita yang menyusuinya, maka Muhammad bin
Abdillah sedang tidur dalam keadaan lapar di ranjangnya yang kasar, tanpa
disusui oleh siapa pun. Suatu hikmah yang tinggi berkehendak agar bayi yang
masih menyusui itu menghadapi dunia dalam keadaan yatim dan dalam keadaan
kelaparan agar ia dapat merasakan penderitaan anak-anak yatim dan orang-orang
yang lapar sebelum ia menyelamatkan mereka.
Halimah mengatakan bahwa ia meyakinkan
suaminya bahwa ia merasakan keinginan yang kuat untuk mengambil anak yatim ini,
sehingga suaminya menyetujuinya. Halimah tidak mengetahui rahasia keinginannya
yang samar agar ia kembali untuk mengambil anak yatirn yang masih menyusu ini.
Ia tidak mengetahui bahwa Allah SWT telah menanamkan rasa cinta kepada anak
kecil itu dalam hatinya seperti Allah SWT menanamkan cinta kepada Musa pada
hati isteri Fir'aun. Jika Musa menolak wanita-wanita lain untuk menyusuinya
kecuali ibunya setelah Allah SWT mencegahnya dari susuan wanita-wanita lain
agar ibunya merasa bahagia dan tidak bersedih, maka Muhammad bin
Abdillah—seorang anak kecil yang masih menyusu dan mulia—-justru ditolak oleh
wanita-wanita yang menyusui, sedangkan ia sendiri tidak pernah menolak
seseorang pun.
Halimah kembali kepadanya dan ia
memberitahu bahwa ia akan mengasuhnya. Nabi Muhammad saw adalah seorang yang
mulia. Halimah meletakkan tangannya di dadanya, sehingga anak kecil itu
tertawa. Halimah mencium di antara kedua matanya. la meletakkannya di kamarnya.
Halimah mengetahui bahwa kedua air susunya telah kering, namun tiba-tiba air
susunya memancar dengan keras sebagai bentuk kasih sayang dan tanda kebesaran
dari Allah SWT. Kini Halimah pun dapat menyusuinya. Apakah itu merupakan hikmah
yang tinggi di mana anak kecil tersebut merasa cukup dengan sesuatu yang
sedikit? Ataukah anak kecil itu sudah dapat mendidik dirinya untuk zuhud dan
qanaah sebelum ia mendidik orang-orang dewasa tentang pengorbanan dan
kesatriaan?
Halimah kembali ke gurun Bani Sa'ad dan ia
membawa Muhammad bin Abdillah. Belum lama ia menyaksikan tanahnya yang tandus
sehingga tiba-tiba kebaikan dunia terbuka dan mekar di hadapanya, di mana bumi
dipenuhi dengan kehijau-hijauan setelah mengalami masa tandus. Pohon-pohon
berbuah dan buah kurma tampak berseri-seri setelah sebelumnya layu, bahkan
susu-susu binatang pun mulai tampak banyak. Allah SWT memberikan berkah-Nya
kepada tempat tersebut. Halimah mengetahui bahwa kabaikan ini telah datang
bersama kedatangan anak kecil yang diberkahi, sehingga cintanya kepada anak itu
semakin bertambah. Bahkan suaminya pun menjadi tawanan cinta yang lain kepada
Muhammad saw.
Pada suatu hari ia berkata kepada
isterinya: "Apakah engkau mengetahui wahai Halimah bahwa engkau telah
mengambil seorang anak yang mulia?" Halimah berkata: "Anak kecil itu
tidak menangis dan tidak berteriak kecuali ketika ia telanjang." Ketika
anak kecil itu gelisah di tengah malam dan tidak tidur, maka Halimah membawanya
keluar dari kemah dan ia berhenti bersamanya di bawah sinar bintang. Saat itu
anak itu tampak bergembira ketika menyaksikan langit. Setelah kedua matanya
terpuaskan oleh pandangan ke arah langit, ia pun mulai tidur.
Ketika anak itu mencapai tahun yang kedua,
maka ia telah disapih, sehingga ibunya ingin mengambilnya, tetapi Halimah tidak
kuat untuk menahan perpisahan ini. Halimah menjatuhkan dirinya di hadapan kedua
kaki sang ibu dan ia mulai menciuminya dan ia meminta agar membiarkannya
bersama anaknya sehingga anak itu benar-benar kuat dan dapat kembali menghirup
udara segar gurun. Akhirnya, Rasulullah saw tinggal di tempat Bani Sa'ad sampai
lima tahun. Dan pada masa lima tahun ini terjadi peristiwa penting yang
terkenal dengan peristiwa pembelahan dada. Kehendak Ilahi telah menetapkan kepada Ruhul Amin, yaitu Jibril untuk menemui Muhammad bin
Abdillah dan membelah dadanya dengan perintah Ilahi serta menyuci hatinya
dengan rahmat dan mengeringkannya dengan cahaya dan mengeluarkan bagian dunia
darinya.
Seperti biasanya Rasulullah saw keluar
pada suatu hari bersama saudara susuannya dengan menunggangi sekawanan domba
menuju tempat pengembalaan. Di tengah hari, saudaranya berlari-lari dalam
keadaan takut dan menangis sambil berteriak bahwa Muhammad telah terbunuh.
Muhammad diambil oleh dua orang laki-laki yang memakai baju yang putih lalu
kedua orang itu menelentangkannya dan membelah dadanya.
Mendengar hal itu, Halimah sangat kaget
dan terpukul. Ia segera pergi sambil berlari mencari Muhammad dan diikuti oleh
suaminya yang mengikuti petunjuk anak kecil dari saudara Muhammad. Akhirnya,
mereka menemukan Muhammad sedang duduk di atas tanah di mana wajahnya tampak
pucat dan kedua matanya menyala.
Halimah dan suaminya mencium dengan lembut
dan mulai menampakkan kasih sayangnya. Kemudian mereka bertanya, "apa yang
terjadi?" Muhammad menjawab: "Ketika aku memperhatikan domba-domba
yang sedang bermain aku dikagetkan dengan kedatangan dua orang yang memakai
pakaian yang putih. Mula-mula aku menyangka bahwa mereka adalah burung yang
besar, namun ternyata aku salah. Mereka adalah dua orang yang tidak aku kenal
yang memakai pakaian warna putih. Salah seorang dari mereka berkata kepada
temannya dengan menunjuk ke arahku, "Apakah ini anaknya?" Yang lain
menjawab, "benar." Aku merasakan ketakutan yang luar biasa. Lalu
mereka mengambilku dan menidurkan aku serta membelah dadaku dan mereka
mengambil sesuatu darinya hingga mereka mendapatinya dan membuangnya jauh-jauh.
Setelah itu, mereka bersembunyi laksana bayangan."
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Anas dan
juga diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad. Para mufasir berbeda pendapat tentang
simbolisme yang dalam ini. Sebagaian besar ulama menakwilkan peristiwa
tersebut. Pakar-pakar klasik, seperti Qurthubi berpendapat bahwa peristiwa itu
diisyaratkan oleh firman-Nya: "Bukankah Kami telah melapangkan
untukmu dadamu?. " (QS. Alam Nasyrah: 1)
Sedangkan tokoh-tokoh hadis, seperti
Ghazali berpendapat bahwa manusia istimewa seperti Muhammad saw tidak mungkin
terlepas dari bimbingan Ilahi dan tidak mungkin terkena waswas sekecil apa pun
yang biasa menimpa manusia biasa. Jika suatu kejahatan menjadi suatu gelombang
yang memenuhi cakrawala, maka di sana terdapat hati yang segera memungutnya dan
terpengaruh dengannya, namun hati para nabi dengan adanya bimbingan Allah SWT
tidak akan terpanggil dan tidak terkena arus kejahatan tersebut.
Dengan demikian, usaha para nabi terfokus
pada peningkatan kemajuan atau ketinggian, bukan memerangi kerendahan.
Diriwayatkan oleh Abdillah bin Mas'ud bahwa Rasulullah saw bersabda:
"Tidak ada seseorang di antara kalian kecuali ia diawasi oleh temannya
dari kalangan jin dan temannya dan dari kalangan malaikat." Para sahabat
berkata: "Apakah hal itu juga berlaku kepadamu wahai Rasulullah?"
Beliau menjawab: "Ya, tetapi Allah SWT membantuku, sehingga ia berserah
diri dan tidak memerintahkan kepadaku kecuali dalam kebaikan."
Begitulah sikap orang-orang yang dahulu
dan para ahli hadis berkaitan dengan peristiwa pembelahan dada. Kami kira bahwa
kejadian yang luar biasa tersebut berhubungan dengan persiapan Nabi untuk
melalui Isra' dan Mi'raj. Ia merupakan perjalanan di mana Rasulullah saw akan
menebus alam angkasa dan akan mencapai alam langit. Kemudian beliau akan
melampaui alam ini, sehingga sampai di Sidratul Muntaha yang di sana terdapat
Janatul Ma'wah.
Pandangan tersebut kembali kepada pendapat
kami yang mengatakan bahwa peristiwa pembelahan dada berulang lebih dari sekali
saat Rasul saw mencapai usia lima puluh tahun. Dan peristiwa pembelahan dada
terjadi kedua kalinya pada malam Isra' dan Mi'raj.
Bukhari meriwayatkan dari Malik bin
Sh'asha'a bahwa Rasulullah saw menceritakan kepada mereka peristiwa malam Isra'
di mana beliau bersabda: "Ketika aku berada di Hathim—atau beliau berkata
di Hijr—saat aku dalam keadaan antara tidur dan bangun, maka seorang datang
kepadaku lalu ia membelah antara ini dan ini. Yaitu antara kerongkongan dan
perutnya. Beliau melanjutkan: Lalu ia mengeluarkan hatiku dan membawa mangkok
dari emas yang penuh dengan keimanan lalu ia menyuci hatiku. Kemudian
diulanginya."
Kami kira bahwa pembelahan dada merupakan
bentuk simbolis yang menunjukkan kesucian Rasul saw dan sebagai bentuk
penyiapannya untuk melalui Isra' dan Mi'raj. Itu merupakan pemberitahuan dari
Ilahi bahwa anak ini akan mencapai suatu kedudukan yang belum pernah dicapai oleh
manusia dan tidak akan dicapai manusia sesudahnya. Setelah peritiwa pembelahan
dada, berubahlah kehidupan anak kecil itu di mana sebagian besar waktunya
digunakan untuk merenung dan menyendiri. Dari roman wajahnya tampak keseriusan
yang biasanya menghiasi wajah orang-orang dewasa.
Berlalulah hari demi hari, tahun demi
tahun dan Selesailah masa menetapnya bersama Halimah di dusun Bani Sa'ad.
Beliau sangat terpengaruh dan sangat terkesan dengan keadaan di sana.
Diriwayatkan bahwa beliau pemah mengingat masa kecilnya di Bani Sa'ad dan
beliau membanggakannya. Beliau menyebutkan pengorbanan mereka dan sikap mereka
yang baik. Beliau berkata: "Aku termasuk dari Bani Sa'ad, tanpa bermaksud
menyombongkan diri. Jika mereka berhadapan atau menyaksikan salah seorang
mereka lapar, maka mereka akan membagi makanan di antara mereka."
Kemudian Muhammad bin Abdillah kembali ke
Mekah saat usianya lima tahun. Beliau hidup beberapa hari bersama ibunya di
mana si ibu merasakan kesedihan yang dalam atas kepergian ayahnya. Sesuai janji
untuk mengingat ayahnya yang telah pergi, Aminah menetapkan untuk mengunjungi
kuburannya di Yatsrib. Jarak antara Mekah dan Yatsrib lebih dari lima ratus
kilo meter di gurun yang kering yang jauh dari tanda-tanda kehidupan. Anak itu
menempuh peijalanan yang berat. Setelah perjalanan yang berat ini, Muhammad bin
Abdillah tinggal di tempat paman-paman dari ibunya di Madinah selama satu
bulan. Muhammad melihat rumah yang di situ ayahnya meninggal sebelum ia
dilahirkan. Ia berziarah bersama ibunya ke kuburan yang sederhana yang ayahnya
dikuburkan di dalamnya. Mula-mula pikirannya terfokus pada keadaan yatim sambil
ia mulai memperhatikan linangan air mata ibunya yang diam.
Selesailah masa satu bulan keberadaannya
di sisi paman-pamannya. Kemudian ibunya menemaninya untuk kembali ke Mekah.
Kedua anak manusia itu sampai di pertengahan jalan. Muhammad bin Abdillah tidak
mengetahui rahasia kepucatan wajah ibunya. Lalu malaikatul maut turun di suatu
tempat yang yang bernama Abwa. Di situlah Aminah binti Wahab telah bertemu
dengan kekasihnya, Allah SWT.
Sang ibu meninggal dan meninggalkan anak
satu-satunya bersama seorang pembantu. Pembantu itu menampakkan rasa kasihnya
terhadap anak kecil yang kehilangan ayahnya saat masih janin dan kehilangan
ibunya saat berusia enam tahun. Muhammad bin Abdillah kini menjadi sendiri dan
ia dalam keadaan menangis. Ia mencapai kematangan setelah ia melewati kesedihan
kehidupan dan kerasnya kehidupan sebagai anak yatim.
Rasulullah saw pernah ditanya setelah masa
diutusnya: "Bagaimana pandanganmu?" Beliau menjawab:
"Pengetahuan adalah modalku. Akal adalah dasar agamaku. Cinta adalah
pondasiku. Zikrullah adalah kesenanganku. Dan kesedihan adalah temanku."
Allah SWT telah menyiramkan kepadanya
sungai-sungai kesedihan sehingga beliau dapat memberikan kepada manusia buah
dari kegembiraan dan ketulusan.
Anak kecil itu kembali ke Mekah dalam
keadaan sedih dan ia tampak terpaku. Lalu Abdul Muthalib, kakeknya menampakkan
cinta yang luar biasa dan penghormatan padanya. Setelah dua tahun ketika
Muhammad bin Abdillah berusia delapan tahun, maka meninggallah salah satu
benteng yang terbaik yang menjaganya, yaitu kakeknya Abdul Muthalib. Kemudian
anak kecil itu kini merenungi kakeknya laksana orang dewasa. Ia tampak tegar
seperti layaknya orang dewasa.
Kita tidak mengetahui mengapa terjadi
demikian. Mengapa hikmah Allah SWT mencegah Nabi yang terakhir untuk
mendapatkan kasih sayang seorang ayah, kasih sayang seorang ibu, dan bimbingan
seorang kakek? Apakah Allah SWT ingin memberi Nabi yang terakhir suatu kasih
sayang dan cinta yang semata-mata bersumber dari sisi-Nya? Apakah Allah SWT
ingin mendidiknya dengan kesedihan dan memberinya perasaan-perasaan yang penuh
dengan penderitaan? Apakah Allah SWT ingin membuat hati Rasul-Nya hanya tertuju
kepadanya? Dahulu Allah SWT berkata kepada Musa:
"Dan Aku telah memilihmu untuk
diri-Ku." (QS. Thaha: 41)
Dahulu Allah SWT memberi kabar gembira
kepada Musa di dalam Taurat sebagaimana Isa memberi kabar gembira di dalam
Injil dengan kedatangan seorang Nabi setelahnya yang bernama Ahmad. Dan Nabi
Musa meminta kepada Tuhannya agar memberinya dan memberi umatnya puncak
keutamaan, lalu Allah SWT menjawab bahwa Dia telah menetapkan keutamaan ini
kepada Nabi yang terakhir Ahmad dan umatnya.
Allah SWT telah memilih Musa untuk
diri-Nya. Meskipun Demikian, Dia tidak mencegahnya untuk mendapatkan kasih
sayang seorang ibu dan mendidiknya di tengah-tengah keluarganya. Namun Dia
berkehendak untuk menjadikan Nabi yang terakhir tercegah dari mendapatkan kasih
sayang seorang manusia dan cinta seorang manusia, sehingga Nabi tersebut hanya
mendapatkan kasih sayang Ilahi dan cinta Ilahi.
Allah SWT berfirman menceritakan tentang
keadaan Rasul terakhir:
"Bukankah Dia mendapatimu sebagai
seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang
bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang
kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. Adapun terhadap anak yatim, maka
janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang meminta-minta,
maka janganlah kamu menghardiknya. Dan terhadap nikmat Tuhanmu maha hendaklah
kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur). " (QS. ad-Dhuha: 6-11)
Makna ayat tersebut secara harfiah adalah
bahwa beliau dalam keadaan yatim lalu Allah SWT melindunginya; beliau dalam
keadaan tersesat lalu Allah SWT memberinya petunjuk; beliau dalam keadaan fakir
lalu Allah SWT memampukannya. Allah SWT melindunginya dengan mengasuhnya,
membimbingnya, dan mencukupinya. Itu adalah derajat keutamaan yang tidak pernah
dicapai oleh seseorang pun di dunia.
Setelah kematian kakeknya, maka pamannya
Abu Thalib mengasuhnya. Allah SWT telah meletakkan kecintaan pada hati
pamannya, sehingga pamannya mengutamakan Muhammad saw daripada anak-anaknya dan
memuliakannya serta menghormatinya, bahkan Abu Thalib mendudukkannya di
ranjangnya yang biasa dibentangkannya di hadapan Ka'bah di mana tidak ada
seorang pun yang duduk selainnya.
Muhammad bin Abdillah hidup di jantung
gurun Mekah sebagai seorang yang memiliki kesadaran yang tinggi di antara kaum
yang sedang lalai dan kaum yang mabuk-mabukan dan para penyembah berhala serta
para pedagang minuman keras dan para syair dan orang-orang yang berperang dan
tokoh-tokoh kabilah.
Muhammad bin Abdillah seorang yang banyak
diam dan ketika usianya semakin dewasa, maka ia bertambah banyak diam. Beliau
tidak berbicara kecuali jika diajak seseorang berbicara; beliau tidak terlibat
dalam permainan hura-hura anak-anak muda; beliau merasakan kesedihan yang
dalam; beliau sering menyendiri dan membuka matanya di hamparan pasir-pasir.
Mulutnya terdiam dan akalnya berpikir. Beliau merenungkan di masa kecilnya
bagaimana kaumnya bersujud terhadap berhala dan terpukau dengannya; bagaimana
orang-orang berakal mau bersujud kepada batu-batu yang tidak memberikan mudharat
dan manfaat dan tidak berbicara serta tidak dapat melakukan apa-apa. Beliau
mewarisi dari kekeknya Ibrahim kebencian yang fitri terhadap dunia berhala dan
patung.
Di dalam dirinya terdapat penghinaan yang
besar terhadap sembahan-sembahan dari batu ini, suatu penghinaan yang
menjadikannya tidak mau mendekat selama-lamanya terhadap patung tersebut. Namun
hatinya yang besar dipenuhi dengan kesedihan yang lebih hebat dari kesedihan
kakeknya Ibrahim. Beliau sedih karena akal manusia menyembah batu dan emas, kesombongan
serta kekuasaan penguasa; beliau mendengar apa yang dikatakan manusia dan
mengamat-amati urusan kehidupan dan keadaan masyarakat; beliau juga menyaksikan
betapa banyak pertentangan dan perkelahian di antara manusia yang justru
disebabkan oleh masalah-masalah yang sepele, sehingga keheranan beliau semakin
bertambah dan sudah barang tentu kesedihannya pun semakin dalam. Tidakkah
manusia mengetahui bahwa mereka akan mati seperti ayahnya, ibunya, dan
kakeknya? Mengapa mereka menimbulkan pertentangan ini, hingga mereka
mendapatkan lebih banyak kejahatan?
Ketika usianya semakin bertambah, maka
bertambahlah kezuhudannya dalam hidup, dan sepak terjangnya terus bersinar
memenuhi penjuru Mekah. Beliau tidak sama dengan seseorang pun dari kalangan
pemuda saat itu. Meskipun kami kira bahwa kesedihannya disebabkan oleh hal-hal
yang umum, tetapi beliau tidak mengungkapkan kegelisahan hatinya pada seseorang
pun. Beliau belum bertujuan untuk memperbaiki masyarakat atau kemanusiaan.
Benar bahwa pertanyaan-pertanyaan kritis timbul dalam benaknya dan ingin segera
menemukan jawaban, tetapi akalnya sendiri tidak dapat menemukan jawaban atau
jalan keluar. Inilah yang dimaksud dengan makna ayat:
"Dan Dia mendapatimu sebagai seorang
yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk." (QS. adh-Dhuha: 7)
Yang dimaksud ad-Dhalal (kesesatan) di sini ialah kebingungan akal
dalam menafsirkan kejahatan dan usaha melawannya karena ketiadaan senjata dan
kecilnya usia. Semua itu justru menambah sikap diam anak kecil itu dan
menjauhkannya dari dunia yang akan mencemari akal, sehingga akalnya selamat
dari segala noda dan tetap di bawah naungan kejernihannya.
Anak kecil itu tetap jauh dari dosa-dosa
yang dilakukan oleh kaumnya yang berupa kecenderungan untuk menyembah berhala
dan cinta kekuasaan dan kebanggaan. Ia selalu mendekat dan lebih mendekat
kepada hakikatnya yang suci; ia mampu mempengaruhi orang lain dengan jiwanya
yang bersih dan rahmatnya atau kasih sayangnya tertuju kepada manusia, bahkan
kepada binatang dan burung. Ketika ia duduk akan makan lalu ada burung merpati
berkeliling di seputar makanannya rnaka ia meninggalkan makanannya untuk burung
itu. Pada saat orang-orang memukul anjing yang mendekat kepada makanan mereka,
maka ia justru mencabut suapan yang ada di mulutnya dan memberikannya pada
anjing, kucing, anak-anak kecil, dan orang-orang fakir. Bahkan seringkali di
waktu malam ia tidur dalam keadaan lapar karena ia memberikan makanannya ke
orang lain.
Muhammad saw adalah seorang fakir yang
harus bekerja agar dapat makan, maka beliau bekerja sebagai pengembala kambing,
seperti Nabi Daud, Nabi Musa, dan nabi-nabi yang lain yang diutus oleh Allah
SWT. Kemudian beliau melakukan perjalanan bersama kafilah pamannya Abu Thalib
menuju Syam saat beliau berusia tiga belas tahun. Beliau menyaksikan keadaan
umat-umat yang lain, maka keheranannya semakin bertambah terhadap masa
jahiliyah ini. Ketika beliau menyaksikan orang-orang tersesat, maka
kesedihannya semakin bertambah dan hatinya semakin tersentuh dan pikirannya
semakin dalam.
Pada saat perjalanan menuju ke Syam ini
terjadi suatu peristiwa terhadap anak kecil itu. Kemungkinan besar itu justru
menambah kebingungannya. Seorang pendeta yang bernama Buhaira berdiri di
jendela rumah yang menjadi tempat peribadatannya di Suria. Tiba-tiba ia memperhatikan
suatu awan putih—tidak seperti biasanya—yang menghiasai langit yang biru. Saat
itu udara sangat terang, sehingga munculnya awan tersebut sangat mengherankan.
Kemudian pandangan Buhaira yang tertuju ke langit, kini tertuju ke bumi di mana
ia mendapati awan itu menyerupai burung yang putih yang menaungi kafilah kecil
yang menuju ke arah utara. Buhaira memperhatikan bahwa awan tersebut mengikuti
kafilah.
Jantung Buhaira berdebar dengan keras
karena ia mengetahui melalui buku-buku peninggalan kaum Masehi yang otentik
bahwa seorang nabi akan muncul ke dunia setelah Isa. Sifat dan kabar nabi
tersebut diceritakan dalam buku-buku kuno. Buhaira segera meninggalkan
tempatnya, lalu ia segera memerintahkan untuk menyiapkan makanan yang besar.
Kemudian ia mengutus seseorang untuk menemui kafilah tersebut dan mengundang
mereka untuk jamuan makan. Salah seorang mereka berkata dengan nada bercanda
kepada Buhaira: "Demi Lata dan 'Uzza, engkau hari ini tampak lain wahai
Buhaira. Engkau tidak pernah melakukan demikian kepada kami, padahal kami telah
melewati dan singgah di tempat ini lebih dari sekali. Ada peristiwa apa
gerangan wahai Buhaira?"
Buhaira menjawab: "Hari ini kalian
adalah tamu-tamuku." Pertanyaan orang tersebut tidak dijawab dengan
terang-terangan. Ia sengaja menghindarinya dan tidak menyingkapkan rahasia
kemuliaan yang datangnya tiba-tiba ini. Buhaira memberi makan mereka dan mulai
memperhatikan di antara mereka adanya seseorang yang memiliki tanda-tanda yang
dibacanya dalam kitab-kitabnya yang kuno tentang seorang rasul yang ditunggu.
Namun ia tidak menemukannya, hingga ia bertanya kepada mereka: "Wahai kaum
Quraisy, apakah ada seseorang yang tidak hadir bersama jamuanku ini?"
Mereka menjawab: "Benar, ada seseorang yang tidak ikut bersama kami. Kami
meninggalkannya karena ia masih kecil." Buhaira berkata: "Sungguh aku
telah mengundang kamu semua. Panggilah ia supaya hadir bersama kami dan memakan
makanan ini." Salah seorang lelaki dari kaum Quraisy berkata: "Demi
Lata dan 'Uzza, sungguh tercela bagi kami untuk meninggalkan Muhammad bin
Abdillah bin Abdul Muthalib dari jamuan yang kami diundang di dalamnya.
Pamannya meminta maaf karena Muhammad
masih kecil, kemudian sebagian mereka berdiri dan menghadirkannya. Belum lama
Buhaira memandangi kejernihan dua mata Muhammad, sehingga ia mengetahui bahwa
ia telah mendekati tujuannya. Buhairah terpaku ketika memandangi Muhammad bin
Abdillah sehingga kaum selesai makan dan mereka berpisah.
Muhammad bin Abdillah duduk sendirian.
Buhaira menghampirinya dan berkata: "Wahai anak kecil, demi kedudukan Lata
dan 'Uzza, sudikah kiranya engkau memberitahu aku terhadap apa yang aku
tanyakan kepadamu?" Buhaira ingin mengetahui sikap anak ini terhadap
berhala kaumnya. Anak kecil itu menjawab: "Jangan engkau bertanya kepadaku
tentang Lata dan 'Uzza. Demi Allah, tidak ada sesuatu yang lebih aku benci
daripada keduanya." Buhaira berkata: "Dengan izin Allah aku ingin
bertanya kepadamu." Anak kecil itu menjawab: "Tanyalah apa saja yang
terlintas di benakmu."
Buhaira bertanya kepada anak kecil itu
tentang keluarganya, kedudukannya di tengah-tengah kaumnya, mimpinya dan
pendapat-pendapatnya. Dialog tersebut terjadi jauh dari pantauan kaum karena
mereka tidak akan diam ketika mendengar bahwa Muhammad membenci berhala-berhala
mereka. Kemudian Muhammad menjawab pertanyaan-pertanyaan Buhaira dengan yakin,
hingga membuat Buhaira mantap bahwa ia sekarang duduk bersama seorang Nabi yang
kabar berita gembiranya disampaikan oleh Nabi Isa sebagaimana disampaikan oleh
nabi-nabi dari kaum Israil dari kaum Nabi Musa. Setelah itu, ia bangkit
meninggalkan anak kecil itu dan menuju ke Abu Thalib ia bertanya tentang
kedudukan anak kecil itu di sisinya. Abu Thalib menjawab: "Ia adalah
anakku." Buhaira berkata: "Tidak mungkin ayahnya masih hidup."
Abu Thalib berkata: "Benar. Ia anak saudaraku. Ayahnya dan ibunya telah
meninggal." Buhaira berkata: "Engakau benar, kembalilah kamu ke
negerimu dan hati-hatilah dari kaum Yahudi." Abu Thalib bertanya tentang
rahasia dari apa yang dikatakan oleh pendeta itu. Pendeta itu mulai mengetahui
bahwa ia telah berbicara lebih dari yang semestinya. Lalu ia berkata: "Ia
akan memiliki kedudukan tertentu." Buhaira tidak menjelaskan lebih dari
itu dan ia tidak menentukan kedudukan yang dimaksud.
Lalu berlalulah peristiwa tersebut tanpa
terlintas dari benak seseorang atau tanpa menggugah kesadaran di antara mereka.
Kisah tersebut tidak membawa pengaruh berarti bagi kafilah atau kepada Nabi
sendiri. Kafilah menganggap bahwa penghormatan pendeta kepada Muhammad bin
Abdillah dan memberitahunya akan kedudukan yang akan disandangnya adalah
semata-mata basa-basi yang biasa diucapkan di atas meja makan ketika para tamu
memuji kedermawanan tuan rumah. Dan sebagai balasannya, orang yang mengundang
akan memuji akhlak para pemuda mereka. Alhasil, peristiwa tersebut tidak
membawa pengaruh apa pun, baik bagi Muhammad maupun bagi sahabat-sahabat yang
ikut dalam kafilah, sehingga mereka tidak mengetahui rahasia perkataan pendeta
dan mereka tidak menyebarkan pembicaraan yang mereka dengar darinya. Peristiwa
itu tersembunyi meskipun ia sungguh sangat membingungkan Muhammad.
Apa gerangan yang terjadi antara dirinya
dan orang-orang Yahudi, sehingga pendeta perlu mengingatkan pamannya dari
ancaman mereka? Apa kedudukan yang akan diembannya seperti yang diceritakan
oleh pendeta itu? Dan apa hubungan semua ini dengan kesedihan-kesedihannya yang
dalam serta kebingungannya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sedikit demi sedikit
berputar di benaknya. Kemudian seperti biasanya kafilah tersebut kembali ke
Mekah. Muhammad kembali menuju keterasingannya. Ia memperhatikan keadaan alam
di sekitarnya. Kemudian ia melihat kembali penderitaannya; ia berusaha untuk
mendapatkan kehidupannya; ia mengabdi kepada manusia dan mengorbankan apa saja
demi kemuliaan mereka.
Hari demi hari berlalu. Muhammad saw
tampil dengan pakaian ketulusan kasih sayang, dan amanah serat cinta,
sebagaimana pelita dipenuhi oleh cahaya, sehingga kejujurannya terkenal di
tengah-tengah kaumnya. Bahkan kejujuran dan amanatnya tidak bakal diragukan
oleh seseorang pun dari penduduk Mekah. Dan ketika beliau datang dengan membawa
risalahnya dan beliau ditentang mayoritas masyarakatnya, namun tak seorang pun
yang berani meragukan kejujurannya. Mereka hanya menuduh bahwa ia terkena sihir
atau kesadarannya telah hilang.
Pada tahun ketiga belas dari masa
kenabian, ketika semua kabilah sepakat untuk membunuhnya dan mengucurkan
darahnya di antara para kabilah dan mereka mengepung rumahnya, maka di saat
situasi yang sulit ini beliau menetapkan untuk berhijrah. Tetapi sebelumnya
beliau mewasiatkan kepada Ali bin Abi Thalib, anak pamannya untuk tetap tinggal
di rumahnya agar ia dapat mengembalikan amanat yang dititipkan oleh semua
musuhnya dan para sahabatnya. Ini beliau maksudkan agar Ali dapat menyerahkan
amanat tersebut di waktu pagi kepada para pemiliknya. Anda dapat melihat betapa
para musuhnya merasa aman terhadap harta mereka ketika dijaga oleh Muhammad
saw.
Hari demi hari berlalu dan tahun demi
tahun pun lewat. Sementara itu, kesucian dan kejujuran Muhammad saw semakin
meningkat. Dan di tengah lautan keheningan yang mencekam, ketika Muhammad bin
Abdillah menyebarkan layar perahunya yang putih, maka ia harus menemui hakikat
azali yang bertemu dengan-nya semua nabi dan rasul. Muhammad bin Abdillah
mengetahui bahwa alam yang besar ini mempunyai Tuhan Pengatur dan Pencipta;
Tuhan yang Maha Satu dan yang tiada tuhan selain-Nya.
Muhammad dijauhkan dari suasana kenikmatan
dan foya-foya yang biasa dilakukan oleh para pemuda seusianya. Dan ketika
pemuda Mekah berbangga-bangga dengan banyaknya minuman keras yang mereka minum
dan banyaknya bait-bait syair yang mereka katakan tentang wanita, maka Muhammad
bin Abdillah telah menemukan jati dirinya di suatu gua yang tenang di gunung
yang besar. Ia memilih untuk menghabiskan waktunya di dalam keheningan gua
tersebut. Ia merenung dengan hatinya tentang keadaan alam; ia memikirkan
keagungan rahasia-rahasianya dan rahmat Penciptanya serta kebesaran-Nya.
Pada tahun yang kedua puluh lima, beliau
mengenal Ummul Mu'minin, isterinya yang pertama, yaitu Khadijah binti Khuwailid
yang saat itu berusia empat puluh tahun. Khadijah adalah wanita yang mulia dan
mempunyai cukup harta. Ia berdagang dan suaminya telah meninggal. Banyak orang
yang mendekatinya dengan alasan untuk mendapatkan kekayaannya. Khadijah mencari
seseorang laki-laki yang dapat membawa harta dagangannya menuju Syam, lalu
Khadijah mendengar berita yang cukup banyak berkenaan dengan kejujuran dan
amanat serta kesucian Muhammad bin Abdilah. Akhirnya, Khadijah mengutus
Muhammad saw untuk membawa barang dagangannya. Muhammad saw pergi dalam
perjalanannya yang kedua ke Syam saat beliau berusia dua puluh lima tahun.
Allah SWT memberkati perjalannya di mana beliau kembali dengan membawa
keuntungan yang berlipat ganda yang diserahkannya kepada Khadijah. Muhammad saw
tidak peduli dengan harta Khadijah dan tidak peduli kepada kecantikannya;
Muhammad saw hanya memandang kemuliaan yang dipegangnya. Kemudian Khadijah
merasakan getaran cinta terhadap Muhammad saw. Dan Akhirnya, ia mengutarakan
keinginan untuk menikah dengannya, hingga Muhammad saw pun setuju.
Paman Muhammad saw, Abu Thalib berdiri dan
menyampaikan khotbah pada saat perayaan perkawinannya: Muhammad saw tidak dapat
dibandingkan dengan seorang pun dari kaum Quraisy karena ia adalah seorang yang
mulia, baik dari sisi akal maupun ruhani. Meskipun ia seorang yang fakir namun
harta adalah naungan yang akan hilang dan benda yang bersifat sementara.
Setelah menikah, Muhammad saw justru
mendapatkan kesempatan yang lebih besar untuk merenung dan menyendiri serta
beribadah. Kemudian kehidupan yang dijalaninya justru meningkatkan
kemuliaannya, sehingga keutamaannya tersebar di sana sini. Beliau tidak pernah
terlibat dalam pergulatan yang keras untuk memperebutkan materi-materi dunia.
Beliau selalu menggunakan akal sehatnya daripada terlibat dalam kesesatan
mereka dan kegelapan berhala yang menyelimuti banyak orang pada saat itu.
Kemudian usianya kini mendekati empat puluh tahun.
Setelah merasakan kesunyian di
tengah-tengah masyarakat, beliau lebih memilih untuk menjauh dari mereka.
Beliau mencari-cari hakikat, sehingga Allah SWT membimbingnya untuk menyendiri
di gua Hira. Akhirnya, beliau dapat keluar dari Mekah. Beliau berjalan beberapa
mil. Kemudian beliau mulai mendaki dan mendaki. Setiap kali ia mendaki gunung,
maka tempat itu semakin luas. Udara tampak lembut dan tersingkaplah hijab, dan
pandangan semakin terbentang. Kemudian beliau memasuki gua. Keheningan
menyelimuti segala sesuatu, namun hati tetap sadar dan tidak ada sesuatu yang
dapat menghalang-halangi pandangan internal yang dalam. Dalam suasana kesunyian
terkadang lahirlah pemikiran-pemikiran yang cemerlang yang kemudian menyebarkan
sayap-sayapnya dan membumbung, pertama-tama di atas angkasa gua lalu tersebar
menuju ke tempat yang lebih luas. Tidak ada sesuatu pun yang membatasinya atau
mengekang kebebasannya.
Kita tidak mengetahui pikiran-pikiran apa
yang terlintas pada manusia termulia dan terbesar di atas bumi itu saat beliau
duduk di gua Hira beberapa bulan. Apa yang beliau pikirkan dan apa gerangan
yang beliau risaukan? Mimpi apa yang ada di benaknya dan perasaan-perasaan apa
yang lahir dalam hatinya? Bagaimana keadaan batu-batu yang ada di sisinya?
Apakah atom-atom batu yang berputar di sekelilingnya menyahuti tasbihnya yang
diam, seperti atom-atom batu yang bersahut-sahutan bersama Daud saat ia membaca
kitabnya Zabur.
Kami tidak mengetahui secara pasti bentuk
kelahiran yang terjadi dalam dirinya. Yang kita ketahui adalah bahwa beliau
tidak berpikir tentang kenabian dan beliau tidak berpikir untuk memberikan
petunjuk kepada manusia; beliau tidak melakukan praktek-praktek sufisme karena
beliau sudah menjadi seorang sufi sebelum diutus di tengah-tengah manusia.
Kemudian Allah SWT memilihnya sebagai Nabi lalu beliau meninggalkan uzlahnya dan
turun ke medan serta membawa senjata. Beliau mempertahankan kebenaran, sehingga
beliau bertemu dengan Tuhannya. Mula-mula lahirlah tasawuf dan setelahnya
lahirlah jihad di jalan Allah SWT. Tasawuf bukanlah puncak atau hasil
sebagaimana diyakini oleh manusia sekarang, tetapi ia adalah permulaan jalan
yang panjang di mana pada akhirnya yang bersangkutan menggunakan senjata
sebagai bentuk usaha untuk membela manusia dan kehormatannya.
Pada suatu hari beliau duduk di gua Hira
dan tiba-tiba beliau dikagetkan dengan kedatangan Jibril yang berdiri di depan
pintu gua. Malaikat tersebut memeluknya erat-erat lalu memerintahkannya untuk
membaca sambil berkata: "Bacalah!" Muhammad bin Abdillah menjawab:
"Aku tidak mampu membaca." Beliau ingin mengatakan bahwa beliau tidak
mengenal bacaan dan tulisan. Kalau begitu, apa yang harus beliau baca? Malaikat
kembali memeluknya dengan kuat sehingga Rasulullah saw menganggap bahwa ia
meninggal. Kemudian malaikat melepasnya dan memerintahkannya untuk membaca.
Beliau kembali menjawab: "Aku tidak bisa membaca." Malaikat yang
mulia kembali memeluknya dan kembali memerintahkan untuk membaca. Dan lagi-lagi
Rasulullah saw menjawab dengan gemetar: "Apa yang aku baca?" Kemudian
Jibril membaca permulaan ayat-ayat yang turun kepada beliau:
"Bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan
perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya." (QS. al-'Alaq: 1-5)
Setelah peristiwa itu, Jibril menghilang
secara tiba-tiba sebagaimana ia muncul secara tiba-tiba. Rasulullah saw
merasakan dalam dirinya kejadian yang luar biasa yang pernah dirasakan oleh
Nabi Musa saat beliau mendengar panggilan-panggilan suci di lembah Thuwa.
Sebagaimana Nabi Musa lari ketakutan, maka Muhammad bin Abdillah pun segera
menuju ke rumahnya dalam keadaan ketakutan. Ia turun ke gunung dan kembali ke
rumahnya dan kembali ke isterinya. Tubuhnya yang mulia bergetar denga keras dan
beliau merasakan ketakutan dan kegelisahan.
Apakah beliau kali ini berhubungan dengan
jin atau alam perdukunan? Apakah beliau telah mengigau sehingga beliau
mendengar suara-suara dan melihat wajah-wajah yang belum pernah dilihatnya?
Rasulullah saw mengkhawatirkan dirinya karena beliau sangat benci kepada
perdukunan. Beliau memasuki rumahnya dengan keadaan gemetar. Beliau berkata
kepada isterinya: "Selimutilah aku, selimutilah aku!" Kemudian
isterinya segera menyelimuti dengan selimut dari wol dan mengusap keringat yang
berada di keningnya. Isterinya dikagetkan dengan kepucatan wajah beliau yang
mulia dan kegemetaran tubuhnya.
Khadijah bertanya kepadanya: "Apa
yang sedang terjadi?" Kemudian Muhammad saw menceritakan secara detail apa
yang dialaminya. Kemudian ia berkata: "Sungguh aku khawatir terhadap
diriku." Khadijah mengetahui bahwa ia sekarang berhadapan dengan masalah
yang serius, suatu berita gembira yang ia tidak mengetahui hakikatnya, suatu
berita gembira yang seharusnya tidak dihadapi Muhammad saw dengan kekhawatirkan
dan kegelisahan.
Khadijah berkata dengan maksud untuk
meredakan ketakutannya: "Tenanglah. Demi Allah, Allah SWT tidak akan
menghinakanmu selama-lamanya. Sungguh engkau adalah seorang yang baik, yang
menyambung tali silaturahmi, yang berbicara dengan jujur, dan yang menghormati
tamu."
Meskipun kalimat-kalimat tersebut penuh
dengan kedamaian dan kesejukan, tetapi kegelisahan Rasul saw juga belum hilang.
Kemudian Khadijah pergi bcrsama beliau ke rumah Waraqah bin Nofel, yaitu anak
dari paman Khadijah. Waraqah adalah seorang Nasrani dan dia mampu menulis kitab
dalam bahasa Ibrani dan ia cukup mengetahui kitab-kitab Taurat dan Injil di
mana matanya telah buta karena masa tua.
Khadijah berkata kepadanya: "Wahai
putra pamanku, dengarlah dari anak saudaramu." Waraqah berkata:
"Wahai anak saudaraku, apa yang engkau lihat?" Rasulullah saw
menceritakan apa yang dialaminya secara sempurna. Waraqah berkata sambil
mengangkat kepalanya yang tampak keheranan: "Itu adalah Namus (Jibril)
yang Allah SWT turunkan kepada Musa." Sebagai seorang yang mengerti,
Waraqah bin Nofel mengetahui bahwa ia berada di hadapan seorang Nabi yang
berita gembiranya disampaikan oleh Taurat dan Injil.
Setelah keheningan sesaat, Waraqah
berkata: "Seandainya aku masih hidup ketika kaummu mengeluarkanmu dan
mengusirmu." Rasulullah saw bertanya: "Mengapa aku harus diusir oleh
mereka?'' Waraqah menjawab: "Benar, tidak ada seorang pun yang akan datang
seperti dirimu kecuali engkau akan mengalami penderitaan dan pengusiran. Seandainya
aku hadir di saat itu niscaya aku akan menolongmu."
Demikianlah, akhirnya Islam pun
dikembangkan. Kehendak Allah SWT terlaksana dan Allah SWT telah memilih Nabi
yang terakhir di muka bumi dan orang Muslim yang pertama. Barangkali pembaca
akan bertanya: Apa hakikat dari Islam? Apabila Muhammad saw sebagai Nabi yang
terakhir yang diutus oleh Allah SWT di muka bumi dan kita mengetahui bahwa para
nabi semuanya sebagai Muslim, maka bagaimana beliau dapat dikatakan mendahului
mereka dalam keislaman dan menjadi orang Muslim yang pertama?
Islam yang dibawa oleh Muhammad saw tidak
berbeda dalam esensinya dengan Islam yang dibawa oleh Nabi Nuh, Nabi Musa, Nabi
Isa atau nabi yang lain, tetapi yang berbeda adalah bentuknya, sedangkan
esensinya tetap seperti semula, yakni berdasarkan tauhid. Islam yang dibawa
oleh Nabi Muhammad saw berbeda dalam bentuknya dengan Islam yang dibawa
nabi-nabi sebelumnya karena sebab yang penting, yakni bahwa Islam ini merupakan
ajaran yang universal dan berisi aspek kemanusiaan yang abadi. Islam tidak
terbatas atas orang-orang Arab tetapi ia berlaku atas semua golongan. Islam
yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw tidak terbatas untuk kabilah tertentu atau
bangsa tertentu atau bumi tertentu atau lingkungan tertentu atau zaman
tertentu, tetapi ia untuk semua manusia. Atau dengan kata lain, ia merupakan
ajakan untuk membangkitkan akal manusia di mana saja mereka berada tanpa ada
batasan tempat atau waktu.
Universalitas ajaran Islam tidak dikenal
pada risalah-risalah Ilahi sebelumnya di mana setiap risalah itu diperuntukkan
bagi bangsa tertentu dan zaman tertentu. Oleh karena itu, mukjizat-mukjizat
yang mengagumkan yang bersifat temporal seringkali mendukung risalah-risalah
yang dahulu. Ketika Islam datang sebagai bentuk ajakan untuk menghidupkan akal
manusia secara bebas, maka di sana tidak ada alasan untuk membawa mukjizat yang
mengagum-kan. Hanya ada satu kata yang dapat dijadikan pembuka untuk berdakwah
dan membuka akal manusia, yaitu kata "iqra"' (bacalah). Dan hendaklah bacaan ini berdasarkan nama Allah SWT. Dengan nama
Tuhanmu yang menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Coba
Anda renungkan permulaan pertumbuhan dan puncak pencapaian. Di sini tersembunyi
mukjizat yang hakiki jika Anda berusaha mencari mukjizat yang hakiki.
Bacalah, dan Tuhanmu Yang Maha Mulia, yang
memberikan nikmat penciptaan dan rezeki serta rahmat dan kelembutan. Dia Maha
Mulia yang mengajarkan manusia apa saja yang tidak diketahuinya. Demikianlah
esensi dari Islam, yaitu ajakan untuk membaca. Ia adalah dakwah yang
menunjukkan kedudukan ilmu. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah
di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orangyang berilmu (ulama)." (QS. Fathir: 28)
Takut kepada Allah SWT tidak akan muncul
kecuali berdasarkan ilmu. Mustahil kebodohan dengan bentuk apa pun akan
melahirkan rasa takut. Oleh karena itu, dalam pandangan Islam ilmu adalah hal
yang pokok. Ia bukan kemewahan dan bukan hanya perhiasan. Kaum Muslim telah
mengalami masa kemuliaan dan kejayaan dan mereka berhasil menguasai bumi ketika
mereka memahami Islam secara benar, tetapi ketika pemahaman ini jauh dari
mereka, maka mereka kembali dalam keadaan yang paling buruk, bahkan lebih buruk
daripada masa jahiliah.
Jadi, ilmu dalam Islam merupakan tujuan
yang mulia dan utama dalam penciptaan alam wujud. Kisah Nabi Adam dan Hawa,
sebagaimana diceritakan oleh Al-Qur'an adalah bukan semata-mata kisah kesalahan
memakan pohon tcrlarang, tetapi ia juga kisah yang memiliki dimensi-dimensi
yang dalam dan aspek-aspek yang beraneka ragam. Ketika Anda menyclami
kedalamannya, maka Anda akan dapat menemukan simbol-simbol dari makna-makna
yang lebih penting.
Dialog internal yang dialami oleh para
malaikat tentang rahasia pemilihan Nabi Adam untuk memakmurkan bumi dan menjadi
khalifah di dalamnya serta pengajaran yang diperoleh Nabi Adam tentang
nama-nama semuanya dan bagaimana beliau mengemukakan nama-nama tersebut kepada
para malaikat, serta ketidaktahuan mereka tentang nama-nama itu, kemudian usaha
Nabi Adam untuk memberitahu mereka tentang apa yang diketahuinya serta
pengetahuan para malaikat tentang rahasia pemilihan Nabi Adam dan para
keturunannya untuk memakmurkan bumi, semua ini menjadikan tujuan dari
penciptaan manusia adalah pencapaian ilmu atau ma'rifah secara umum. Pandangan tersebut
dikuatkan oleh firman Allah SWT:
"Dan Ahu tidak menciptakan jin dan
manusia kecuali untuk menyembah-(Ku)." (QS. adz-Dzariat: 56)
Lalu bagaimana kita memahaminya saat ini
dan bagaimana generasi yang pertama dari kaum Muslim dan dari sahabat-sahabat Rasul
saw dan para pengikutnya dan para tentaranya memahaminya? Saat ini kita
memahaminya dengan pemahamam yang sederhana. Kita mengetahui bahwa kalimat "untuk menyembah-Ku " berarti ritualitas dalam
beribadah dan aspek-aspek lahiriahnya, seperti mengucapkan kalimat syahadat,
salat, puasa, haji, zakat dan lain-lain. Sehingga orang-orang yang salat
diperbolehkan untuk menyembah Allah SWT di negeri mereka atau di rumah-rumah
mereka, meskipun mereka hidup di bawah pemikiran orang-orang Barat dan membeli
produk-produk yang dibuat mereka serta memanfaatkan ilmu dan kecanggihan
tehnologi orang-orang Barat. Namun mereka sendiri tidak menghasilkan apa-apa.
Mereka tidak dapat memberikan kontribusi kepada kehidupan; mereka tak ubah-nya
seperti bulu yang dimainkan oleh ombak. Sedangkan pemahaman yang dahulu
berkaitan dengan kalimat tersebut sebagai berikut:
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia kecuali untuk menyembah-(Ku). " (QS. adz-Dzariat: 56)
Ibnu Abbas membacanya: "Illa liya'rifuun." (Agar mereka
mengetahui). Perhatikanlah bagaimana pentingnya perbedaan antara
praktek-praktek ibadah dengan bentuk-bentuknya dan kedalamannya yang jauh dalam
ma'rifah yang menyebabkan rasa takut kepada Allah SWT. Orang Muslim yang
pertama meyakini bahwa Allah SWT menciptakannya agar ia mengetahui Allah SWT
atau agar ia mengenal Allah SWT. Sehingga ambisi orang Muslim yang pertama
sangat mengagumkan. Mereka pergi untuk membebaskan dunia semuanya: satu tangan
berpegangan dengan Al-Qur'an dan tangan yang lain memegang pedang untuk menghancurkan
belenggu-belenggu yang menyeret manusia kepada kesesatan.
Kemudian jatuhlah dari Islam hakikat ilmu,
sehingga umat Islam tidak dapat memimpin kehidupan dan mereka justru
men-dapatkan kehinaan. Allah SWT berfirman:
"Allah menyatakan bahwasannya tidak
ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan
orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan
melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya agama yang
diridhai di sisi Allah hanyalah Islam." (QS. Ali 'Imran: 18)
Setelah kesaksian kepada Allah swt dan
kesaksian kepada malaikat, maka disebutlah secara langsung kesaksian kepada
orang-orang yang berilmu. Maka, adakah penghormatan terhadap ilmu yang lebih
besar daripada penghormatan ini? Ilmu dalam Islam berbeda dengan ilmu dalam
peradaban Barat. Memang benar bahwa Islam yang bertanggung jawab terhadap
tumbuhnya pandangan ilmiah dan metode eksperimental di mana berdasarkan metode
ini tegaklah peradaban Barat yang kemudian melahirkan berbagai produksi,
pembuatan, dan penemuan. Dan metode eksperimental adalah metode al-Istiqra, yaitu suatu metode yang mengikuti
bagian-bagian terkecil (parsial) melalui jalan eksperimen yang dapat tunduk
terhadap eksperimen dan melalui jalan memperhatikan hal-hal yang tidak dapat
tunduk terhadap suatu eksperimen, atau melalui jalan matematis murni yang
membutuhkan kepada matematis murni di mana hal itu bertujuan untuk menyingkap
hukum-hukum yang menguasai benda. Sistem ini bidangnya adalah alam dan alatnya
adalah panca indera dan akal. Sistem ini dimanfaatkan oleh seorang Eropa yang
bernama Roger Bikun. Ia mengakui bahwa ia sangat berhutang kepada kaum Muslim
dan peradaban Islam.
Seorang guru yang bernama Bruicll dalam
bukunya Abna' al-Insaniah menceritakan tentang dasar-dasar peradaban Barat di mana ia berkata:
"Roger Bikun mempclajari bahasa Arab dan ilmu-ilmu Arab di sekolah Oxford
kepada guru-gurunya yang berasal dari Arab di Andalus. Dan Roger Bikun dan
Fenessis Bikun tidak dapat menisbatan keutamaan yang mereka peroleh dalam
menciptakan sistem eksperimental kepada diri mereka sendiri. Roger Bikun hanya
seorang duta dari duta-duta ilmu. Oleh karena itu, ia tidak malu ketika
menyatakan bahwa mempelajari bahasa Arab dan ilmu-ilmu Arab adalah jalan
satu-satunya untuk mengetahui kebenaran."
Demikianlah pernyataan pakar-pakar Barat
yang jujur. Yang demikian ini bisa dijadikan sanggahan terhadap orang-orang
Barat yang tidak jujur agar mereka mengetahui bahwa mereka sebenarnya mengambil
senjata yang sebenarnya berasal dari Islam. Dan jika dikatakan bahwa rahasia
kebangkitan Barat saat ini dan keunggulannya atas Timur kembali kepada
pengambilannya terhadap sebab-sebab metode eksperimental, yaitu metode Islam,
maka rahasia kehancuran Barat dan kebingungannya serta kegelisahannya adalah
karena mereka tidak menghubungkan metode tersebut dengan kebesaran Allah SWT
sebagaimana semestinya. Metode eksperimen-tal—sebagaimana diambil orang-orang
Barat—dimulai dari alam dan berakhir kepadanya sebagai sesuatu tujuan. Jadi,
ruang lingkup pembahasan mereka adalah berkisar kepada materi, dan alat-alat
pembahasan adalah eksperimen dan pengamatan serta istiqra.
Tiada setelah alam kecuali kematian dan
kematian adalah rahasia yang misterius dan melawannya adalah hal yang mustahil.
Kita tidak mengetahui apa yang terjadi setelah kematian; kita tidak mengetahui
sesuatu pun tentang ruh. Tidak ada hubungan antara ilmu dan akhlak; tidak ada
jawaban dari ilmu tentang tujuan kehidupan ini. Kita hanya mempelajari
aspek-aspek lahiriah dan mencapai hukum-hukumnya saja. Demikianlah pandangan
Barat tentang ilmu di mana ia hanya sekadar alat dan sarana untuk mengatur alam
dan berusaha menguasainya. Sedangkan metode ilmiah dalam Islam menyatakan bahwa
gerakan atom dengan gerakan sistem tata surya di bawah kendali Zat Yang Maha
Tahu dan Zat Yang Maha Pencipta. Ilmu dalam Islam justru membimbing manusia
untuk menuju Allah SWT:
"Dan bahwasannya kepada Tuhanmulah
kesudahan (segala sesua-tu). " (QS. an-Najm: 42)
Ilmu justru mengantarkan manusia untuk
mencapai rasa takut kepada Allah SWT sebagaimana membimbingnya beribadah
kepadanya dan mencintai-Nya:
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah
di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu (ulama)." (QS. Fathir: 28)
Islam datang dan mengajak manusia untuk
membaca, mengetahui, dan takut kepada Allah SWT serta hanya beribadah
kepadanya. Jika ilmu merupakan sayap pertama di dalam Islam, maka sayap yang
kedua adalah kebebasan. Rasulullah saw memberitahu dan menyatakan bahwa tidak
ada Tuhan selain Allah SWT dan tidak ada sembahan selain Allah SWT.
Seruan ini mengisyaratkan keruntuhan
tuhan-tuhan yang mengusai bumi semuanya, baik tuhan yang berupa
kepentingan-kepentingan pribadi, kekayaan, raja, penguasa, pemikiran-pemikiran
yang mengusai manusia, warisan para kakek dan nenek, berhala-berhala yang
terbuat dari batu dan kayu, maupun berbagai macam tuhan lain yang bohong.
Adalah salah jika seseorang membayangkan bahwa kalimat "tiada Tuhan selain
Allah" hanya sekadar hiasan mulut seorang Muslim di mana segala sesuatu
yang ada di sekitarnya penuh dengan kebohongan dan tidak membenarkan apa yang
dikatakannya. Kalimat tersebut dalam Islam merupakan per-gulatan besar bersama
kegelapan yang ada pada diri manusia, suatu pergulatan yang berakhir pada
penyerahan diri; pergulatan yang akan berpindah pada kehidupan yang lebih
berat, sehingga kehi-dupan akan berserah diri. Dan mustahil pergulatan itu akan
terjadi kecuali jika terpenuhi suatu kebebasan: kebebasan akal untuk meragukan
dan menolak dan kebebasan yang berakhir kepada pencapaian batas-batasnya dan
kemampuannya serta kebebasan yang meninggi untuk mencapai keimanan yang dalam
dan kokoh. Itu adalah tanggung jawab yang berarti bahwa ia harus memikul
senjata untuk membebaskan orang lain sebagaimana ia membebaskan dirinya sendiri.
Demikianlah esensi dari Islam, yaitu ilmu yang berdiri di atas kebebasan dan
tanggung jawab yang tumbuh dari kebebasan, dan buah terAkhirnya adalah tauhid
dalam kedalamannya yangjauh.
Jika tauhid dipahami secara benar, maka
manusia akan terbebas dari penyembahan selain Allah SWT: manusia akan bebas
terhadap rasa takut dari kematian, kekhawatiran atas rezeki, manusia akan
terbebas dari sikap bakhil dan ketakutan terhadap hari-hari yang akan datang.
Muhammad bin Abdillah datang nntuk
menyerukan bahwa hanya Allah SWT yang patut disembah dan bahwa semua manusia
adalah hamba-hamba-Nya. Dcngan membebaskan manusia dari menyembah sesama
mereka, maka kebcbasan yang hakiki telah dimulai. Rasulullah saw memberitahu
bahwa kematian adalah perpindahan dari satu rumah ke rumah yang lain. Ia bukan
akhiran yang misteri dari kehidupan yang tidak dapat dipahami, tetapi ia hanya
sekadar perpindahan. Takut kepada kematian tidak akan menyelamatkan dari
kematian itu sendiri, dan cinta kepada kehidupan tidak akan memanjangkan ajal.
Pada setiap ajal ada ketentuannya. Maka keberanian merupakan unsur dari
unsur-unsur pembentukan kepribadian Islam dan bagian dari bagian-bagian sel
yang ada dalam tubuh seorang Muslim.
Rasulullah saw juga menyatakan bahwa
rezeki di dunia sudah dijamin dan ditentukan oleh Allah SWT:
"Dan tidak ada suatu binatang melata
pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya. " (QS. Hud: 6)
Jibril mewahyukan kepada Rasul saw bahwa
suatu jiwa tidak akan memenuhi ajalnya sehingga rezekinya disempurnakan. Jika
demikian halnya, maka tidak ada alasan bagi manusia untuk khawatir terhadap
rasa lapar dan gelisah terhadap hari esok. Semua ini terjadi dalam ruang
lingkup mengambil atau melalui jalanjalan menuju sebab. Yakni berusaha untuk
mencapai rezeki yang merupakan kewajiban bagi orang Muslim dan percaya terhadap
kedermawan Allah SWT yang juga merupakan suatu kewajiban bagi orang Muslim
untuk mempercayainya. Allah SWT berfirman:
"Dan di langit terdapat (sebab-sebab)
rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu. " (QS. adz-Dzariat: 22)
Allah SWT telah menjamin rezeki di dunia
dan memerintahkan manusia untuk berusaha mencapai rezeki di akhirat. Rezeki di
dunia adalah sesuatu yang sudah dijamin, sehingga manusia tidak perlu melakukan
usaha yang terlalu sengit untuk mencapainya. Cukup baginya untuk berusaha
secara benar dan seimbang. Sedangkan berkenaan dengan rezeki akhirat, Allah SWT
memerin-tahkan manusia untuk berusaha mencapainya karena ia adalah rezeki yang
Allah SWT tidak menjaminnya kecuali jika manusia berhasil melampaui dua jihad:
jihad yang besar dan jihad yang kecil. Jihad besar adalah jihad melawan hawa
nafsu dan jihad kecil adalah jihad melawan musuh di medan perang.
Dengan terbebasnya seorang Muslim dari
kerisauan pada kematian, rezeki, dan rasa takut, maka Islam memberi seorang
Muslim senjatanya dan alat-alatnya dan ia memerintahkannya untuk mulai
memerangi kekuatan-kekuatan kelaliman di muka bumi. Allah SWT berfirman tentang
umat Islam:
"Kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang
mungkar, dan beriman kepada Allah." (QS. Ali 'Imran: 110)
Perhatikanlah, bagaimana Allah SWT
menyebutkan amal makruf nahi mungkar sebelum keimanan kepada Allah SWT. Ini
dimaksudkan agar akal manusia tergugah akan pentingnyajihad di jalan Allah SWT.
Amal makruf dan nahi mungkar tidak terwujud semata-mata dengan memegang tongkat
dan mencambukannya kepada punggung orang-orang Islam yang tidak salat; ia juga
tidak berupa usaha untuk menahan orang-orang Muslim yang tidak berpuasa.
Masalah itu lebih penting dan lebih besar dari sekadar memperhatikan hal-hal
yang bersifat lahiriah, sedangkan hal-hal yang bersifat batiniah tidak
diperhatikan.
Ayat tersebut berarti, hendaklah seorang
Muslim membawa senjata dan berdakwah di jalan Allah SWT serta memerangi
orang-orang lalim di muka bumi. Abu Bakar berkata: "Wahai manusia, kalian
membaca ayat berikut ini:"
"Hai orang-orang yang beriman,
jagalah dirimu. Tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu
apabila kamu telah mendapat petunjuk," (QS. al-Maidah: 105)
Dan aku mendengar Rasulullah saw bersabda:
"Sesungguhnya ketika masyarakat melihat orang yang lalim dan mereka tidak
menghentikannya, maka Allah SWT akan menimpakan azab kepada mereka semua."
Penafsiran Abu Bakar terhadap ayat
tersebut sangat jelas artinya. Yakni bahwa pelaksanaan ayat tersebut dapat
diwujudkan dengan adanyajihad di jalan Allah SWT dengan mengangkat senjata
sebagai usaha untuk menghentikan orang-orang yang lalim. Setelah itu, seorang
Muslim dapat mengatakan: "Aku telah melaksanakan tugasku dan tidak akan
berdampak kepadaku orang yang sesat setelah aku memberikan petunjuk."
Demikianlah pemahaman orang-orang Islam
yang pertama. Maka bandingkanlah pemahaman tersebut dengan pemahaman kita saat
ini di mana kita telah kchilangan keberanian, dan rasa takut telah menghinggapi
tubuh orang-orang Islam. Kaum Muslim lebih mengutamakan keselamatan diri mcrcka
daripada memerangi orang-orang yang lalim.
Muhammad bin Abdillah datang dengan
membawa risalah Islam yang di dalamnya terdapat perintah Ilahi untuk rnemerangi
orang-orang yang lalim dan mempertahankan kehormatan orang-orang yang tertindas
di muka bumi. Allah SWT berfirman:
"Karena itu, hendaklah orang-orang
yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat berperang di jalan Allah.
Barangsiapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh
kemenangan, maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar. Mengapa
kamu tidak mau berperang dijalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah
baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: 'Ya Tuhan
kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang lalim penduduknya dan berilah kami
pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong dari sisi-Mu. " (QS. an-Nisa': 74-75)
Muhammad bin Abdillah membacakan kepada
kaumnya tentang penafsiran Allah SWT berkenaaan dengan makna kejayaan yang
besar:
"Sesungguhnya Allah telah membeli
dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk
mereka. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh.
(Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan
Al-Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah?,
maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah
kemenangan yang besar." (QS. at-Taubah: 111)
Bacalah ayat tersebut dua kali dan
renungkanlah tentang kedermawan Allah SWT. Betapa tidak, Dia membeli jiwa
orang-orang mukmin dan harta mereka, padahal jiwa tersebut dan harta tersebut
pada hakikatnya adalah milik-Nya sendiri. Lihatlah bagaimana kemuliaan Allah
SWT di mana Dia membeli harta milik-Nya yang khusus dengan surga dan bagaimana
Allah SWT menganjurkan orang-orang Islam untuk berperang, dan Dia memberitahu
mereka bahwa urusan memerangi orang-orang lalim dan orang-orang yang tersesat
bukanlah hal yang baru atas orang-orang Islam. Allah SWT telah memerintahkan
hal tersebut dalam Injil dan Taurat. Sebagaimana Nabi Isa diutus dengan pedang,
seperti yang disebutkan dalam lembaran-lembaran atau buku-buku orang-orang
Nasrani, maka Nabi Musa pun diutus dengan membawa pedang. Dan ketika Bani
Israil berkata kepada Nabi Musa, "pergilah engkau bersama Tuhanmu dan
berperanglah, dan kami hanya di sini duduk-duduk saja,", maka kehendak Ilahi
menetapkan agar mereka mendapatkan kesesatan selama empat puluh tahun sebagai
akibat dari perbuatan mereka itu, agar generasi yang lemah dan hina itu hancur
yang mereka justru tidak memenuhi panggilan Allah SWT dan mereka membiarkan
Nabi Musa bersama Tuhannya berperang, padahal peperangan itu merupakan tanggung
jawab mereka dan tugas mereka yang harus mereka emban sebagai pengikut Nabi
Musa.
Demikianlah esensi dari ajaran Islam
sebagaimana yang dibawa oleh Muhammad bin Abdillah. Yakni ajakan untuk membaca
dan menggali ilmu serta mendapatkan kebebasan dan yang terpenting adalah usaha
melawan kekuatan-kekuatan lalim. Suatu ajakan yang universal yang tidak
dikhususkan untuk kalangan tertentu atau untuk waraa kulit tertentu atau untuk
kaum tertentu atau untuk tempat tertentu; suatu ajakan kemanusiaan yang
komprehensif yang universal yang ingin mengikat ilmu dan kebebasan dan jihad
dengan tujuan yang lebih tinggi, yaitu mencapai tauhid kepada Allah SWT dan
menyucikan-Nya serta keimanan terhadap hari kemudian dan kebangkitan manusia
semuanya di hadapan Allah SWT.
Adalah salah jika ada orang yang
menganggap bahwa Islam hanya memperhatikan aspek akhirat dan melupakan aspek
duniawi. Menurut Islam dunia adalah lembar-lembar jawaban yang akan dikoreksi
di hari akhir. Ia adalah ujian dan tempat percobaan bagi manusia agar manusia
mengetahui apakah ia layak untuk menda-patkan kemuliaan dari Allah SWT yang
telah diberikan kepada Adam. Atau apakah iajustru layak untuk jadi bagian dari
tanah neraka Jahim dan batunya, sebagaimana firman Allah SWT:
"Yang bahan bakarnya manusia dan
batu. " (QS. al-Baqarah: 24)
Rasulullah saw telah menjelaskan hikmah
dari penciptaan manusia, penciptaan kehidupan dan kematian ketika beliau
menyampaikan firman Allah SWT dalam surah al-Mulk:
"Yang menjadikan mati dan hidup,
supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amabiya. " (QS. al-Mulk: 2)
Dunia adalah rumah pergulatan. Dan Allah
SWT telah menciptakan kehidupan dan kematian agar manusia menyadari siapa di
antara mereka yang terbai amalnya. Tentu pengetahuan ini tidak akan menambah
kekuasaan Allah SWT. Pengetahuan itu justru dibutuhkan oleh manusia. Allah SWT
menciptakan manusia agar menusia mengetahui, danpengetahuan yang paling penting
adalah pengetahuan atau pengenalan terhadap diri. Dan pada hari kiamat manusia
akan mengenal dirinya secara sempurna dan ia akan mengenal balasan yang akan
diterimanya secara sempurna.
Dan barangkali mukadimah yang kami sarikan
dari hari akhir ini mengharuskan kehidupan di atas bumi dipenuhi dengan
kesucian dan kebersihan, yaitu diliputi dengan kemanusiaan yang sempurna yang
di dalamnya manusia layak untuk hidup. Demikianlah Islam yang dibawa oleh
Muhammad saw. Inilah asasnya dan hakikatnya. Itu adalah pondasi dan hakikat
yang tidak diciptakan oleh Muhammad saw dan tak didahului oleh rasul-rasul
sebelumnya. Hakikat risalah-risalah yang dulu semuanya adalah tauhid dan
mempertahankan kebenaran serta keimanan terhadap hari akhir dan
menyerahkan jiwa dan anggota tubuh hanya kepada Allah SWT. Yang baru dalam
Islam adalah ilmu, kebebasan dan universalitas ajaran Islam serta warna
keadilan yang sangat kental, sehingga sangat tepat jika dikatakan bahwa
karakter dari Islam adalah keadilan. Barangkali bagian ini perlu diperhatikan.
Meskipun agama-agama samawi pada esensinya
satu, tetapi kehendak Allah menuntut turunnya lebih dari agama dan lebih dari
satu nabi. Kehendak tersebut menuntut agar pada setiap agama terdapat karakter
yang khusus yang menggambarkan bentuk yang paling tepat sesuai dengan kebutuhan
utama yang di situ agama itu diturunkan dan sesuai dengan waktu saat itu.
Orang-orang Yahudi misalnya, mereka hidup di tengah-tengah suasana penyembahan
berhala dikalangan orang-orang Mesir kuno. Yahudisme diturunkan pada Bani
Israil yang suka membangkang dan karena itu, karakter utamanya adalah ketegasan
(as-Sharamah) agar mereka tidak terpengaruh dengan fenomena berhalaisme
ala Mesir atau mereka terkena pengaruh dari tindakan semena-mena Fir'aun.
Dengan ketegasan inilah agama Yahudi selamat dan dapat menjadi risalah
penyelamatan dan pembebasan.
Namun Bani Israil yang memperbudak
manusia dan mempunyai hati yang keras pada saat yang sama mereka keluar dari
Fir'aun untuk masuk ke cengkraman orang-orang Romawi di mana orang-orang
Romawi justru lebih lalim dan lebih kuat dari orang-orang Mesir. Oleh
karena itu, orang-orang Masehi bertanggung jawab untuk melakukan pembebasan
baru tetapi dengan cara yang berbeda sesuai dengan perubahan keadaan. Cara
tersebut adalah menjauhkan penggunaan kekuatan bersenjata karena kekuatan
orang-orang Romawi mengungguli kekuatan saat itu dan menguasai bumi secara
keseluruhan. Maka kemenangan yang mungkin dapat diperoleh adalah dengan cara
menghindari tindak kekerasan dan lebih mengutamakan pendekatan cinta. Dan pada
kali yang lain orang-orang Masehi memperoleh kemenangan melalui cara kedamaian
dan cinta yang disebarkannya atas imperialisme Romawi dengan segala senjatanya
dan kekuasaannya.
Adapun Islam datang sebagai agama yang
terakhir dan menyeluruh yang layak untuk diterapkan di muka bumi, sehingga
Allah SWT mewariskan bumi dan apa saja yang ada di dalamnya kepada orang-orang
yang berhak mewarisinya. Oleh karena itu, agama yang terakhir ini harus
mempunyai karakter khusus dan karakter itu adalah karakter keadilan.
Ketegasan hanya cocok untuk zaman tertentu
dan kelompok tertentu dan keadaan tertentu, sedangkan cinta adalah contoh yang
tertinggi, tetapi ia tidak dapat menjadi sesuatu tolok ukur untuk dibandingkan
dengan tindakan-tindakan tertentu atau untuk dijadikan alat untuk melakukan
sesuatu. Dan jika ia menjadi tolok ukur bagi orang-orang yang memilki perasaan
yang tinggi atau budaya yang tinggi, maka ia tidak dijadikan tolok ukur umum
dan universal. Adapun keadilan, maka ia menjadi karakter Islam yang berarti
keseimbangan dalam sifat-sifat keutamaan dan meletakkan segala sesuatu pada
tempatnya. Ini adalah tolok ukur yang menyeluruh dan barometer yang akhir. Dan
barangkali kebesaran keadilan dan pengaruhnya dalam pengaturan alam
bersandarkan kepada firman Allah SWT:
"Allah menyatakan bahwasannya tidak
ada Tuhan melainkan Dia. Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan
orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu)." (QS. Ali 'Imran:
18)
Apabila Allah SWT dalam Islam merupakan
cermin yang tertinggi, maka keadilan yang disaksikan oleh Allah SWT terhadap
diri-Nya sendiri harus menjadi karakter Islam dan kaum Muslim. Keadilan dalam
Islam bukan hanya keadilan ekonomi atau keadilan hukum atau keadilan dalam
balasan, tctapi ia mencakup semuanya. Sebelum semua ini dan sesudahnya,
kcadilan dalam Islam merupakan suatu sistem dalam kehidupan dan metode utama
dalam Islam.
Ketika Anda memalingkan pandangan Anda
dalam Islam, maka Anda akan menemukan keadilan menghiasi seluruh wajah Islam.
Di sana terdapat keadilan antara agama-agama yang dulu, keadilan antara
individu dan masyarakat, keadilan antara dunia dan agama, keadilan antara pria
dan wanita, keadilan untuk orang-orang yang fakir dan orang-orang yang kaya,
keadilan antara para penguasa dan rakyat, bahkan dengan keadilan itu sendiri
bumi dan langit ditegakkan dan Allah SWT menyebut diri-Nya sebagai al-'Adl(Yang MahaAdil).
Selanjutnya, Islam adalah agama yang sudah
lama sebagaimana lamanya kedatangan para nabi. Nabi Nuh as berkata dalam surah
Yunus:
"Jika kamu berpaling (dari peringatanku),
aku tidak meminta upah sedikit pun darimu. Upahku tidak lain hanyalah dari
Allah belaka dan aku disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang
berserah diri (kepadanya)." (QS. Yunus: 72)
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail as berkata
dalam surah al-Baqarah saat keduanya membangun Ka'bah:
"Ya Tuhan kami, terimalah dari kami
(amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Ya Tuhan Kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduh patuh kepada Engkau dan
tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji hami, dan
terimalah tobat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Menerima taubat lagi
Maha Penyayang. " (QS. al-Baqarah: 127-128)
Nabi Ibrahim tidak lupa untuk berwasiat
kepada keturunannya dan di antara mereka adalah Yakub agar mereka mati dalam
keadaan Islam. Allah SWT berfirman:
"Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan
itu kepada anaknya, Demikian pula Yakub. (Ibrahim berkata): 'Hai anak-anakku,
Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah hamu mati
kecuali dalam memeluk agama Islam.'" (QS. al-Baqarah: 132)
Ketika kematian mendekati Yakub, beliau
mengumpulkan anak-anaknya di sekelilingnya dan bertanya kepada mereka:
"Apa yang kamu sembah sepeninggalku?
Mereka menjawab: 'Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenak moyangmu,
Ibrahim, Ismail, dan hhaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk
patuh kepadanya.'" (QS. al-Baqarah: 133)
Allah SWT memberitahu kita dalam surah
Yunus tentang perkataan Nabi Musa kepada kaumnya:
"Hai kaumku, jika kamu beriman kepada
Allah, maka bertawakallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang
berserah diri." (QS. Yunus: 84)
Sementara itu, Nabi Sulaiman adalah
seorang Muslim sesuai dengan nas ayat-ayat yang menceritakan tentang kisahnya
bersama Ratu Saba' ketika Ratu tersebut berkata:
"Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah
berbuat lalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada
Allah, Tuhan semesta alam." (QS. an-Naml: 44)
Demikian juga Nabi Yusuf, beliau berdoa
kepada Allah SWT dan meminta kepadanya agar mematikannya sebagai orang Muslim
dan memasukannya dalam kelompok orang-orang yang saleh. Allah SWT berfirman dan
bercerita tentang Yusuf dalam surah Yusuf:
"Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau
telah menganugerahkan kepadaku sebagaian kerajaan dan telah mengajarkan
kepadaku sebagian ta'bir mimpi. (Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi, Engkaulah
Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan
gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh." (QS.Yusuf: 101)
Sementara itu dalam surah al-Maidah, Allah
SWT mewahyukan kepada kaum Hawariyin agar mereka beriman kepadanya dan kepada
rasul-Nya lalu mereka berkata:
"Kami telah beriman dan saksikanlah
(wahai rasul) bahwa Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada
seruanmu)." (QS. al-Maidah: 111)
Jadi, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Ismail,
Nabi Yakub, Nabi Musa Harun, Nabi Sulaiman, Nabi Yusuf, Nabi Isa adalah
nabi-nabi yang Muslim sesuai dengan nas ayat-ayat tersebut. Maka seluruh nabi
adalah orang-orang Muslim, lalu bagaimana Nabi Muhammad saw sebagai Nabi yang
terakhir dikatakan sebagai orang Muslim yang pertama?
Allah SWT berfirman dalam surah al-An'am
yang ditujukan kepada Nabi yang terakhir:
"Katakanlah: 'Sesungguhnya shalatku,
ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada
sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah
orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).'" (QS. al-An'am:
162-163)
Maka, bagaimana beliau menjadi orang
Muslim yang pertama, padahal penamaan umat beliau dengan sebutan al-Muslimin adalah penamaan yang sebenarnya sudah
dahulu dikenal di kalangan nabi-nabi yang terdahulu dan kedatangannya ke alam
wujud dan penamaan agamanya dengan sebutan al-Islam sebenarnya berhutang kepada kakeknya yang jauh, yaitu Nabi Ibrahim. Allah
SWT berfirman dalam surah al-Hajj:
"Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan
untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim.
Dia telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu. " (QS. al-Hajj: 78)
Tidak ada pertentangan dalam pendahuluan
para nabi dengan sebutan al-Muslimin daripada Rasulullah saw dan kedudukan beliau sebagai orang Muslim yang
pertama. Tentu kata al-Awwal (yang pertama) di sini tidak dipahami dari sisi waktu atau masa kemunculan,
tetapi yang dimaksud dengan orang Muslim di sini adalah akmalul muslimin(orang yang paling sempurna di antara orang-orang Muslim). Suatu kali
Aisyah pernah ditanya tentang akhlaknya Rasulullah saw lalu dia menjawab dengan
kalimatnya yang singkat: "Akhlak beliau adalah Al-Qur'an."
Kita mengetahui bahwa Al-Qur'an al-Karim
menetapkan akhlak yang mulia meskipun dalam batasannya yang sederhana dan
rendah, dan menyebutkan keutamaan akhlak dalam tingkatannya yang tinggi. Oleh
karena itu, akhlak seperti apa yang dimiliki oleh Rasulullah saw: apakah beliau
memiliki akhlak yang sifatnya tengah-tengah, atau apakah beliau mendahului
dalam kebaikan, atau apakah beliau termasuk ashabul yamin (orang-orang yang berasal di sebelah kanan), atau apakah beliau termasuk al-Muqarrabin(orang-orang yang dekat dengan Allah SWT)?
Rasulullah saw tidak hanya memiliki semua
karakter tersebut dan atribut tersebut, bahkan kedudukan beliau lebih dari itu
semua. Beliau berada di puncak dari segala puncak keutamaan akhlak, sehingga
beliau berhak untuk mendapatkan sebutan dari Allah SWT:
"Dan sungguh pada dirimu terdapat
budi pekerti yang agung. " (QS. al-Qalam: 4)
Para Mufasir berbeda pendapat tentang
makna dari al-Huluqul 'adzim (budi pekerti yang agung). Sebagian mereka mengatakan bahwa yang dimaksud
adalah Al-Qur'an. Sebagian yang lain mengatakan itu adalah Islam. Ada juga yang
mengatakan bahwa beliau tidak memiliki sesuatu kecuali keinginan untuk menuju
jalan Allah SWT.
Dalam Al-Qur'an al-Karim terdapat penjelasan
tentang derajat beliau yang tinggi dalam dua ayat yang mulia. Ayat yang pertama
adalah firman-Nya:
"Katakanlah: 'Sesungguhnya Shalatku,
ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada
sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah
orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).'" (QS. al-An'am: 162-163)
Beliau adalah orang yang paling utama di
antara manusia semuanya; beliau memiliki keutamaan yang melebihi semua manusia;
beliau memiliki rahmat dan kemuliaan yang tidak dapat ditandingi oleh seseorang
pun. Meskipun beliau datang sebagai Nabi yang terakhir namun justru karena
posisi beliau sebagai Nabi yang terakhir, maka beliau menjadi bata yang
terakhir dalam pembangunan rumah kenabian yang tinggi, sehingga bata yang
terakhir itu harus menjadi puncak pembangunan manusia. Sedangkan ayat yang
kedua adalah firman-Nya:
"Dan Kami tidak mengutusmu kecuali
sebagai rahmat bagi alam semesta." (QS. al-Anbiya': 107)
Beliau bukan hanya menjadi rahmat bagi
orang-orang Arab saja; beliau bukan hanya menjadi rahmat bagi orang-orang
Quraisy dan beliau bukan menjadi rahmat bagi zamannya saja, begitu juga beliau
tidak menjadi rahmat bagi jazirah Arab saja, tetapi beliau menjadi rahmat bagi
alam semesta; beliau senantiasa menjadi rahmat bagi alam semesta: dimulai dari
diturunkannya wahyu kepadanya dengan kalimat iqra hingga Allah SWT mewariskan bumi dan apa saja yang ada di dalamnya kepada
orang-orang yang berhak mewarisinya sampai hari kiamat. Alhasil, beliau adalah
rahmat yang dihadiahkan kepada manusia; beliau adalah rahmat yang tidak
menonjolkan mukjizat yang mengagumkan, tetapi beliau adalah rahmat yang memulai
dakwah dengan mengutamakan fungsi akal atau pembacaan dua kitab: pertama,
pembacaan kitab alam atau Al-Qur'an yang diciptakan atau kalimat-kalimat Allah
SWT yang terdiri dari jutaan bentuk dan kedua pembacaan Al-Qur'an yang
diturunkan melalui malaikat Jibril di mana ia merupakankalamullah yang abadi. Dan kitab alam dibaca dengan ribuan cara: dibaca melalui
penelusuran dunia:
"Katakanlah: 'Berjalanlah kamu di
mnka bumi dan amat-amatilah.'" (QS. an-Naml: 69)
Atau dibaca melalui usaha menyingkap
misteri dan penggunaan akal:
"Kami akan memperlihatkan kepada
mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka
sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu adalah benar. " (QS. Fushilat: 53)
Atau dibaca melalui ilmu dan pengamatan:
"Atau siapakah yang telah menjadikan
bumi sebagai tempat berdiam, dan yang telah menjadikan sungai-sungai di
celah-celahnya, dan yang menjadikan gunung-gunung untuk (mengokohkan)nya dan
menjadikan suatu pemisah antara dua laut 1 Apakah di samping Allah ada tuhan
(yang lain)? Bahkan (sebenarnya) kebanyakan dari mereka tidak mengetahui." (QS. an-Naml: 61)
Jika di sana terdapat ribuan jalan atau
cara untuk membaca kalimat-kalimat Allah SWT dan kitab alam, maka di sana
terdapat satu jalan untuk membaca kalamullah yang abadi, yaitu hendaklah Al-Qur'an dibaca dengan mata hati dan
kecermelangan basirah, sehingga Al-Qur'an menjadi bagian akhlak dari yang
membaca sesuai dengan kemampuannya.
Sebelum turunnya Al-Qur'an, dunia diliputi
dengan kekurangan, baik secara materi, ruhani, undang-undang maupun dari
dimensi kehidupan yang biasa melekat pada manusia saat itu. Dan sebelum
diutusnya Rasul saw yang beliau adalah manusia yang sempurna dan paling utama,
alam belum mencapai puncak dari penyerahan diri kepada Allah SWT atau puncak
dari keutamaan akhlak. Ketika Rasulullah saw diutus, maka manusia mengalami
kesempurnaan dan mampu mencapai tingkat kesempurnaannya. Dengan Kitab yang
mulia ini dan Nabi yang pengasih, Allah SWT yang menyempurnakan agama bagi
manusia dan menyempurnakan nikmat-Nya atas mereka, sebagaimana firman-Nya:
"Pada hari ini telah Ku-sempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Ku-ridhai Islam itujadi agama bagimu. " (QS. al-Maidah: 3)
Namun semua itu tidak terwujud begitu
saja, Nabi yang mulia harus berjuang secara serius dan sungguh-sungguh,
sehingga beliau menjadi manusia yang paling layak untuk mendapatkan pujian
pendduduk bumi dan penduduk langit. Dan Rasulullah saw telah melakukan semua
itu. Kita tidak mengenal seorang nabi yang perasaannya dihina dan dicaci maki
lebih dari apa diterima oleh Muhammad bin Abdillah; kita tidak mengenal seorang
nabi yang memikul berbagai penderitaan, dan memiliki kesabaran yang mengagumkan
di jalan Allah SWT sebagaimana yang ditunjukkan oleh Nabi kita.
Kemudian, seorang yang diutus oleh Allah
SWT sebagai rahmat bagi alam semesta tidak akan mengajak manusia menuju
kebenaran kecuali jika manusia tersebut dari kalangan orang-orang yang kafir
dan membangkang. Beliau berdakwah bagi orang yang berhak mendapatkan dakwah;
beliau siap memikul tanggung jawab dakwah dengan berbagai tantangan dan
cobaannya; beliau menunjukkan kesabaran yang luar biasa. Setelah itu, beliau
datang kepada Allah SWT dengan hati yang puas dan air mata yang bercucuran dan
dengan suara berbisik berkata: "Ya Allah, jika tidak ada kemurkaan pada
diri-Mu, maka aku tidak akan peduli dengan manusia." Segala sesuatu akan
menjadi mudah jika di sana terdapat ridha Allah SWT.
Setelah turunnya wahyu kepada Rasul saw,
beliau memulai tahapan dakwah dan mengajak manusia untuk menyembah Allah SWT.
Dimulailah dakwah secara rahasia yang berlangsung selama tiga tahun dalam
persembunyian.
Mula-mula Ummul Mu'minin, Khadijah binti
Khuwailid beriman kepadanya, lalu beriman juga sahabatnya, Abu Bakar
sebagaimana beriman kepadanya anak pamannya, Ali bin Abi Thalib yang saat itu
masih kecil dan hidup di bawah asuhan Muhammad, dan juga beriman kepadanya Zaid
bin Tsabit, seorang pembantunya. Kemudian Abu Bakar juga ikut berdakwah,
sehingga ia memasukkan dalam dakwah teman-temannya, seperti Usman bin Affan,
Thalha bin Ubaidilah, dan Sa'ad bin Abi Waqas. Juga beriman seorang Masehi,
yaitu Waraqah bin Nofel dan Rasulullah saw melihatnya setelah kematiannya tanda
kesenangan yang itu menunjukkan ketinggian derajatnya di sisi Allah SWT.
Setelah itu, Abu Dzar al-Ghifari juga masuk Islam, lalu disusul oleh Zubair bin
Awam dan Umar bin 'Anbasah serta Sa'id bin 'Ash. Jadi, Islam mulai mengepakkan
sayapnya secara rahasia di Mekah.
Kemudian berita tersebarnya akidah yang
baru ini sampai kepada pembesar-pembesar Quraisy, tetapi mereka tidak begitu peduli.
Barangkali mereka membayangkan bahwa Muhammad telah menjadi—karena uzlah yang
dilakukannya di gua Hira—salah seorang juru bicara tentang ketuhanan
sebagaimana pernah dilakukan oleh Umayah bin Shalt dan Qas bin Sa'adah.
Demikianlah dakwah secara rahasia berhasil
mengembangkan misinya dan dapat melindungi akidah yang baru. Dan selama
perjalanan tiga tahun yang dibutuhkan tahapan dakwah secara rahasia keimanan
telah tertanam dalam hati kaum Muslim yang pertama. Rasulullah saw telah
mendidik mereka dan telah menanamkan kepada diri mereka sifat-sifat kemuliaan
dan telah menciptakan mereka sebagai benih pertama dari pasukan Islam. Pada
suatu hari Jibril turun dengan membawa firman Allah SWT:
"Dan berilah peringatan kepada
kerabat-kerabatmu yang terdekat." (QS. asy-Syu'ara': 214)
Demikianlah, datanglah perintah Ilahi agar
Rasulullah saw berdakwah secara terang-terangan. Lalu berkumpullah di
sekeliling Nabi sekelompok tentara yang besar dan datanglah perintah Ilahi agar
beliau menyampaikan dakwah secara terang-terangan dan mengingatkan keluarga
dekatnya. Ketika Nabi melakukan hal tersebut, maka dakwah memasuki tahapan yang
kedua. Dan tahapan dakwah yang baru ini berakibat pada timbulnya penekanan
terhadap para dai di mana mereka mengalami penindasan, bahkan mereka didustakan
oleh masyarakat serta diboikot.
Orang-orang Quraisy mengetahui bahwa
Muhammad berbahaya bagi mereka. Beliau bukan hanya berbicara tentang ketuhanan,
tetapi beliau mengajak rnanusia untuk mengikuti agama baru, yaitu agama yang
mencoba untuk menyingkirkan berhala-berhala dan patung-patung mereka serta
tuhan-tuhan mereka yang mereka yakini; agama yang mencoba menyingkirkan
kedudukan sosial mereka dan kepentingan-kepentingan ekonomi mereka; agama yang
menyatakan bahwa tiada tuhan lain selain Allah SWT, dan tiada hukum lain selain
hukum-Nya, serta tiada penguasa lain selain Dia. Kedatangan agama tersebut
menyebabkan penduduk kota Mekah membencinya dan orang-orang yang memegang
kekuasaan di dalamnya merasa gelisah.
Setelah pengumuman dakwah secara terang-terangan,
dimulailah dan ditabuhlah gendrang peperangan. Kemudian peperangan yang dahsyat
terjadi antara para pembesar Quraisy dan para pengikut Rasulullah saw. Orang
yang pertama kali menyerang Islam adalah seorang tokoh Mekah yang bernama Abu
Lahab.
Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah saw
menaiki bukit Shafa dan beliau mulai memanggil-manggil tokoh Quraisy dan para
kabilah Mekah. Dan ketika semua berkumpul, beliau bertanya kepada mereka:
"Apakah kalian percaya jika aku memberitahu kalian bahwa seekor kuda akan
datang menyerang kalian?" Mereka menjawab: "Tentu, kami belum pernah
melihatmu berbohong." Beliau berkata: "Aku seorang yang diutus
sebagai pemberi peringatan terhadap kalian. Di hadapanku terdapat siksaan yang
berat jika kalian menentang." Abu Lahab berkata: "Sungguh celaka
engkau, apakah karena ini engkau mengumpulkan kami."
Dengan penghinaan inilah, peperangan
terhadap Islam dimulai. Ketika kaum Muslim tidak mampu mempertahankan diri
mereka, maka mula-mula Allah SWT membantu mereka dan menolong mereka dengan
menurunkan surah yang pendek yang mengecam tindakan Abu Lahab:
"Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan
sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah bermanfaat kepadanya harta bendanya dan
apa yang dia usahahan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan
(begitu pula) isterinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari
sabut. " (QS. Allahab: 1-5)
Dengan ayat-ayat yang pendek dan tepat
tersebut, Abu Lahab memasuki kancah sejarah dari pintunya yang paling pendek.
Gambaran tentang kejahatan Abu Lahab tertulis selama-lamanya. Abu Lahab adalah
seorang yang menentang dakwah kebenaran karena ia mengkhawatirkan kedudukannya
dan kekayaannya, padahal harta yang dipertahankannya dan dijaganya tidak
memiliki arti sama sekali di sisi Allah SWT karena ia sekarang berada dan
dijebloskan di tengah-tengah neraka yang menyala-nyala, sedangkan isterinya
membawa kayu bakar, sehingga menambah nyala api itu sendiri. Dan di lehernya
terdapat suatu belenggu sebagai simbol keterikatannya dengan dunia binatang
yang tidak berakal. Sebagian besar orang-orang yang menentang dakwah adalah
orang-orang yang berhubungan dengan dunia binatang yang tidak sadar.
Allah SWT berfirman:
"Atau apakah kamu mengira bahwa
kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah
seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang
ternak itu). " (QS. al-Furqan: 44)
Seandainya hari ini kita merenungkan
reaksi orang-orang kafir dan orang-orang musyrik, maka kita akan
terheran-heran.
Allah SWT berfirman:
"Dan mereka heran karena mereka
kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan
orang-orang kafir berkata: 'Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta.
Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan yang Satu saja? Sesungguhnya ini
benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan'." (QS. Shad: 4-5)
Coba perhatikan bagaimana kebodohan kaum
itu di mana mereka menganggap bahwa pada hakikatnya terdapat multi tuhan dan
mereka jutru merasa heran ketika terdapat hanya satu tuhan atau tuhan yang esa.
Mereka justru merasa heran ketika berhadapan dengan masalah yang fitri dan
jelas ini.
Allah SWT berfirman:
"Dan apabila mereka melihat kamu
(Muhammad), mereka hanyalah menjadikan kamu sebagai ejekan (dengan mengatakan):
'Inikah orangnya yang diutus Allah sebagai rasul? Sesungguhnya hampirlah ia
menyesatkan kita dari sembahan-sembahan kita, seandainya kita tidak sabar
(menyembah)nya. " (QS. al-Furqan: 41-42)
Perhatikanlah betapa nekatnya kaum itu di
mana mereka mulai menghina dan mengejek Rasulullah saw, padahal beliau telah
datang di tengah-tengah mereka untuk menyelamatkan mereka dari api neraka, dan
coba perhatikan bagaimana pandangan mereka terhadap tuhan-tuhan mereka. Mereka
membayangkan bahwa mereka nyaris tersesat jika mereka tidak bersabar dalam
membela tuhan-tuhan tersebut. Demikianlah kesesatan mengejek kebenaran dan
kebodohan menghina ilmu. Mereka justru merasa heran terhadap kepandaiannya yang
dapat menyelamatkannya dari meninggalkan tuhan-tuhannya yang terbuat dari batu
dan kayu, bahkan terkadang mereka membuat tuhan dari adonan roti di mana mereka
menyembahnya kemudian memakannya. Mereka mengatakan bahwa tuhan-tuhan kami
menyelamatkan kami dari rasa lapar atau mereka mengatakan bahwa kami menyembah
mereka agar mereka dapat mendekatkan kami pada Allah sedekat-dekatnya.
Meskipun demikian, dakwah Nabi terus
berlanjut dan tertanam di muka bumi. Mereka orang-orang musyrik menuduh Nabi
sebagai seorang dukun; mereka menuduhnya juga sebagai seorang gila, bahkan
mereka menuduhnya sebagai seorang penyihir; mereka menuduh bahwa beliau
berbohong atas nama kebenaran dan beliau dibantu oleh kaum yang lain; mereka
mengatakan ini adalah dongengan orang-orang yang dahulu.
Mereka meminta kepada beliau untuk
mendatangkan mukjizat dengan bentuk tertentu; mereka memberitahu bahwa mereka
tidak akan beriman kepadanya, sehingga terdapat suatu mata air yang memancar
dari bumi atau terwujud di depan mereka suatu taman dari pohon kurma dan anggur
yang memancar di tengah-tengahnya sungai, atau langit akan runtuh sebagaimana
yang beliau sampaikan kepada mereka sebagai bentuk azab atau beliau datang
dengan Allah SWT dan para malaikat dan mereka semua menjamin kebenaran dakwah
yang diserukannya, atau beliau memiliki rumah dari emas atau beliau mampu
mendaki langit dan mereka masih belum beriman terhadap pendakian itu meskipun
ia mendaki di hadapan mata mereka dan kembali dengan selamat, kecuali jika ia
menghadirkan kitab kepada mereka yang dapat mereka baca dari langit.
Nabi tidak peduli dengan usaha mereka
untuk menyakiti hati beliau; Nabi tetap memberitahu mereka dengan penuh
kelembutan bahwa apa saja yang mereka minta itu tidak sesuai dengan Islam.
Sebab, Islam hanya menyeru akal dan berusaha menciptakan kebebasan. Beliau
menyampaikan kepada mereka bahwa beliau hanya sekadar manusia yang diutus oleh
Tuhan; beliau datang kepada mereka untuk mengingatkan mereka akan suatu hari di
mana seorang tua tidak akan menyelamatkan anaknya dan tidak bermanfaat di
dalamnya harta dan anak-anak, dan mereka tidak akan selamat di dalamnya dari
siksaan. Orang-orang yang mempunyai kedudukan atau para tokoh mereka adalah
para tiran-tiran di muka bumi di mana semua itu tidak akan bermanfaat bagi
mereka pada hari kiamat. Siksaan yang bakal mereka terima tidak dapat mereka
hindari dan mereka pun tidak dapat meringankannya.
Demikianlah Islam—sebagaimana agama-agama
sebelumnya— mengumpulkan di sekelilingnya orang-orang yang berakal dan
orang-orang yang fakir serta orang-orang yang menderita di muka bumi.
Berimanlah sekelompok orang-orang fakir di mana mereka menjadi kelompok sosial
yang tertindas dan tersingkirkan di Mekah. Mereka menjadi makanan empuk
kelompok-kelompok yang lalim.
Islam bukan hanya memberikan solusi
ekonomi terhadap tragedi kehidupan atau masyarakat, tetapi Islam memberikan
solusi Ilahi terhadap keberadaan manusia secara umum; Islam meyakini bahwa
manusia bukan hanya sekadar perut yang harus dikenyangkan dan naluri seksual
yang harus dipuaskan, manusia bukan hanya dilihat dan dinilai dari sisi ini,
namun Islam justru meletakkan manusia pada tempatnya yang hakiki, tanpa
membesar-besarkan atau mengecilkannya. Dalam pandangan Islam, manusia terdiri
dari bangunan fisik dan ruhani, terdiri dari akal dan ambisi dan terdiri dari
celupan dari Allah SWT dalam ruhnya.
Islam tidak mementingkan fisik saja dan
meninggalkan ruhani, begitu juga sebaliknya. Terkadang fisik boleh jadi
mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan, tetapi ruhani justru mengalami
penderitaan yang luar biasa. Karena itu, pemuasan salah satu dimensi dari
dimensi manusia tidak akan membawa manusia kepada kesempurnaan atau
kebahagiaan. Maka, Islam datang untuk membawa suatu solusi yang dapat
menyelamatkan manusia dari dalam dirinya sendiri dan Islam membebankan tugas
ini, yakni tugas perubahan ini kepada Al-Qur'an.
Al-Qur'an menjadi cermin dalam kehidupan
di mana ayat-ayatnya diturunkan kepada Rasul saw, lalu beliau mengajarkannya
kepada kaum Muslim. Kemudian Al-Qur'an berubah menjadi orang-orang yang
berjalan di pasar-pasar dan mengancam singgasana kebencian yang menguasai
Mekah, sehingga orang-orang musyrik justni meningkatkan usaha pengejekan dan
penghinaan terhadap Rasul saw. Oleh karena itu, beliau semakin sedih lalu Allah
SWT menghiburnya. Allah SWT memberitahu beliau bahwa mereka tidak
mendustakannya, tetapi mereka justru melalimi diri mereka sendiri. Mereka mulai
menentang Nabi dan ayat-ayat Allah SWT, padahal Nabi adalah salah satu dari
ayat Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya Kami mengetahui
bahwasannya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah hamu
bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi
orang-orang yang lalim itu mengingkari ayat-ayat Allah." (QS. al-An'am:
33)
Kemudian kaum musyrik meningkatkan
penindasan kepada Rasul saw dan para pengikutnya. Peperangan dimulai: dari
peperangan urat saraf sampai peperangan fisik. Mereka mulai menyiksa para
pengikut Rasul saw, bahkan membunuhnya. Pada saat itu, musuh-musuh Islam
membayangkan bahwa dengan cara menindas kaum Muslim dan menekan mereka dakwah
Islam akan berhenti dan kaum Muslin akan enggan untuk berdakwah. Mereka
menganggap bahwa kaum Muslim justru memilih untuk menyelamatkan diri mereka.
Namun para tokoh-tokoh Quraisy dan para tokoh-tokoh Mekah dikagetkan ketika
melihat penekanan yang mereka lakukan justru semakin membakar semangat kaum
Muslim untuk berdakwah. Saat itu kaum Muslim merasa yakin bahwa benih yang
telah ditanam Rasulullah saw dalam diri mereka menjadikan mereka tetap
bersemangat untuk menyebarkan risalah Allah SWT di muka bumi, yaitu suatu
risalah yang mengembalikan bumi menuju kematangan (kesempurnaan) yang telah
hilang darinya dan kema-nusiaan yang telah disia-siakan serta kehormatan yang
telah ditumpahkan dan kebebasan yang telah hilang.
Kaum Muslim yakin bahwa mereka bukan hanya
membangun suatu negeri yang kecil di Mekah, dan mereka bukan hanya memperbaiki
masyarakat yang rusak, yaitu masyarakat jazirah Arab, tetapi mereka mengetahui
bahwa mereka akan membangun suatu manusia yang baru. Mereka akan menciptakan
manusia seutuhnya; mereka akan menghadirkan dunia dalam bentuk yang baru dan
dalam gambar yang baru yang merupakan cermin dari gambar kebesaran sang
Pencipta.
Sebelum kedatangan Islam, orang-orang Arab
tidak dikenal. Dibandingkan dengan peradaban yang dahulu dan modern, orang-orang
Arab tidak memiliki apa-apa. Mereka tidak memberikan kontribusi kepada dunia
dalam bentuk ilmu, seni, atau peninggalan apa pun yang dapat dijadikan sebagai
kebanggaan. Namun ketika Islam turun kepada mereka, mereka menjadi cermin
kejayaan manusia di mana mereka dapat memberikan sumbangan nyata pada umat
manusia. Bahkan orang-orang Barat banyak berhutang kepada mereka dalam kemajuan
yang mereka capai saat ini. Sebaliknya, ketika mereka berpaling dari Islam di
mana Islam hanya menjadi lembaran cerita-cerita dan kertas-kertas yang tidak
berguna, maka saat itulah orang-orang Barat dapat menguasai kaum Muslim karena
mereka justru mendapatkan ilmu dari Kaum Muslim itu sendiri. Mereka justru
mencapai kemajuan ketika kaum Muslim meninggalkan agama mereka. Jadi, ketika
kaum Muslim memahami Islam secara benar dan berusaha untuk memnghidupkan
ajaran-ajarannya niscaya mereka akan mencapai puncak keilmuan.
Pada awal-awal masa tersebarnya Islam,
kaum Muslim menyadari bahwa mereka menghadapi peperangan yang tidak akan
berhenti. Selama kehidupan ada, maka pertentangan pun tetap ada. Oleh karena
itu, ketika mereka mendapatkan penganiayaan dan siksaan, maka keimanan mereka
justru semakin meningkat, dan setiap penganiayaan yang dilakukan oleh kaum
Quraisy, maka mereka tetap bertahan untuk mempertahankan kebenaran. Sebagai
contoh, Amar bin Yasir mengalami penderitaan dan penganiayaan. Ia adalah salah
seorang budak yang menjadi korban dari sistem ekonomi yang berlaku saat itu,
yaitu ekonomi yang berdasarkan kepada sistem perbudakan. Seorang yang beriman
tersebut disiksa di Mekah di mana ia tidak memperoleh kebebasannya yang hakiki
kecuali setelah ia memeluk Islam. Mereka mengeluarkannya ke gurun dan
menyiksanya beserta ibunya. Bahkan siksaan semakin meningkat atas ibunya agar
ia kembali menjadi musyrik. Ketika ia tetap mempertahankan keimanannya dan
dengan tegas menolak ajakan untuk menentang Islam, maka Abu Jahal menikamnya
dengan belati yang ada di dua tangannya. Ia pun meninggal. Dan Islam
mengorbankan syahidnya yang pertama. Wanita mulia itu bernama Sumayah, ibu dari
Amar bin Yasir.
Banyak kalangan orang-orang bodoh
mengatakan tentang persetujuan Islam terhadap sistem perbudakan, atau Islam
mendiamkan sistem perbudakan. Mereka lupa bahwa Islam dibangun berdasarkan
suatu prinsip yang ingin membebaskan perbudakan dengan segala bentuknya; Islam
ingin mengeluarkan manusia dari kepemilikan sesama manusia menuju kepemilikan
kepada Allah SWT.
Jika Islam tidak turun dengan nas-nas yang
terperinci yang mengharamkan sistem perbudakan, maka dasar-dasarnya secara umum
dan prinsip-prinsip utamanya menghentikan—baik dalam tindakan maupun
ucapan—sumber-sumber sistem ini. Allah SWT sebagai pemilik syariat mengetahui
bahwa sistem perbudakan adalah sistem ekonomi yang sementara yang akan berubah
dengan perubahan waktu, dan karena Islam tidak turun pada waktu yang terdapat
perbudakan saja, tetapi ia turun secara umum dan menyeluruh untuk setiap zaman,
maka Islam sengaja melewati bentuk-bentuk yang temporal ini dari bentuk-bentuk
eksploitasi menuju unsur yang pertama atau dasar pertama yang menimbulkan
bentuk-bentuk eksploitasi tersebut, sehingga Islam mengharamkannya. Dengan cara
demikian, Islam mengharamkan sistem perbudakan secara bertahap, seperti proses
pengharaman khamer. Jadi, keseriusan Islam sangat menonjol dalam usaha
menghapus dan mengharamkan perbudakan.
Jika dikatakan kepada kita bahwa Islam
membolehkan para tentaranya untuk memperbudak para tawanan perang, maka kita
akan mengatakan bahwa Islam menerapkan sistem ini sebagai bentuk pembalasan
terhadap perlakuan yang sama di mana musuh-musuh Islam menjadikan kaum Muslim
sebagai budak-budak mereka ketika mereka menawannya. Oleh karena itu, secara
alami orang-orang Islam pun menawan mereka sebagai budak-budak. Jika Islam
tidak melakukan yang demikian, maka boleh jadi Islam akan dimain-mainkan dan
ada kesempatan besar bagi orang-orang musyrik untuk memperdaya Islam.
Demikianlah bahwa dakwah Islam mengalami
berbagai macam hambatan dan penindasan. Dan ketika orang-orang yang tersiksa
mengadu kepada Rasulullah saw atas penindasan yang mereka terima, maka
Rasulullah saw memberitahu mereka dengan pembicaraan yang jelas bahwa para dai
di jalan Allah SWT harus mengorbankan kesenangan mereka, kedamaian mereka, dan
darah mereka sebagai harga yang pantas untuk tersebarnya dakwah Islam.
Kebebasan bukan diperoleh dengan cuma-cuma. Sejarah kehidupan menceritakan
kepada kita bahwa ia dipenuhi dengan gumpalan darah yang harus dibayar oleh
masyarakat untuk memerangi musuh-musuhnya dari luar dan dari dalam. Jika ini
dialami setiap orang yang menuntut kebebasan pada zaman dan tempat tertentu,
maka bagaimana dengan orang-orang yang menuntut kebebasan manusia secara
keseluruhan.
Seorang Muslim hendaklah sadar bahwa
dengan mengumumkan dakwahnya, maka ia pasti akan menerima pengusiran,
penindasan, penjara, pengepungan dan pembunuhan. Ini adalah harga yang pantas
yang harus dibayar ketika berdakwah di jalan Allah SWT; inilah harga kebebasan.
Bahkan terkadang kaum yang batil pun membayamya dengan senang hati, maka bagaimana
mungkin orang-orang yang bersama kebenaran ragu untuk melakukannya.
Pada hakikatnya, manusia cinta kepada
keabadian. Secara naluri manusia merasa takut pada azab dan kematian. Dan
barangkali yang membedakan orang-orang Islam yang hakiki dengan yang lainnya
adalah bahwa mereka terbebas dari rasa ketakutan dan cinta keabadian. Ini
adalah tolok ukur yang pasti untuk membedakan antara seorang Muslim yang hakiki
dan seorang Muslim yang hanya namanya atau Muslim warisan atau hanya klaim
semata.
Seorang Muslim yang hakiki menyadari bahwa
ajal di tangan Allah SWT, rezeki adajuga di tangan-Nya, begitu juga keamanan
semua ada di tangan-Nya. Dengan keimanan seperti ini, ia memulai pergulatannya
untuk menyebarkan dakwah. Ia siap untuk menerima penyiksaan dan penderitaan di
jalan Allah SWT; ia pun siap meneteskan darahnya sebagai harga yang pantas yang
diberikannya dalam rangka memperoleh kebebasan. Ini semua dilakukanya dengan
begitu sederhana dan tidak ada rasa takut karena Islam membebaskannya dari rasa
ketakutan. Dahulu para pembangkang menggergaji orang-orang yang menyeru di
jalan Allah SWT dengan menggergaji saat mereka dalam keadaan hidup-hidup.
Khabab bin Irit pergi menemui Rasulullah
saw dan meminta tolong kepada beliau dari penyiksaan orang-orang Quraisy,
sambil berkata: "Tidakkah engkau menolong kami, wahai Rasulullah? Tidakkah
engkau berdoa kepada kami, ya Rasulullah?" Rasulullah saw menjawab:
"Sungguh sebelum kalian terdapat orang-orang yang berdakwah di jalan Allah
SWT lalu mereka dimasukkan dalam suatu galian tanah lalu mereka digergaji di
mana tubuh mereka dipisah menjadi dua, namun mereka tetap mempertahankan
agamanya. Demi Allah, sungguh Allah SWT akan menolong masalah ini tetapi kalian
terlalu tergesa-gesa."
Dengan kalimat-kalimat yang penuh kesabaran
dan keberanian ini, Rasulullah saw ingin memahamkan kepada orang tersebut bahwa
termasuk dari kesempurnaan iman adalah membayar harga kebebasan. Jelas sekali
bahwa Islam tidak memberikan keuntungan bagi orang yang memeluknya. Orang-orang
Islam yang pertama tidak bertanya dan mengatakan: "Apa yang kita peroleh
dari agama ini?" Sebaliknya, mereka bertanya: "Apa yang kita bayar
untuk Islam?" Jawabannya adalah: "Segala sesuatu dimulai dari
suapan-suapan roti sampai darah yang tertumpah." Jadi, kaum Muslim yang
pertama telah membayar ongkos kebebasan. Mereka merasakan kedamaian yang luar
biasa untuk mempertahankan agama Allah SWT; mereka mendapatkan kepercayaan yang
tinggi tentang kemenangan kebenaran yang datang kepada mereka; mereka justru
memberitahu orang-orang musyrik bahwa mereka akan dapat mengalahkan raja-raja
Kisra dan Kaisar. Dengan dakwah yang mereka lakukan, mereka akan menjadi
pemimpin-pemimpin di muka bumi. Kaum musyrik justru memanfaatkan kepercayaan
ini untuk mengejek mereka dan menertawakan mereka.
Ketika Aswad Ibnu Matlab dan orang-orang
yang bersamanya melihat sahabat-sahabat Nabi, maka mereka mengejek dan
mengatakan: "Telah datang kepada kalian pemimpin-pemimpin bumi yang esok
akan mengalahkan raja-raja Kisra dan Kaisar, kemudian mereka bersiul dan
bertepuk tangan." Namun kaum mukmin tidak peduli dengan ejekan tersebut.
Demikianlah bahwa ejekan demi ejekan terus menyertai dakwah kaum Muslim.
Kemudian kaum Quraisy mengadakan pertemuan yang bersejarah untuk menyatukan
pandangan dalam rangka menyerang Rasulullah saw. Kaum musyrik menuduhnya bahwa
beliau adalah seorang ahli sihir, dan pada kali yang lain mereka menuduhnya
bahwa beliau adalah dukun, dan pada kali yang lain lagi mereka menuduhnya bahwa
beliau adalah penyair, bahkan pada kali yang lain mereka menuduhnya bahwa
beliau adalah seorang yang gila. Kemudian mereka semua sepakat untuk menuduh
bahwa beliau adalah seorang penyihir.
Walid bin Mughirah yang terkenal sebagai
orang yang terpandang di kalangan mereka menuduh Rasulullah saw sebagai penyihir
yang dapat memisahkan antara sesama saudara dan antara seseorang dengan
isterinya. Kemudian mereka membikin kelompok-kelompok yang mengingatkan para
pendatang di Mekah bahwa Muhammad adalah seorang penyihir. Meskipun demikian,
dakwah Islam tetap berlangsung. Ia tetap tersebar dengan pelan namun pasti dan
kalimat-kalimat yang diutarakan Nabi justru mengingatkan perjanjian yang pernah
dilakukan oleh manusia, yaitu perjanjian saat Allah SWT menyaksikannya ketika
mereka masih di alam atom di punggung Adam:
"Bukankah aku Tuhan kalian? Mereka
menjawab: 'Benar.'" (QS. al-A'raf: 172)
Bertambahlah jumlah kaum Muslim hingga
kaum Quraisy merasakan ketakutan. Mereka mulai melihat bahwa penggunaan
cara-cara kekerasan tidak selalu berhasil. Kemudian mereka memilih untuk
menggunakan cara baru, yaitu bagaimana seandainya mereka menggunakan perdamaian
dan perundingan. Orang-orang Quraisy mengutus 'Utbah bin Rabi'ah, seorang
lelaki yang terkenal dengan kecerdasan dan kebijaksanaan sebagai juru runding.
'Utbah berkata kepada Rasul saw:
"Wahai anak saudaraku, kami mengetahui kedudukanmu di sisi kami dari sisi
nasab. Engkau datang kepada kaummu dengan suatu hal yang besar di mana engkau
memisahkan kelompok-kelompok mereka. Maka dengarkanlah aku karena aku ingin
berbicara tentang beberapa hal. Barangkali engkau akan menerima
sebagiannya." Rasul saw berkata: "Silakan berbicara wahai
'Utbah." 'Utbah berkata: "Jika engkau menginginkan harta niscaya kami
akan mengumpulkan harta bagimu, sehingga engkau akan menjadi orang yang paling
kaya di antara kami, dan jika engkau menginginkan kehormatan, maka kami akan
memberi kehormatan itu bagimu dan jika engkau menginginkan kekuasaan, maka kami
akan menyerahkan kekuasaan padamu dan jika engkau terkena penyakit yang engkau
tidak mampu menolaknya dari dirimu, maka kami akan mencarikan tabib bagimu dan
kami akan mengeluarkan harta kami sehingga engkau sembuh."
Demikianlah 'Utbah mengakhiri
pembicarannya. Kemudian ia menunggu reaksi Nabi. Lalu Rasulullah saw berkata:
"Dengan nama Allah yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang. Haa miim. Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi
Maha Penyanyang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa
Arab, untuk kaum yang mengetahui. Yang membawa berita gembira dan yang membawa
peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling (darinya);, maka mereka tidak
(mau) mendengarkan. Mereka berkata: 'Hati kami berada dalam tutupan (yang
menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya dan di telinga kami ada sumbatan
dan antara kami dan kamu ada dinding, maka bekerjalah kamu; Sesungguhnya kami
bekerja (pula).' Katakanlah: 'Bahwasannya aku hanyalah seorang manusia seperti
kamu, diwahyukan kepadaku bahwasannya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa,
maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepadanya dan mohonlah ampun
kepadanya. Dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-(Nya),
(yaitu) orang-orangyang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya
(hehidupan) akhirat. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
yang saleh mereka mendapat pahala yang tiada putus-putusnya.' Katakanlah:
'Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada yang menciptakan bumi dalam dua masa
dan kamu adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? (Yang bersifat) demikian itulah Tuhan
semesta alam. Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di
atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan
(penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi
orang-orang yang bertanya. Kemudian dia menuju kepada penciptaan langit dan
langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi:
'Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.'
Keduanya menjawab: 'Kami datang dengan suka hati.' Maha Dia menjadikannya tujuh
langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan
Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami
memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perhasa
lagi Maha Mengetahui. Jika mereka berpaling, maka katakanlah: 'Aku telah
memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum 'Ad dan kaum
Tsamud." (QS. Fushilat: 1-13)
Rasulullah saw telah menjawab tawaran
'Utbah di mana beliau memilih untuk menghadapi tawaran dan iming-iming tersebut
dengan membaca sebagian dari surah Fhusilat yang merupakan salah satu surah
Al-Qur'an yang diturunkan oleh Allah SWT melalui malaikat Jibril. 'Utbah
bangkit dari tempatnya ketika Rasulullah saw sampai pada firman-Nya:
"Jika mereka berpaling, maka katakanlah:
'Aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum
"Ad dan kaum Tsamud. " (QS. Fushilat:
13)
'Utbah berdiri dalam keadaan takut dan
segera menuju kaum Quraisy. Bayang-bayang azab dunia terngiang di telinganya.
Dan ketika ia sampai ke orang Quraisy, ia mengusulkan agar orang-orang Quraisy
membiarkan apa saja yang dilakukan Muhammad. Gagallah perundingan dengan
seorang Muslim yang pertama, yaitu Rasulullah saw. Gagalnya perundingan
tersebut sebagai bentuk pemberitahuan tentang kembalinya tindak kekerasan dan
penyiksaan terhadap sahabat-sahabat Rasul saw. Kemudian kaum musyrik semakin
meningkatkan penindasan terhadap kaum Muslim. Rasulullah saw sangat menderita
melihat hal yang dirasakan para sahabatnya. Ketika kaum Muslim membayar harga
yang paling mahal sebagai konsekuensi dari akidah yang mereka anut dan mereka
dengan sabar memikul penderitaan di jalan Allah SWT, maka Rasulullah saw
mengisyaratkan mereka untuk berhijrah. Beliau memberikan izin untuk berhijrah
bagi orang yang ingin hijrah.
Kemudian Dimulailah gelombang hijrah. Itu
terjadi pada lima tahun dari turunnya wahyu setelah dua tahun diumumkannya
dakwah. Maka berhijrahlah ke Habasyah enam belas orang Muslim. Mereka keluar
secara rahasia dan mereka menuju ke laut. Mereka berlayar meskipun orang-orang
yang tinggal di gurun sebenarnya tidak ingin berlayar karena mereka takut dari
laut dan mereka yakin bahwa manusia yang berlayar di laut akan menjadi ulat di
atas kayu-kayu yang berenang.
Selanjutnya, gelombang hijrah yang kedua
pun dimulai. Kali ini diikuti oleh delapan puluh tiga orang laki-laki dan
sembilan belas perempuan. Kemudian orang-orang Quraisy berusaha untuk mengirim
beberapa orang dan tetap berusaha menyiksa dan menyakiti orang-orang yang
berhijrah. Mereka mengutus ke Najasyi, Raja Habasyah, orang-orang yang dapat
mempengaruhinya untuk menentang orang-orang yang berhijrah. Mereka menuduh kaum
Muslim meninggalkan agama nenek moyang mereka di Mekah dan mereka juga tidak
menganut agama Najasyi, yaitu agama Kristen. Kemudian orang-orang Quraisy tidak
lupa mengirim hadiah kepada Najasyi sebagai bentuk suapan kepadanya. Tampaknya
Najasyi seorang yang berakal lalu ia mengutus seseorang kepada kaum muhajirin
dan bertanya kepada mereka tentang agama baru yang mereka anut. Kemudian kaum
muhajirin menceritakan kepadanya tentang Islam.
Najasyi bertanya tentang Isa lalu mereka
menjawab: "Ia adalah hamba Allah SWT dan rasul-Nya dan ruh-Nya serta
kalimat-Nya yang diletakkan kepada Maryam, wanita yang perawan yang suci."
Kemudian Najasyi mengambil satu kayu kecil dari bumi dan mengatakan:
"Penjelasan tentang Isa yang kalian katakan tidak lebih dari kayu kecil
ini. Pergilah kalian dan kalian akan aman." Najasyi mengembalikan hadiah
kaum Quraisy dan mengatakan: "Allah tidak mengambil suap dariku sehingga
aku tidak mungkin mengambilnya dari kalian."
Demikianlah kaum muhajirin tinggal di
negeri yang damai, yaitu Habasyah negeri yang dipimpin oleh seorang laki-laki
yang diberi kematangan berpikir di mana ia cenderung mengimani karakter al-Masih
sebagai seorang manusia. Dan salah satu keajaiban kekuasaan Ilahi adalah bahwa
masyarakat Islam yang berhijrah tersebut tidak mengalami kelemahan dalam
akidahnya, namun mereka justru merasakan kekuatan.
Allah SWT memperkuat dakwah Islam dengan
masuknya dua lelaki besar dalam Islam, yaitu Hamzah, paman Nabi dan Umar bin
Khatab. Kedua orang itu mempunyai kepribadian yang tangguh di Mekah di mana
masing-masing dari mereka terkenal di tengah-tengah kaumnya. Allah SWT
berkehendak untuk memberi Islam dua orang lelaki yang tangguh di Mekah dan
Allah SWT telah meletakkan rahmat yang terpancar dalam hati mereka. Hamzah
masuk Islam karena dorongan emosi, fanatisme, dan rahmat terhadaporang-orang
yang tidak memberikan pembelaan kepada Muhammad saw.
Salah seorang perempuan berkata kepada
Hamzah: "Seandainya engkau melihat apa yang diperoleh oleh anak dari
saudaramu, Muhammad dari Abil Hakam bin Hisyam (Abu Jahal). Sungguh Abu Jahal
telah mencelanya dan menyakitinya, sedangkan Muhammad hanya terdiam dan tidak mengatakan
apa-apa." Mendengar pengaduan itu, darah mendidih berkobar dalam urat-urat
Hamzah. Dengan kemarahan yang sangat, Hamzah mencari-cari Abu Jahal lalu ia
melihatnya sedang duduk-duduk di tengah-tengah kaumnya. Hamzah mengangkat
tangannya lalu memukulkannya ke kepala Abu Jahal sambil berteriak: "Apakah
engkau akan mengejek Muhammad, padahal aku berada di atas agamanya."
Demikianlah permulaan keislaman Hamzah.
Hamzah adalah seorang yang mulia di mana perasaannya berkobar ketika ia melihat
anak saudaranya disiksa dan dianiaya dan dia tidak mendapati seorang pun yang
membelanya. Beginilah sebab-sebab pertama dari keislaman Hamzah, namun sebab
yang paling dalam dan yang paling menentukan adalah rahmat Allah SWT yang telah
dianugerahkan kepadanya, meskipun Hamzah tidak mengetahuinya, yaitu rahmat yang
mendorongnya untuk tidak membiarkan seseorang pun menyakiti lelaki yang
berdakwah di jalan Allah SWT hanya karena ia seorang yang lemah dan tidak
mempunyai penolong. Jadi, Hamzah adalah penolongnya.
Sedangkan Umar bin Khatab terkenal dengan
ketangguhan sikap dan kekerasan perilaku. Seringkali kaum Muslim mendapat
siksaan darinya ketika ia masih menganut jahiliah. Dan salah seorang yang
mendapatkan siksaan ciarinya adalah Amir bin Rabi'ah dan isterinya. Amir
beserta istcrinya menetapkan untuk berhijrah ke Habasyah. Umar bin Khatab
menemuinya lalu ia mendapati isteri Amir dan tidak mencmukan suaminya. Umar
melihat wanita itu sedang bersiap-siap untuk berhijrah lalu Umar berkata (saat
itu sumber rahmat telah memancar pada dirinya): "Apakah engkau akan pergi
wahai Ummu Abdillah?" Dengan nada jengkel, wanita itu berkata:
"Benar, demi Allah kami akan keluar dan menuju tanah Allah SWT. Engkau
telah menyiksa kami dan telah memaksa kami untuk berhijrah. Kami akan pergi
sehingga Allah SWT akan memberikan kelapangan kepada kami." Umar berkata:
"Mudah-mudahan Allah SWTmenemanimu."
Wanita itu melihat tanda-tanda kelembutan
dan kesedihan pada wajah Umar. Dan ketika suaminya kembali, ia menceritakan
kepadanya bahwa ia sangat berharap kepada keislaman Umar. Lalu suaminya
menjawab: "Ia tidak mungkin masuk Islam sampai keledai Umar masuk
Islam." Ia mengatkan demikian karena ia melihat betapa bengisnya dan
kejamnya Umar. Namun perasaan lembut wanita itu lebih kuat daripada pandangan
pikiran lelaki itu dan keputusannya yang terlalu cepat kepada Umar.
Belum lama mereka berhijrah sehingga Umar
masuk Islam. Orang-orang muhajirin mengeluarkan penutup sumur rahmat dalam
dirinya. Dan barangkali Umar merasa kebingungan lalu ia menetapkan untuk membunuh
Rasul saw. Dengan menghunuskan pedangnya, ia pergi menuju Rasul saw. Kemudian
ia bertemu dengan orang-orang yang memergokinya dalam keadaan kebingungan, lalu
mereka bertanya kepadanya, hendak kemana ia akan pergi? Umar menjawab:
"Aku hendak ke Muhammad aku akan membunuhnya sehingga orang-orang Arab
merasa tenteram." Dengan nada mengejek, seseorang berkata: "Tidakkah
engkau memulai dari keluargamu sebelum engkau membunuh Muhammad." Dengan
nada jengkel, Umar berkata: "Apa yang terjadi pada keluargaku?" Lelaki
itu menjawab: "Saudara perempuanmu dan suaminya telah masuk Islam,
sedangkan engkau tidak mengetahuinya." Umar segera mencari saudara
perempuannya dan suaminya di mana saat itu keduanya sedang membaca Al-Qur'an.
Ketika melihat Umar, mereka menyembunyikan
Al-Qur'an. Umar bertanya: "Sepertinya aku mendengar suara bisikan dari
luar." Tetapi saudara perempuannya mengatakan: "Tidak." Kemudian
suaminya ikut campur dan Umar pun tampak marah kepadanya. Wanita itu bangkit
untuk membela suaminya lalu Umar memukulnya sehingga darah segar mengucur
darinya. Darah itu justru membangkitkan sumber rahmat dari diri Umar. Akhirnya,
Umar mengambil air wudhu agar mereka mengizinkan untuk membaca Al-Qur'an. Umar
pun membacanya. Belum lama Umar membacanya sehingga ia pergi menemui Rasul saw.
Tanpa ragu, Umar memilih untuk masuk
Islam. Dan pedang yang dibawanya itu menjadi pedang yang paling kuat yang
dengannya ia mempertahankan agama Muhammad saw. Kemudian ia mengetuk pintu
untuk menemui Rasul saw di mana saat itu beliau bersama sahabatnya. Dari
celah-celah pintu, sahabat Nabi melihat Umar bin Khatab sedang menghunuskan
pedang. Kemudian sahabat itu kembali kepada Nabi dengan membawa berita yang
sangat mengejutkan ini. Ia menduga bahwa Umar datang dengan maksud jahat.
Rasulullah saw bangkit dan memerintahkan
para sahabatnya agar membiarkan Umar. Rasulullah saw membukakan pintu Kemudian
ia menyambut Umar bin Khatab dan bertanya kepadanya apa yang diinginkannya.
Umar menjawab bahwa ia datang untuk mengucapkan dan bersaksi bahwa tiada Tuhan
selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya.
Orang-orang Quraisy mulai merasa bahaya
akan mereka temui setelah keislaman Umar dan Hamzah. Para tokoh-tokoh Mekah dan
orang-orang yang dihormati telah masuk Islam. Sebelum Umar masuk Islam, kaum
Muslim bertawaf di Ka'bah secara rahasia dan dengan malu-malu, namun ketika
Umar masuk Islam ia menampakkan keislamannya dan ia menantang orang yang
mencegahnya untuk bertawaf, bahkan banyak orang-orang memberikan jalan padanya
saat tawaf. Mekah mengetahui bahwa ia menghadapi suatu dakwah yang akan dapat
mengubah jazirah Arab.
Rasa ketakutan mulai menghantui para
pemuka Quraisy dan mereka menetapkan metode baru untuk menghadapi kaum Muslim.
Mereka yang sebelumnya menggunakan metode penghinaan dan pengejekan kini mulai
mencoba untuk memblokade kaum Muslim secara ekonomi dan kemanusiaan. Kaum
musyrik mengadakan perkumpulan dan pertemuan untuk memboikot kaum Muslim.
Mereka mengadakan pertemuan itu di Ka'bah, sebagai penghormatan kepadanya.
Orang-orang musyrik menghormati Ka'bah meskipun mereka memenuhinya dengan
berbagai macam patung yang mereka sembah dalam rangka mendekatkan mereka kepada
Allah. Pasal kesepakatan itu menetapkan, hendaklah penduduk Mekah tidak menjual
barang apapun kepada kaum Muslim dan hendaklah mereka tidak menikah dengan kaum
Muslim. Dengan ketetapan yang kejam tersebut, mereka ingin menghancurkan kaum
Muslim dan membunuh perekonomian mereka. Rasulullah saw dan orang-orang yang
beriman kepadanya terpaksa berlindung di dusun Bani Hasyim. Mereka dilindungi
oleh keturunan Bani Muthalib, baik mereka orang-orang kafir maupun orang-orang
beriman kecuali musuh Allah SWT, Abu Jahal di rnana ia bersama orang-orang
Quraisy menentang kaummnya.
Kemudian Dimulailah blokade ekonomi
terhadap kaum Muslim di mana tidak ada makanan dan minuman yang datang kepada
mereka, sehingga penderitaan yang sulit kini dialami oleh sahabat-sahabat Nabi.
Ketika kafllah perdagangan datang ke Mekah dan salah seorang dari sahabat Nabi
menemui mereka di pasar untuk membeli makanan untuk keluarganya, maka Abu Lahab
berdiri dan berkata kepada para penjual, wahai para pedagang, mahalkanlah
dagangan kalian terhadap sahabat-sahabat Muhammad, sehingga mereka tidak mampu
membelinya dan aku menjamin kerugian yang kalian alami, bahkan aku akan membeli
apa saja yang ingin mereka beli dari kalian.
Mendengar hal tersebut, para pedagang pun
menjual barang dagangannya dengan harga yang tidak wajar, sehingga seorang
Muslim kembali ke rumah keluarganya tanpa membawa sedikit pun makanan. Kemudian
padagang itu pergi ke Abu Lahab dan memin-ta kepadanya agar membeli barang yang
ingin dibeli orang Muslim. Demikianlah peperangan tersebut terus terjadi
sehingga kaum Muslim merasakan penderitaan yang sangat luar biasa di mana
mereka dalam keadaan kelaparan dan kekurangan pakaian yang layak. Peperangan
ekonomi ini terjadi selama tiga tahun penuh. Saking menderitanya para sahabat
sampai-sampai Sa'ad bin Abi Waqas pernah keluar pada suatu hari untuk memenuhi
hajatnya, lalu ia mendengar suara gemerincing di bawah air kencing. Tiba-tiba
ia menemukan sepotong kulit unta yang kering lalu ia mengambilnya dan
membasuhnya. Kemudian ia membakarnya dan mencucinya dengan air sampai bersih
lalu ia menjadikannya makanan selama tiga hari.
Selama tiga tahun tersebut wahyu tetap
turun kepada Rasul saw dan seakan-akan ia melupakan bencana yang keras ini.
Allah SWT ingin mendidik para pengikut agama-Nya agar mereka mampu memikul
segala penderitaan.
Meskipun kaum Muslim mendapatkan berbagai
ujian selama tiga tahun tersebut, tetapi aktifitas dakwah Islam tidak pernah
padam dan tidak pernah surut. Kaum Muslim bertemu orang-orang selain mereka
pada musim haji lalu mereka berbicara kepada orang-orang tersebut tentang
keberadaan Allah SWT dan mereka meminta kepada para pengujung itu untuk mencari
rahmat Allah SWT dan ampunan-Nya. Keteguhan kaum Muslim dan keberanian mereka
telah memikat banyak orang sehingga mereka masuk Islam. Bahkan orang-orang
musyrik mulai bertanya kepada diri mereka dan mempertanyakan kebenaran apa
tindakan mereka. Lalu kecemburuan kepada kebenaran mulai menyerang hati.
Kemudian Selesailah peperangan ekonomi
terhadap kaum Muslim di mana kaum musyrik melihat itu tidak berdampak terlalu
besar bagi kaum Muslim. Meskipun kaum Muslim menerima penderitaan dan kerugian
namun jumlah mereka tetap bertambah dan keimanan mereka semakin kuat serta
kepercaayaan kepada Allah SWT pun semakin meningkat. Lalu datanglah tahun
kesedihan kepada Nabi. Belum lama Rasulullah saw merasakan dan menghirup udara
segar setelah tiga tahun masa blokade dan beliau ingin memulai kehidupan
barunya dan dakwahnya, sehingga beliau dikagetkan dengan kematian isteri
tercintanya Ummul Mukminin Khadijah dan kematian pamannya yang tercita Abu
Thalib.
Abu Thalib adalah seorang yang besar yang
memiliki kewibawaan di tengah-tengah kaum Quraisy, sehingga usaha kaum Quraisy
untuk menyakiti Nabi menjadi terbatas ketika mereka berhadapan dengan
"tembok perlindungan" Abu Thalib kepada kemenakannya. Sedangkan
Khadijah merupakan tempat perlindungan dan kedamaian bagi Nabi. Ia adalah hati
yang sangat penyayang yang banyak menghibur Nabi saat beliau berdakwah.
Khadiijah adalah sebaik-baik teman dan sebaik-baik isteri. Begitu juga, bagi
Khadijah Rasulullah saw adalah sebaik-baik teman, sebaik-baik suami,
sebaik-baik pembantu, dan sebaik-baik sahabat.
Rasulullah saw sangat sedih ketika
kehilangan dua orang yang sangat berpengaruh dalam kehidupannya itu, bahkan
para sejarawan menamakan tahun tersebut dengan tahun kesedihan. Sebaliknya,
orangorang musyrik justru bergembira dengan kesedihan Rasul saw itu. Mereka
menganggap bahwa Rasul saw tidak lagi memiliki seorang tua yang mampu
melindunginya dan tidak lagi memiliki seorang isteri yang dapat meringankan
beban penderitaannya.
Setelah kematian dua orang tcrscbut,
penindasan dan penganiayaan kaum Quraisy kepada Nabi semakin meningkat dan
orang-orang musyrik memilih waktu yang tepat untuk menyembelih binatang di
Mekah lalu mereka membawa usus-usus atau jeroan dari unta dan mereka
melemparkannya dan meletakkannya di atas punggung Nabi saat beliau sujud.
Kemudian berita memilukan itu sampai kepada putri tercintanya, Fatimah
az-Zahrah, sehingga ia segera datang dan berusaha membela ayahnya dan
membersihkan kotoran yang ada di pundak ayahnya itu. Demikianlah kemuliaan Siti
Fatimah az-Zahra yang senantiasa melindungi ayahnya.
Betapa sedihnya Nabi saw ketika beliau
melihat bahwa keadaan beliau sampai pada batas di mana anak perempuan beliau
pun turut membelanya. Namun beliau tetap bersabar dalam berdakwah di jalan
Allah SWT. Pada suatu hari beliau berpikir untuk pergi ke Tha'if di mana di
sana dihuni oleh kaum Tha'if. Barangkali beliau berkata dalam dirinya: jika di
sini aku mendapati hati-hati yang telah membeku dan telah berhubungan mesra
dengan kebatilan ialu mengapa aku tidak pergi ke Tsaqif. Barangkali Allah SWT
akan membukakan pintu dakwah di sana. Mungkin di sana masih terdapat hati yang
akan terbuka guna menerima kebenaran.
Saat itu kaum musyrik memberlakukan
blokade umum atas dakwah yang dipimpin oleh Rasulullah saw sehingga tekanan kepada
beliau semakin meningkat sampai pada batas di mana pergerakan dakwah tidak
dapat bergerak satu langkah pun. Keadaan demikian ini sangat menggelisahkan
Nabi. Beliau ingin untuk melepaskan belenggu yang mengikatnya. Lalu beliau
memutuskan untuk pergi ke Tha'if. Jarak antara Mekah dan Tha'if lebih dari
tujuh puluh kilo meter. Nabi menempuh perjalanan itu dengan jalan kaki, pergi
dan pulang.
Kita tidak mengetahui pemikiran-pemikiran
apa yang terlintas dalam benak Rasulullah saw saat beliau pergi dan menemui
kabilah yang kafir kepada Allah SWT ini. Yang kita ketahui adalah bahwa beliau
pergi ke sana dengan membawa rahmat dunia dan akhirat. Tetapi mereka justru
membalas sikap baik Rasulullah saw itu dengan tindakan jahiliyah. Mereka
bersikap buruk kepada beliau dan mendustakannya. Rasulullah saw tinggal di sana
selama sepuluh hari. Beliau mondar-mandir dari satu rumah ke rumah yang lain
dan dari pasar ke pasar yang lain dan dari satu jalan ke jalan yang lain. Tak
seorang pun yang mendengar kedatangan beliau di sana; tak seorang pun yang mau
mendengar dakwah beliau dan tak seorang pun yang mau beriman kepada ajakannya.
Bahkan masyarakat di situ semakin menjadijadi dalam menyerang Rasulullah saw
dan mengejeknya.
Pada hari yang terakhir yang mana beliau
telah menetapkan untuk kembali ke Mekah. Rasulullah saw berdiri di Tha'if dan
mengharap kepada masyarakat di sana agar merahasiakan kunjungannya kepada
mereka sehingga pencelaan yang beliau terima di Mekah terhadap agama yang
dibawanya tidak semakin menjadi-jadi. Tetapi penduduk Tha'if menolak permohonan
yang terakhir ini. Mereka tidak cukup melakukan hal itu tetapi mereka melakukan
perbuatan terburuk yang dilakukan manusia terhadap sesama manusia. Mereka
menahan keluarga orang-orang yang bodoh dan orang-orang biasa untuk membentuk
dua barisan dan memerintahkan mereka untuk melempari Rasulullah saw dengan batu
dan mengejeknya. Nabi keluar dari Tha'if dan beliau mendapatkan lemparan
bertubi-tubi dari keluarga Tha'if bahkan beliau merasakan kepedihan saat
kakinya terkena lemparan batu itu sehingga darah suci mengucur dari kaki
beliau.
Kemudian Rasulullah saw diusir sehingga
beliau sampai di suatu kebun yang dimiliki oleh dua orang dari orang-orang kaya
Tha'if. Di sana beliau duduk di bawah naungan pohon anggur. Dua orang pemilik
kebun itu merasa kasihan melihat keadaan orang yang terusir dan terluka itu.
Mereka membawa kepadanya setangkai anggur dengan seorang pembantu. Pembantu
mereka adalah seorang Nasrani yang bernama Adas. Si pembantu meletakkan
setangkai anggur itu depan Rasul saw lalu beliau mengulurkan tangannya
kepadanya sambil berkata: "Bismillahirahmanirrahim (Dengan nama Allah yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Adas berkata kepada Nabi, perkataan ini
tidak begitu dikenal oleh penduduk negeri ini. Nabi berkata: "Anda dari
daerah mana?" Adas menjawab: "Aku adalah seorang Nasrani dari
Nainawa." Nabi berkata: "Apakah engkau dari desa lelaki saleh Yunus
bin Mata?" "Bagaimana engkau tahu tentang Yunus?, sambung lelaki itu.
Nabi berkata: "Itu adalah saudaraku. Ia adalah seorang Nabi aku pun
seorang Nabi."
Mendengar jawaban Rasul saw, Adas segera
merobohkan tubuhnya di depan kedua kaki Rasul saw lalu ia menciuminya sambil
menangis. Akhirnya, pembantu Nasrani itu masuk Islam sehingga ia menambah
barisan kaum Muslim. Ia adalah seorang yang menjadi Muslim ketika Rasulullah
saw berhijrah ke Tha'if. Inilah harga yang harus dibayar Rasulullah saw sclania
dua minggu saat beliau berada di Tha'if, dan kemudian bcliau terkena cobaan
dengan mengucurnya darah dari kaki beliau akibat lemparan batu penghuni Tha'if.
Kemudian Rasulullah saw kcmbali ke Mekah
beliau kembali dalam keadaan ditolak oleh pcnduduk Tha'if dan kini beliau
kembali menerima penolakan itu di Mekah. Meskipun demikian, beliau merasakan
kesedihan yang mendalam melihat sikap kaumnya. Namun ketika kebencian semakin
deras mengalir kepada beliau, hati beliau justru semakin bersemangat dan
semakin dipenuhi dengan rahmat kemudian datanglah kepada Nabi masa di mana
tampak di dalamnya Islam asing, dan tampak di dalamnya Nabi seorang diri, tanpa
penolong.
Pada saat demikian ini ketika manusia
mulai meninggalkan Rasulullah saw lalu langit turut campur dan terjadilah
peristiwa besar dan mukjizat terbesar pada diri Nabi, yaitu Isra' dan Mi'raj.
Ia adalah mukjizat yang tidak berhubungan dengan dakwah Islam; ia tidak datang
untuk memperkuat dakwah ini atau menetapkannya tetapi ia datang semata-mata
untuk memperkuat keteguhan Nabi dan sebagai penghormatan kepadanya. Seakan-akan
Allah SWT ingin berkata kepada Nabi, jika saja penduduk bumi tidak memujimu,
maka penduduk langit mengenal kedudukanmu dan memberikan pujian yang layak
kepadamu dan jika manusia menolak dakwahmu dan menolak keberadaanmu, maka
sesungguhnya Allah SWT memilihmu dan memuliakanmu.
Untuk melihat tanda-tanda kebesaran-Nya,
munculnya mukjizat Isra' dan Mi'raj dalam sejarah para nabi sebagai mukjizat
satu-satunya yang tiada tandingannya dibandingkan dengan kisah nabi yang lain.
Kita mengetahui bahwa di deretan para nabi ada nabi-nabi yang dinamakan oleh
Allah SWT sebagai para kekasih-Nya dan sebagai para pendamping-Nya, seperti
Nabi Ibrahim. Kita juga melihat bahwa di antara para nabi ada seseorang yang
diajak bicara oleh Allah SWT tanpa perantara, seperti Nabi Musa. Kita juga
melihat di antara para nabi ada yang didukung oleh Allah SWT dengan ruhul kudus, seperti Nabi Isa. Tetapi untuk pertama
kalinya kita berada di hadapan seorang nabi yang diajak dan dipanggil oleh
Allah SWT untuk menuju ke sisi-Nya.
Beliau naik bersama Jibril dengan jasadnya dan ruhaninya sehingga Jibril berdiri di suatu tempat dan
Nabi maju sendirian. Itu adalah tingkat dari tingkat kehormatan di mana pena
terasa keluh untuk mengungkapkannya dan sejarawan tidak dapat menulis apa yang
terjadi saat itu. Kita telah melihat dalam kisah para nabi seorang nabi yang
meminta kepada Tuhannya agar memperlihatkan kepadanya bagaimana Dia
menghidupkan orang-orang yang mati. Allah SWT bertanya kepadanya, apakah ia
belum beriman akan hal itu? Ibrahim menjawab: Bahwa ia beriman tetapi ia ingin
menenangkan hatinya.
Kita juga melihat dalam kisah para nabi
seorang nabi yang cintanya kepada Allah SWT memancar dalam kalbunya sehingga ia
meminta:
"Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri
Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". (QS. al-A'raf: 143)
Namun Allah SWT menjawab kepada Musa
tentang kemustahilan melihat Allah SWT atas manusia. Nabi Musa memahami bahwa
makhluk manapun tidak akan mampu menahan beban penampakan dari Zat sang
Pencipta.
Adapun Muhammad bin Abdillah ia tidak
bertanya kepada Tuhannya dan meminta kepadanya untuk diberi mukjizat atau
kejadian yang luar biasa; ia tidak meminta kepada Tuhannya agar dapat melihat
Zat-Nya dan ia tidak berusaha mencari ketenangan dalam hatinya. Cintanya kepada
Allah SWT termasuk bentuk cinta yang sulit untuk dipahami atau diselami
kedalamannya oleh para tokoh pecinta dan cintanya tersebut bukan termasuk
bentuk yang menimbulkan berbagai pertanyaan. Cinta beliau melampaui tingkat
permintaan menuju ketingkat penyerahan dan kepuasan atau ridha. Segala sesuatu
yang menggelisahkan Nabi adalah ridha Allah SWT.
Rasulullah saw berkata saat beliau dalam
keadaan ditolak dan diusir dan terluka akibat perbuatan kaum Tha'if: "Jika
Engkau tidak murka kepadaku, maka aku tidak peduli dengan mereka."
Lihatlah tingkat cinta yang tinggi itu:
bagaimana tingkat tersebut menyebabkan beliau merasa rendah diri sehingga
beliau berkata, "jika Engkau tidak murka kepadaku ..." Seakan-akan
beliau tidak menginginkan selain ridha Allah SWT dan yang beliau khawatirkan
adalah kemarahan Allah SWT.
Sungguh adab yang diterapkan Rasulullah
saw kepada Tuhannya adalah adab yang paling layak dan paling tinggi yang sesuai
dengan kedudukan beliau sebagai orang Muslim yang paling sempurna.
Demikianlah mukjizat Isra' dan Mi'raj.
Mukjizatyang tujuannya adalah menghormati kepribadian Rasulullah saw; mukjizat
yang membangkitkan peranan akal dan hati secara bersama. Para nabi tanpa
terkecuali didukung oleh bcrbagai macam mukjizat yang terjadi di muka bumi
bahkan para nabi yang diangkat ke langit seperti Nabi Idris dan Nabi Isa, maka
pengangkatan mereka sebagai bentuk menyelamatkan mereka dari usaha pembunuhan
atau penyaliban. Mukjizat mereka saat mereka diangkat ke langit adalah bentuk
akhir dari aktifitas mereka di muka bumi.
Ini adalah kali pertama ketika kita
mendapati suatu mukjizat yang tempat utamanya di langit; suatu mukjizat yang
terwujud bersama seorang Nabi yang diangkat ke langit dengan jasadnya dan
ruhaninya saat beliau masih hidup. Di sana Allah SWT memperlihatkan kepadanya
tanda-tanda kekuasaan-Nya. Kemudian beliau kembali ke bumi di mana beliau akan
mendapatkan berbagai macam tantangan dan cobaan yang biasa diterima oleh
penduduk bumi. Muhammad bin Abdillah adalah manusia yang pertama melewati
planet bumi dan beliau menembus bulan dan matahari dan bintang-bintang. Kita
menyaksikan di zaman kita manusia pertama atau astronot pertama yang mampu
menembus ruang angkasa. Ruang angkasa itu baru dapat ditembus oleh manusia
setelah empat belas abad dari turunnya risalah Muhammad saw, namun sejak empat
belas abad yang lalu Nabi Islam telah dapat menembus ruang angkasa itu, bahkan
beliau mencapai Sidratul Muntaha dan puncak al-Muntaha.
Beliau sampai pada batas yang di situlah
alam makhluk diakhiri dan beliau menembus alam gaib. Bukankah surga bagian dari
alam gaib? Beliau sampai di surga. Allah SWT menamakannya dengan Jannatul
Ma'wah. Beliau sampai pada batas terputusnya ilmu manusia dan tiada yang
mengetahui hakikat ilmu tersebut kecuali Allah SWT. Mukjizat Isra' bukanlah
mukjizat Mi'raj, meskipun kedua-duanya terjadi di satu malam. Peristiwa Isra'
dan Mi'raj dikutip oleh dua surah yang berbeda dalam Al-Qur'an al-Karim. Allah
SWT berfirman tentang mukjizat Isra':
"Maha Suci Allah, yang telah
memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha
yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian
dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui." (QS. al-Isra': 1)
Sedangkan berkaitan dengan mukjizat
Mi'raj, Allah SWT berfirman:
"Dan sesungguhnya Muhammad telah
melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di
Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal. (Muhammad melihat
Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya
(Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula)
melampauiya. Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan)
Tuhannya yang paling besar." (QS. an-Najm: 13-18)
Pada malam Isra' dan Mi'raj, Nabi Muhammad
berkeliling di sekitar Ka'bah dan berdoa kepada Allah SWT. Beliau dalam keadaan
pucat wajahnya dan kedua air matanya mengucur; beliau tidak bertawaf bersama
seseorang pun; beliau tawaf sendirian lalu orang-orang kafir dan orang-orang
musyrik memandang beliau dengan pandangan kebencian saat beliau bertawaf dan
berdoa. Allah SWT melihat hamba-Nya yang khusuk itu lalu Allah SWT menurunkan
perintah-Nya kepada Ruhul Amin yaitu malaikat Jibril agar menemani hamba-Nya dari Masjidil Haram menuju
Masjidil Aqsha Kemudian membawanya naik ke langit agar dia dapat melihat
tanda-tanda kebesaran Tuhannya.
Di suatu rumah yang mulia dan sederhana
dari rumah-rumah yang ada di Mekah, Nabi saw sedang tidur dan datanglah waktu
pertengahan malam. Jibril turun dan memasuki rumah sang Rasul saw. Jibril as
berdiri di sisi kepala sang Nabi dan ia melihat kepadanya dengan pandangan
cinta. Pandangan Jibril itu membangunkan Rasul saw kemudian beliau membuka
kedua matanya dan bangkit dari tempat tidurnya.
Jibril berkata kepada Nabi saw, salam kepadamu
wahai Nabi yang mulia. Allah SWT ingin agar engkau melihat sebagian tanda-tanda
kebesaran-Nya di alam. Kemudian Jibril berjalan bersama Nabi saw. Mereka keluar
dari rumah dan beliau menyaksikan Buraq yaitu makhluk yang menyerupai burung
dan mempunyai sayap seperti burung garuda; makhluk yang terbuat dari kilat.
Karena itu, ia dinamakan dengan Buraq. Kilat adalah listrik dan listrik adalah
cahaya. Cahaya adalah makhluk yang tercepat yang kita kenal di bumi. Kilauan
cahaya pada satu detik saja mencapai 186 ribu mil. Kita tidak akan terlibat
terlalu jauh tentang kendaraan luar angkasa yang digunakan dalam perjalanan
itu; kita tidak akan bertanya bagaimana Nabi saw menembus alam ruang angkasa
tanpa ada latihan sebelumnya dan berapa lama waktu yang beliau gunakan untuk
pulang pergi; kami juga tidak akan bertanya tentang kecepatan Buraq; kami tidak
heran dengan usaha penembusan luar angkasa ini; kita tidak akan bertanya
tentang semua itu karena kita mempunyai satu jawaban dari semuanya: Allah SWT
berkehendak agar hal itu terjadi dan untuk itu Allah SWT mengatakan kun jadilah, maka jadilah.
Para ulama beselisih pendapat tentang
apakah Isra' dan Mi'raj terjadi dengan ruh saja atau dengan ruhani dan jasad
sekaligus. Ahli hakikat mengatakan bahwa itu terjadi dengan ruh dan jasad.
Tentu perselisihan itu berakibat pada perselisihan akal dan terjerumus dalam
perangkap kaifa (bagaimana) dan bertanya
tentang kekuasaan Allah SWT dan usaha untuk menundukkan masalah ini terhadap
sebab-sebab yang biasa atau hukum-hukum kita yang alami atau logika
kemanusiaan. Allah Maha Suci dan Maha Tinggi dari semua itu. Apakah seseorang
akan bertanya, bagaimana Rasulullah saw naik berserta ruh dan fisiknya ke
puncak segala puncak di langit kemudian beliau kembali sebelum tempat tidurnya
dingin? Mukjizat apa yang terjadi di sini yang melebihi mukjizat berubahnya air
mani menjadi manusia dan berubahnya benih menjadi pohon atau mukjizat air yang
menghidupkan tanah, atau ia mampu memuaskan kehausan si dahaga atau mukjizat
cinta yang mengikat dua hati yang belum pernah mengenal?
Sementara itu, Buraq menundukkan badannya
kepada Nabi saw kemudian Nabi saw menungganginya bersama Jibril dan Buraq pergi
bagaikan anak panah dari cahaya di atas gunung Mekah dan pasir-pasir menuju ke
utara. Jibril mengisyaratkan agar menuju arah gunung Saina' lalu Buraq itu
berhenti. Jibril berkata di tempat yang diberkati ini, Allah SWT berdialog
dengan Musa as. Kemudian Buraq kembali pergi ke Baitul Maqdis, Nabi saw turun
dari pesawat ini yang berjalan lebih cepat dari cahaya dan jutaan kali lebih
cepat darinya dan ia tidak berubah dari cahaya.
Nabi berjalan bersama Jibril dan memasuki
Baitul Maqdis. Beliau memasuki masjid dan beliau mendapati semua nabi sedang
menunggunya di sana. Allah SWT membangkitkan gambar para nabi-Nya dari kematian
dan mengumpulkan mereka di Mesjid Aqsha. Para malaikat memberinya suatu bejana
yang di dalamnya terdapat susu dan bejana yang lain yang di dalamnya terdapat
khamer. Lalu beliau memilih susu dan meminumnya. Dikatakan pada beliau, sesungguhnya
engkau telah memilih fltrah dan umatmu akan memilih fitrah.
Para nabi mengitari Rasul saw dan
datanglah waktu salat. Para nabi bertanya di antara sesama mereka, siapa di
antara mereka yang menjadi imam salat, apakah itu Adam, Nuh, Ibrahim, Musa atau
Isa? Jibril berkata kepada Muhammad saw, sesungguhnya Allah SWT memerintahkanmu
untuk salat bersama para nabi. Rasulullah saw berdiri dan salat bersama para
nabi. Mereka semua adalah orang-orang Muslim dan beliau adalah orang-orang
Muslim yang pertama. Secara logis bahwa beliau layak menjadi imam dari para
nabi sebagaimana kitabnya dijadikan kitab yang terbaik daripada kitab-kitab
yang mendahuluinya. Beliau membacakan Al-Qur'an kepada mereka dan beliau
menangis saat membacanya. Kekhusukan beliau saat membacanya membuat para nabi
pun menangis. Dan ketika para nabi sujud di belakang imam mereka, pohon-pohon
dan bintang-bintang pun turut bersujud.
Selesailah waktu salat dan para nabi
membubarkan diri. Setiap nabi kembali ke langit yang mereka tinggal di dalamnya.
Nabi keluar dari masjid bersama Jibril dan mereka kembali menunggang Buraq
seperti panah dari cahaya. Buraq semakin meninggi dan ia melewati langit
pertama lalu beliau menyaksikan Nabi Adam. Kemudian ada panggilan dari Allah
SWT: "Hendaklah hamba-Ku semakin meninggi dan menjauh." Kemudian
hamba Allah SWT Muhammad bin Abdillah semakin terbang menjauh ia melampaui
langit demi langit. Beliau melampaui tempat materi dan mulai menjangkau tempat
ruhani dan melewatinya. Beliau bersiap berdiri di haribaan Ilahi; beliau
semakin tinggi dan jauh di tingkat dan dipuncak ruhani dalam kecepatan yang
tidak kurang dari kecepatan kilat.
Beliau melampaui kedudukan Nabi Adam di
langit pertama dan melampaui kedudukan Nabi Yahya dan Nabi Isa di langit kedua.
Lalu Tuhan pemilik kemuliaan memanggil, "hendaklah hamba-Ku lebih tinggi
lagi." Kemudian hamba Allah SWT dan Nabi-Nya yang mulia mencapai tingkat
yang lebih tinggi lagi. Beliau melampaui langit yang ketiga, keempat, kelima,
keenam, dan ketujuh. Beliau melampaui alam materi semuanya dan melampaui alam
ruhani. Akhirnya, beliau sampai ke Sidratul Muntaha. Beliau sampai di tempat
yang suci yang Allah SWT menamakannya dengan sebutan Sidratul Muntaha dan di
sana Nabi melihat dan menyaksikan Jannatul Ma'wa. Beliau menyaksikan yang kita
tidak mampu mengetahuinya dan memahaminya bahkan membayangkannya:
"(Muhammad melihat Jibril) ketika
Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya
(Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidnk (pula) melampauinya." (QS. an-Najm:
16-17)
Sungguh terjadilah pada tempat itu apa
yang terjadi dengannya. Dengan kebesaran yang misteri ini, Allah SWT
memberitahu kita bahwa terjadilah hal penting di sana meskipun hakikat hal
tersebut tersembunyi dari kita. Sesuatu yang Allah SWT sembunyikan dari kita
tersebut disaksikan oleh Rasul saw. Itu adalah mukjizat yang khusus baginya;
itu adalah tingkat cinta yang tidak tersingkap tabirnya karena ketinggiannya
yang tidak mampu ditangkap oleh pengetahuan manusia biasa.
Kemudian Tuhan pemilik surga dan neraka
memanggil, "hendaklah hamba-Ku lebih tinggi lagi." Hamba Allah SWT
Muhammad bin Abdillah menaik ke tempat yang tinggi. Kali ini beliau melihat
Jibril yang berada di belakangnya lalu beliau mendapatinya dalam keadaan
bertasbih kepada Allah SWT. Jibril tidak berada dalam wujud manusia seperti
yang Nabi saksikan ketika berada di dunia. Jibril as kembali ke dalam wujud
malaikatnya. Nabi melihat Jibril dan ia merupakan tanda kebesaran Allah SWT
yang Allah SWT janjikan untuk diperlihatkan kepadanya:
Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling
dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya." (QS. an-Najm: 17)
Pemandangan itu terjadi dengan hati dan
mata serta panca indera yang dikenal dan yang tidak dikenal. Pemandangan itu
benar-benar jelas. Di sana bukan mimpi, bukan khayalan, dan bukan gambaran.
Rasul saw melihat semua itu dengan jasadnya dan ruhaninya:
"Penglihatannya (Muhammad) tidak
berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya." (QS. an-Najm: 17)
Kemudian Rasulullah saw menuju ke tempat
yang tinggi dan lebih tinggi lagi. Beliau semakin naik ke tingkat yang makin
tinggi sampai beliau berdiri di hadapan Tuhan Pencipta langit dan bumi dan
Penebar kasih sayang di dunia dan di akhirat. Orang Muslim yang paling sempurna
itu bersujud di hadapan Tuhan Sang Pencipta sambil berkata: "Sungguh
penghormatan dan keberkatan serta shalawat yang baik tertuju hanya kepada Allah
SWT." Allah SWT membalasnya: "Salam kepadamu wahai Nabi dan rahmat
Allah SWT serta berkat-Nya juga tercurah kepadamu." Para malaikat pun
ketika mendengar ucapan itu bertasbih dan mengatakan: "Salam kepada kita
dan kepada hamba-hamba Allah SWT yang saleh."
Ungkapan-ungkapan tersebut merupakan
permulaan tahiyat (penghormatan) yang diucapkan orang-orang Muslim saat mereka melaksanakan
salat pada setiap hari. Salat telah diwajibkan atas kaum Muslim pada kesempatan
yang besar ini. Hal populer di kalangan umumnya kaum Muslim adalah, bahwa Allah
SWT mewajibkan atas Nabi mula-mula lima puluh salat sehari. Kemudian Nabi turun
dari langit lalu beliau menemui Nabi Musa. Selanjutnya Nabi Musa bertanya
kepadanya tentang jumlah salat yang diwajibkan Allah SWT kepada umatnya. Nabi
menceritakan bahwa Allah SWT telah menentukan lima puluh kali salat. Nabi Musa
berkata sungguh umatmu tidak akan kuat untuk melakukan salat itu, maka
kembalilah kepada Tuhanmu dan mohonlah kepadanya agar Dia meringankan bagi
umatmu. Lalu Nabi kembali kepada Tuhan-Nya sehingga Allah SWT meringankan salat
hingga sepuluh kali. Setelah itu, Nabi kembali bertemu dengan Nabi Musa.
Lagi-lagi Nabi Musa memperingatkannya. Kemudian Nabi kembali lagi kepada Allah
SWT sehingga sampai diturunkan salat dari lima puluh kali menjadi lima kali
sehari. Namun salat yang lima kali itu pahalanya sama dengan salat yang lima
puluh kali.
Menurut hemat kami, kisah tersebut tidak
memiliki sandaran dalam kitab-kitab ulama yang benar-benar teliti. Kami kira,
kisah itu tersebut merupakan rekayasa orang-orang Yahudi di mana mereka masuk
Islam dan mereka memenuhi kitab-kitab dengan dongeng-dongeng khurafat dan
mereka menisbatkannya kepada Rasul. Prasangka tersebut didukung oleh pemilihan
Musa sebagai seorang Nabi yang mengusulkan kepada Rasul saw agar meminta
keringanan atas umatnya sehingga terkesan Nabi Musa menjadi seseorang yang
lebih mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh Nabi Muhammad. Kami sendiri
cenderung untuk menolak kisah tersebut dengan keyakinan bahwa pertemuan Nabi
dengan Allah SWT menimbulkan rasa kebesaran dan kewibawaan yang luar biasa
sehingga ketika Nabi telah pergi, maka sangat berat baginya untuk kembali lagi.
Nabi menyaksikan dan melihat hal-hal yang
tidak mampu diungkap oleh lisan dan tidak mampu ditulis dengan pena. Beliau
berada di suatu keadaan yang tidak dapat dipahami oleh manusia biasa. Al-Qur'an
al-Karim sengaja tidak mcnyebutkan apa saja yang dilihat oleh Nabi karena itu
mernpakan rahasia antara Nabi dan Tuhannya dan mukjizat yang khusus yang
diperuntukkan baginya sebagai bentuk penghormatan kcpadanya. Jadi Al-Qur'an
sengaja tidak menyebutkan itu semua untuk menegaskan bahwa beliau melihat tanda
dari tanda-tanda kebesaran Tuhannya.
Kami tidak mengetahui apa yang dilihat
oleh Nabi. Hal yang dapat kami bayangkan adalah, bahwa Nabi bersujud dengan
khusuk di hadapan Tuhannya dan beliau menangis karena gembira. Kesedihan
hatinya telah hilang selamanya. Setelah Nabi melihat rahasia dan setelah
penghormatan yang besar ini, beliau kembali menemani Buraq dan pergi bersama
Jibril untuk kembali ke bumi. Beliau kembali dan mendapati tempat tidurnya
masih dingin. Bagaimana beliau pergi dan kembali sementara tempat tidumya belum
dingin? Berapa lama waktu yang diperlukannya saat melakukan perjalanan
tersebut? Hanya Allah SWT semata yang mengetahui. Yang kita ketahui adalah,
bahwa Rasulullah saw kembali ke tempat tidurnya setelah Isra' dan Mi'raj dan
hatinya dipenuhi dengan kegembiraan serta dadanya dipenuhi dengan ketenangan
dan kepuasan serta kefanaan dalam cinta kepada Allah SWT.
Kemudian datanglah waktu pagi. Nabi
menceritakan perjalanan dan pengalaman tersebut kepada sahabat-sahabatnya dan
orang-orang Musyrik sehingga berimanlah orang-orang yang beriman padanya dan
mendustakan kepadanya orang-orang yang mendustakannya. Namun beliau tidak
peduli dengan semua itu. Nabi terus melangsungkan perjuangannya dengan penuh
kesabaran.
Akhirnya, datanglah suatu masa di mana
Nabi saw mengetahui bahwa dakwah Islam di Mekah telah mengalami penekanan yang
luar biasa sehingga keadaan sangat tidak mendukung bagi kaum Muslim. Rasulullah
saw bergerak dengan dakwahnya. Lalu Allah SWT mewahyukan kepadanya agar ia
berhijrah. Kemudian mulAllah Nabi berhijrah di jalan Allah SWT setelah tiga
belas tahun beliau di Mekah. Islam ingin membangun negaranya dan ingin
menghilangkan pengepungan dan serangan kaum musyrik. Mula-mula terjadilah perubahan
sedikit dalam keadaan kaum Muslim.
Rasulullah saw keluar dalam musim haji
untuk menunjukkan dirinya pada kabilah-kabilah Arab sebagaimana yang beliau
lakukan pada setiap musim. Beliau berada di tempat yang bernama 'Aqabah, lalu
beliau bertemu dengan jamaah dari Khazraj. Rasulullah saw berkata kepada
mereka, "siapa kalian?" Mereka menjawab: "Kami berasal dari
kelompok Khazraj." Beliau berkata. "apakah kalian termasuk pembantu
kaum Yahudi?" Mereka menjawab, "benar." Beliau berkata,
"maukah kalian duduk bersama aku karena aku ingin sedikit berbicara dengan
kalian." Mereka menjawab: "Boleh." Kemudian mereka duduk bersama
Nabi lalu beliau mengajak mereka untuk mengikuti agama Allah SWT.
Rasulullah saw sedikit menceritakan Islam
kepada mereka dan membacakan Al-Qur'an. Enam orang mendengarkan apa yang
disampaikan oleh Nabi saw. Setelah beliau selesai dari pembicaraannya, mereka
membenarkannya dan beriman kepadanya. Kemudian mereka menceritakan kepada Nabi
saw bahwa mereka meninggalkan kaumnya karena kaum mereka terlibat peperangan
dan kebencian. Mudah-mudahan Allah SWT mengumpulkan mereka dengan kedatangan
Nabi saw yang mulia ini. Mereka memberitahu Nabi saw bahwa mereka akan
menceritakan kepada kaumnya apa yang mereka dengar dari Nabi saw dan akan
mengajak mereka untuk memenuhi dakwah Nabi.
Keenam lelaki itu kembali ke kota Madinah
yang berubah namanya menjadi Madinah Munawarah yang sebelumnya ia bernama
Yatsrib di zaman jahiliah. Allah SWT berkehendak untuk meneranginya dengan
Islam. Para lelaki itu kembali ke Madinah dan mereka membawa Islam di hati
mereka sehingga banyak orang yang masuk Islam.
Kemudian datanglah musim haji dan
keluarlah dari Madinah dua belas orang lelaki dari orang-orang yang beriman
yang di antara mereka terdapat enam orang yang Rasulullah saw telah berdakwah
kepada mereka pada musim yang dulu dan Nabi saw menemui mereka di 'Aqabah.
Kemudian Nabi melakukan baiat pada mereka agar mereka mempertahankan keimanan
dan membela dakwah kebenaran serta kemanusiaan.
Kaum lelaki itu kembali ke Madinah
disertai salah seorang yang terpercaya dari tokoh Islam yaitu Mus'ab bin Umair
di mana ia menjadi utusan Rasulullah saw di Madinah dan ia mengajari manusia
tentang agama mereka dan membacakan kepada mereka Al-Qur'an dan menyerukan
kebenaran kepada manusia sehingga tersebarlah Islam di Madinah. Penduduk
Madinah mulai bertanya-tanya, mengapa saudara-saudara kita kaum Muslim Mekah
ditindas? Mengapa Rasul saw keluar untuk berdakwah dan menebarkan rahmat tetapi
beliau justru mendapatkan angin kebencian? Sampai kapan kita akan membiarkan
Rasulullah saw teraniaya dan terusir di Mekah?
Demikianlah, pergilah tujuh puluh orang ke
Mekah, tujuh puluh orang dari penduduk Madinah Munawarah. Mereka pergi ke
'Aqabah dalam keadaan sendirian dan berkelompok-kelompok. Islam telah
menghasilkan buah pertamanya dalam hati mereka sehingga hati mereka dipenuhi
cinta kepada Allah SWT dan Rasul-Nya serta kaum Muslim. Penderitaan yang
dialami kaum Muslim mempengaruhi jiwa mereka dan mencegah mereka dari
mendapatkan kenikmatan tidur dan nikmatnya memakan dan nikmatnya kehidupan.
Orang-orang yang baik itu datang dan berbaiat kepada Rasul saw untuk membela
beliau menolongnya dan melindunginya serta siap untuk mati di jalannya. Mereka
datang setelah hati mereka diliputi oleh Islam dan mereka memberikan segala
sesuatu untuk dakwah yang baru; mereka datang sebagai pecinta-pecinta
kebenaran.
Kitab-kitab hadis yang suci meriwayatkan
apa yang terjadi pada baiat 'Aqabah al-Kubra. Dalam kitab tersebut dikatakan
bahwa Abbas Ibnu Abdul Muthalib datang bersama Nabi dan saat itu ia masih
berada dalam agama kaumnya. Ia ingin menyelesaikan urusan anak pamannya. Ketika
ia duduk dan berbicara, ia mengatakan suatu pernyataan yang mengisyaratkan
bahwa Muhammad saw mendapatkan kemuliaan dari kaumnya dan kekuatan di negerinya
tetapi ia enggan dan memilih untuk bergabung bersama kalian wahai penduduk
Madinah. Jika kalian memenuhi janjinya dan melindunginya, maka ambillah ia,
namun jika kalian khawatir jika suatu saat nanti akan mengkhianatinya, maka
mulai dari sekarang biarkanlah ia di negerinya.
Kata-kata Abbas tersebut berasal dari
fanatisme kesukuan dan ikatan darah keluarga namun penduduk Madinah tidak
begitu peduli dengan kalimat Abbas itu karena ia bukan termasuk dari agama
mereka dan ia tidak mengetahui tingkat cinta kepada Rasul saw yang mereka
capai. Abbas bin Abdul Muthalib menunggu jawaban dari penduduk Madinah. Lalu
mereka berkata kepadanya, "Kami telah mendengar apa yang engkau katakan,
maka berbicaralah ya Rasulullah, ambilah untuk dirimu dan Tuhanmu apa saja yang
engkau sukai."
Kita ingin mengamati jawaban sekelompok
orang yang mukmin dari penduduk Madinah ini sehingga Rasulullah saw berbicara.
Jawaban yang dicari oleh Abbas bin Abu Muthalib tersembunyi dalam pernyataan
Nabi. Demikianlah setelah Rasulullah saw mengucapkan kalimatnya, maka tidak
keluar pemyataan apa pun. Cukup hanya Nabi yang berbicara dan mereka hanya
menaatinya. Mereka meminta kepada beliau agar mengambil pada dirinya dan
Tuhannya apa saja yang beliau sukai; mereka merasa tidak memiliki apa-apa dan
tidak memiliki keputusan. Nabi berbicara lalu beliau membaca Al-Qur'an dan
mengajak ke jalan Allah SWT. Kemudian beliau bebicara tentang Islam dan beliau
membaiat mereka agar membantu beliau sehingga mereka pun membaiat kepadanya.
Demikianlah terjadinya baiat 'Aqabah al-Kubra.
Orang-orang yang terpilih oleh Allah SWT
itu mengetahui bahwa sebentar lagi mereka akan diajak untuk mengangkat senjata:
mereka diajak untuk mendapatkan kematian di bawah naungan pedang. Mereka
menenangkan Rasulullah saw bahwa beliau akan mendapati orang-orang yang sudah
terlatih dalam peperangan karena mereka mewarisi dari kakek-kakek mereka.
Salah seorang dari tujuh puluh orang itu
menyebutkan masalah yang penting. Abul Haitsyam berkata: "sesungguhnya di
antara orang-orang Madinah dan Yahudi terdapat suatu tali ikatan, maka mereka
boleh jadi akan memutuskannya lalu, apakah sikap yang harus kita ambil jika
mereka lakukan hal itu dan memusuhi orang-orang Yahudi," kemudian Allah
SWT menolong Nabi dan memenangkan atas kaumnya, lalu ia kembali kepada mereka
dan meninggalkan mereka di bawah kasih sayang orang-orang Yahudi.
Perhatikanlah bahwa pertanyaan tersebut
berkisar pada kecintaan kepada Nabi dan keinginan agar Nabi tetap bersama
mereka selama perjalanan hari dan bulan. Masalah yang dituntut oleh Abbas bin
Abdul Muthalib secara jelas adalah masalah perlindungan mereka kepada Nabi, di
mana hal tersebut tidak lagi diperdebatkan oleh orang-orang yang terpilih dari
penduduk Madinah. Namun masalah yang mereka inginkan adalah masalah
perlindungan Nabi dan keberadaan Nabi bersama mereka di Madinah.
Nabi tersenyum dan beliau mengatakan
kalimat-kalimat yang justru menekankan bahwa ikatan akidah lebih kuat daripada
ikatan darah. Beliau berkata: "Tetapi darah adalah darah dan kehancuran
adalah kehancuran. Aku dari kalian dan kalian dariku aku akan memerangi
orang-orang yang kalian perangi dan aku akan berdamai dengan orang-orang yang
kalian berdamai dengan mereka."
Akhirnya, penduduk Madinah pergi dan
kembali ke negeri mereka. Kemudian berita tentang baiat ini sampai ketelinga
orang-orang Mekah dan para tokoh musyrik, lalu mereka justru menambah penekanan
kepada Rasulullah saw dan kaum Muslim.
Para preman Mekah berkumpul di Darul
Nadwah. Mereka menetapkan akan mengambil sesuatu keputusan penting berkaitan
dengan Nabi. Salah seorang dari mereka mengusulkan agar beliau dibelenggu
dengan besi lalu dibuang di penjara sehingga beliau mati kelaparan. Sebagian
lagi mengusulkan agar beliau dibuang dari Mekah dan diusir. Abu Jahal
mengusulkan agar mereka mengambil dari setiap keluarga dari keluarga-keluarga
Quraisy seorang pemuda yang kuat, kemudian setiap dari mereka diberi pedang
yang terhunus dan hendaklah mereka memukulkan pedang itu ke tubuh Nabi. Jika
mereka berhasil membunuhnya niscaya semua kabilah bertanggung jawab terhadap
darah sang Nabi dan Bani Hasyim tidak akan mampu menuntut dan memerangi orang
Arab semuanya dan mereka akan menerima diat sebagai tebusan dari pembunuhan
itu. Demikianlah persekongkolan itu digelar dan mereka sepakat untuk
melaksanakan hal itu. Namun Al-Qur'an al-Karim menyingkap persekongkolan yang
dilakukan orang-orang kafir itu dalam firman-Nya:
"Dan (ingatlah), ketika orang-orang
kafir memikirkan tipu daya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau
membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya itu. Dan Allah
sebaik-baih Pembalas tipu daya." (QS. al-Anfal: 30)
Allah SWT mewahyukan kepada Nabi-Nya agar
ia berhijrah. Lalu Nabi mulai menyiapkan sarana-sarana untuk hijrahnya. Beliau
menyembunyikan urusan tersebut bahkan beliau tidak memberitahu sahabat yang
akan menemaninya. Rasulullah saw menyewa seorang penunjuk jalan yang pengalaman
yang mengenal padang gurun seperti mengenal garis-garis tangannya. Yang
mengherankan penunjuk jalan itu adalah seorang musyrik. Demikianlah Nabi memita
bantuan kepada orang yang ahli tanpa memperhatikan keyakinannya.
Kemudian datanglah malam pelaksanaan
kejahatan itu. Rasulullah saw memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk tidur di
tempat tidumya di malam tersebut. Datanglah pertengahan malam dan Rasulullah
saw pun keluar dari rumahnya. Para pemuda Mekah mengepung rumah. Mereka
menghunuskan pedangnya. Nabi menggenggam tanah lalu beliau melemparkannya ke
arah kaum sehingga mereka pun merasa kantuk sehingga Nabi saw dapat menembus
kepungan mereka. Beliau keluar dari Mekah dan berhijrah.
Dengan langkah yang diberkati ini, kaum
Muslim menanggali tahun-tahun mereka. Tahun dalam Islam adalah tahun Hijiriah,
sedangkan kaum Masehi menanggali tahun mereka dengan kelahiran Isa dan ini disebut
dengan tahun Masehi. Adapun tahun-tahun Islam, maka ia ditanggali pertama
kalinya saat Rasulullah saw keluar berhijrah di jalan Allah SWT. Hijrah Rasul
bukan hanya lari dari penindasan tetapi lari dari kebekuan; hijrah tersebut
bukan keluar dari keamanan tetapi keluar dari bahaya. Islam di Mekah hanya
dapat mempertahankan dirinya tetapi ketika ia keluar ke Madinah ia
mempertahankan dirinya ketika menyerang. Dan selama beberapa tahun masa yang
dihabiskan di Mekah, tak seorang dari kaum Muslim yang mengangkat senjata.
Ketika mereka keluar ke Madinah, mereka mulai membawa senjata dan mulai
menyalakan obor peperangan. Islam mulai membawa senjata sebagaimana luka akan
sembuh dengan syarat jika diobati. Nabi saw mengetahui bahwa Islam tidak akan
menghabiskan usianya hanya untuk melawan serangan pada dirinya; Islam ingin
tersebar; Islam ingin mendirikan negaranya yang pertama yaitu suatu negara yang
belum pernah dikenal di muka bumi negara seperti itu. Negara yang mencapai
keadilan, kasih sayang, dan idealisme yang begitu luar biasa di mana hukum
Allah SWT ditegakkan dan kehormatan manusia benar-benar dijaga.
Inilah kedalaman hijrah yang mengesankan
yaitu pendirian negara Islam setelah sebelumnya membangun individu masyarakat
Muslim. Setelah Rasul saw membangun masyarakat Muslim dan membangun masjid,
maka beliau membangun suatu negara Islam. Selanjutnya, sayap-sayap dakwah
mengepak.
Kami kira pembaca tidak akan bertanya, apa
gunanya pembangunan masjid ditingkatkan sementara Islam masih mengalami
penindasan di muka bumi. Kami kira pembaca lebih pintar daripada orang yang
tidak mengetahui bahwa masjid yang dibangun Rasulullah saw di Madinah bukan
tempat peristirahatan dari keletihan, tetapi masjid merupakan pusat dari
kepemimpinan pergerakan Islam dan kepemimpinan menuju peperangan Islam.
Manusia mandi di masjid dengan cahaya
Allah SWT setelah itu mereka mandi di kancah peperangan dengan darah mereka.
Pertanyaannya adalah, siapakah di antara mereka yang akan terbunuh di jalan
Allah SWT sebelum saudaranya? Demikianlah perlombaan dalam perbaikan terjadi di
antara mereka. Dengan cara demikianlah Islam tersebar.
Sementara itu, Nabi berlindung di suatu
gua; di gunung yang bernama Tsur. Beliau masuk ke gua itu bersama sahabatnya
Abu Bakar. Dan orang-orang musyrik pergi menyusul beliau dengan membawa pedang
mereka. Lalu mereka sampai ke gunung itu. Abu Bakar berkata kepada Rasul saw
dengan keadaan gelisah, "seandainya salah seorang mereka melihat di bawah
kakinya niscaya mereka akan melihat kita."
Dengan tenang, Rasulullah saw menepis
kegelisahan Abu Bakar dan berkata: "Wahai Abu Bakar apa yang kamu kira
dengan dua orang yang ada di tempat yang sepi sementara Allah SWT menjadi
ketiga di antara mereka?" Sebelum Rasulullah saw mengakhiri kalimatnya,
terdapat laba-laba yang selesai dari menenun rumahnya di atas pintu gua.
Kitab-kitab sejarah mengatakan bahwa kaum musyrik mengikuti jejak sang Nabi
sehingga mereka sampai di gunung Tsur lalu di situlah mereka mengalami
kebingungan. Mereka mendaki gunung dan mendaki gua itu. Lalu mereka melihat di
atas pintu gua itu terdapat tenunan laba-laba. Mereka mengatakan, seandainya
seseorang masuk di dalamnya niscaya tidak akan terdapat tenunan laba-laba di
atas pintunya. Beliau tinggal di gua itu selama tiga malam.
Demikianlah keimanan tenunan laba-laba
yang lembut dimenangkan atas ketajaman pedang kaum musyrik sehingga Nabi
bersama sahabatnya pun selamat. Kini, kedua orang itu menuju Madinah. Dan
Madinah pun menyambut mereka. Ketika Rasulullah saw dan sahabatnya memasuki
Madinah, mula-mula masyarakat tidak mengenal siapa di antara mereka yang
menjadi Rasul karena saking baiknya sikap Rasul terhadap sahabatnya. Akhirnya,
Nabi menerangi kota Madinah. Beliau membangun masjid dan mendirikan negaranya
serta memerangi musuh-musuhnya dan tersebarlah Islam dan Mekah pun ditaklukkan
dan Baitul Haram disucikan.
Beliau menanamkan dalam akal dan hati
suatu cahaya yang tidak akan pernah padam. Kemudian berlangsunglah sepuluh
tahun yang dilewatinya di Madinah di mana beliau tidak menggunakannya untuk
berleha-leha. Demikian juga selama masa tiga belas tahun yang beliau lalui di
Mekah, beliau pun tidak mendapatkan istirahat yang cukup. Semua kehidupan
beliau hanya untuk Allah SWT dan hanya untuk Islam. Beban berat yang dipikul
oleh punggung beliau yang mulia lebih berat dari beban yang dipikul oleh
gunung. Meskipun beliau seorang diri, tetapi beliau mampu memikul amanat yang
pernah Allah SWT tawarkan kepada langit dan bumi serta gunung namun mereka pun
enggan untuk memikulnya. karena mereka menyadari bahwa mereka tidak akan mampu
memikulnya. Lalu datanglah beliau dan beliau pun mampu memikul amanat itu dan
melaksanakannya secara sempurna. Yaitu amanat untuk menyampaikan agama Allah
SWT; amanat untuk menyucikan akal manusia dari polusi khayalisme dan khurafatisme:
amanat yang mewarnai kehidupan dengan hanya sujud kepada Allah SWT.
Kemudian mengalirlah dalam memori Nabi saw
suatu arus dari gambar-gambar hidup: bagaimana saat beliau memasuki Madinah.
Lewatlah di hadapan akal beberapa memori dan nostalgia: bagaimana wahyu yang
turun kepadanya dengan membawa risalah di gua Hira, kemudian berubahlah
pandangan dan bertiuplah angin kebencian kepadanya, bahkan angin itu membawa
pasir-pasir tuduhan-tuduhan yang dilemparkan ke wajah suci beliau. Beliau
berdiri sambil tersenyum dan hatinya dipenuhi dengan kesedihan di hadapan
gelombang gurun dan kesendirian serta badai kesengsaraan. "Wahai manusia,
tiada Tuhan selain Allah SWT. Demikianlah kalimat yang beliau katakan. Meskipun
kalimat itu tampak sederhana namun ia mampu membangkitkan dunia. Dan
bergeraklah patung-patung yang begitu banyak yang memenuhi kehidupan dan mereka
membekali dirinya dengan kegelapan dan kebencian yang dialamatkan kepada sang
Nabi. Para pembesar. para penguasa, uang, emas, serta kebencian dan kedengkian
setan yang klasik dan banyaknya orang-orang munafik, semua ini menjadi musuh
nyata sang Nabi pada saat beliau mengatakan "tiada Tuhan selain Allah
SWT." Nabi mengingat kembali Waraqah bin Nofel ketika menceritakan
kepadanya apa yang terjadi dan apa yang dialami beliau di gua Hira. Tidakkah ia
mengatakan kepadanya bahwa kaumnya akan mengusirnya?
Hari-hari hijrah sangat panjang dan berat.
Matahari sangat dekat dengan kepala dan rasa panas sangat mencekik tenggorokan
dan rasa pusing-pusing pun semakin meningkat. Setelah hijrah, Nabi memasuki
Madinah. Beliau disambut oleh kaum Anshar dengan sambutan luar biasa. Beliau
datang sendirian lalu mereka menolongnya; beliau datang dalam keadaan takut
lalu mereka mengamankannya; beliau datang dalam keadaan lapar lalu mereka
memberinya makanan; beliau datang dalam keadaan terusir lalu mereka memberikan
perlindungan.
Bangunan Islam mulai ditancapkan di
Madinah. Beliau mulai membangun negaranya setelah beliau membangun sumber daya
manusia Islam yang tangguh. Yang pertama kali dibangunnya adalah sumber daya
Islam, setelah itu beliau baru membangun negara. Tidak ada nilai yang berarti
dari satu sistem yang hanya berdasarkan prinsip-prinsip besar yang tidak lebih
dari sekadar tinta di atas kertas. Penerapan prinsip-prinsip adalah tolok ukur
final dari nilai apa pun yang diberlakukan di dunia. Dan Islam telah berhasil
menerapkan pada masa-masa pertamanya suatu sistem yang belum pernah dikenal
dalam kehidupan manusia suatu sistem seperti itu. Yaitu sitem yang menunjukkan
keadilan, persaudaraan, dan kasih sayang yang mengagumkan. Hal yang pertama
kali dilakukan Rasulullah saw adalah membangun masjid di mana di situlah unta
yang ditungganinya berhenti. Mesjid itu tampak sederhana. Tikarnya terdiri dari
pasir-pasir dan batu-batu. Tiangnya terbuat dari batang-batang kurma.
Barangkali ketika turun hujan, maka tanahnya akan menjadi lumpur karena
mendapat siraman air hujan. Mungkin ketika angin bertiup dengan kecang, maka ia
akan mencabut sebagian dari atapnya.
Di bangunan yang sederhana ini, Rasulullah
saw mendidik generasi Islam yang tangguh yang dapat menghancurkan orang-orang
yang lalim dan para penguasa yang bejat dan mereka mampu mengembalikan
kebenaran ke singgasananya yang terusir dan terampas. Mereka mampu menyebarkan
Islam di muka bumi. Mesjid itu tampak kecil dan sederhana sekali tetapi ia
dipenuhi dengan kebesaran; masjid itu tidak menunjukkan kemewahan sama sekali.
Di dalamnya Al-Qur'an dibaca lalu orang-orang yang mendengarnya menganggap
bahwa mereka benar dan mendapatkan perintah harian untuk menerapkan dan
melaksanakan apa-apa yang mereka dengar.
Al-Qur'an dibaca di masjid bukan seperti
nyanyian yang orang-orang duduk akan merasa terpengaruh dengan keindahan
nyanyian dan suara pembaca. Dan masjid di dalam Islam bukanlah tempat
satu-satunya untuk ibadah. Menurut kaum Muslim semua burni adalah masjid namun
masjid adalah simbol peradaban yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir,
sebagaimana ia menyuarakan ilmu, kebebasan dan persaudaraan.
Semua Nabi berbicara tentang persaudaraan
dan mengajak kepadanya dengan ribuan kata-kata. Sedangkan Rasulullah saw telah
mewujudkan persaudaraan itu secara praktis, yakni ketika karakter masyarakat
saat itu mencerminkan Al-Qur'an. Nabi mulai mempersaudarakan kaum muhajirin dan
Anshar di mana sahabat Anshar Sa'ad bin Rabi', seorang kaya dari Madinah
dipersaudarakan dengan Abdul Rahman bin 'Auf, seorang yang berhijrah dari
Mekah. Sa'ad berkata kepada Abdul Rahman: "Sesungguhnya, tanpa bermaksud
sombong, aku memang memiliki harta yang banyak daripada kamu. Aku telah membagi
hartaku menjadi dua bagian dan sebagiannya aku peruntukkan bagimu. Lalu aku
mempunyai dua orang wanita, maka lihatlah siapa di antara mereka yang mampu
memikatmu sehingga aku menceraikannya lalu engkau dapat menikahinya."
Abdul Rahman bin 'Auf menjawab: "Mudah-mudahan Allah SWT memberkatimu,
keluargamu, dan hartamu. Di manakah pasar yang engkau berdagang di
dalamnya?"
Abdul Rahman bin 'Auf keluar menuju ke
pasar untuk berkerja. Ia kembali dan membawa sesuatu yang dapat dimakannya. Ia
menolak dengan lembut sikap baik Sa'ad dan kedermawanannya. Ia bersandar pada
keimanan kepada Allah SWT dan lebih memilih untuk bekerja dan membanting
tulang. Tidak berlalu hari demi hari kecuali ia tetap bekerja sehingga ia mampu
untuk membekali dirinya dan melaksanakan pernikahan.
Demikianlah masyarakat Islam terbentuk dan
menampakkan identitasnya berdasarkan cinta, kebebasan, musyawarah, dan jihad.
Pekerjaan menurut Islam bukan suatu penderitaan untuk mendapatkan roti atau
potongan daging sebagaimana dikatakan peradaban kita masa kini, tetapi
pekerjaan dalam Islam melebihi ruang lingkup materi ini dan menuju puncak yang
lebih tinggi:
"Dan katakanlah: 'Bekerjalah kamu,
maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang muhmin akan melihat pekerjaanmu itu. " (QS. at-Taubah: 105)
Kesadaran bahwa apa yang kita kerjakan
akan dilihat oleh Allah SWT menjadikan perkerjaan itu mendapat cita rasa yang
lain. Yaitu suatu rasa yang melampaui nikmatnya memakan roti dan daging.
Setelah bekerja, datanglah cinta. Cinta dalam Islam bukan hanya perasaan yang
menetap dalam hati dan tidak diwujudkan oleh suatu perbuatan; cinta dalam Islam
merupakan langkah harian yang akan mengubah bentuk kehidupan di sekitar manusia
menuju yang lebih tinggi dan mulia.
Seorang Muslim mencintai Tuhannya Pencipta
alam semesta dan mencintai Rasulullah saw dan mencintai kaum Muslim dan
orang-orang yang berdamai dengan orang-orang Muslim, meskipun keyakinan mereka
berbeda dengannya. Bahkan seorang Muslim mencintai makhluk secara keseluruhan:
ia mencintai anak-anak, hewan, bunga, pasir dan gunung bahkan benda-benda mati
pun mendapat cinta dari seorang Muslim. Seorang Muslim jika dia benar-benar
seorang Muslim akan merasakan dnta yang dialami oleh Nabi Daud terhadap alam
dan lingkungan di sekitarnya. Ini adalah perasaan sufi yang tinggi. Seorang
Muslim akan mewarisi cinta yang sebenarnya seperti yang diwarisi Nabi Isa
terhadap lingkungan yang baik yang ada di sekitarnya di mana ketika Nabi Isa
melihat tubuh anjing yang mati, maka Nabi Isa tidak melihat selain keputihan
giginya.
Demikianlah cinta yang tersebar dalam
kehidupan kaum Muslim di mana cinta itu pun tertuju kepada binatang dan
benda-benda mati. Cinta demikian ini tidak akan terwujud dengan suatu keputusan
dan tidak ditetapkan dengan suatu undang-undang, tetapi cinta itu datang
biasanya akibat dari kepuasaan akal dan hati dengan adanya kepemimpinan besar
yang hati cenderung kepadanya dan akal mengambil darinya. Dan yang dimaksud
dengan kepemimpinan besar tersebut adalah keberadaan sang Nabi. Beliau adalah
cermin terbesar dari tingkat cinta yang tertinggi. Beliau adalah seorang yang
paling banyak berbuat demi Islam dan paling banyak sedikit mengharapkan balasan
darinya. Meskipun beliau seorang pemimpin namun beliau hidup dalam
kesederhanaan. Beliau adalah seorang tentara yang paling sederhana. Tempat
tidurnya bersih tetapi kasar, dan rumahnya tidak menampakkan kesibukan yang di
dalamnya memasak berbagai macam hidangan. Beliau justru menyiapkan hidangan
yang sangat sederhana. Makanan utama beliau adalah roti kering yang dicampur
dengan minyak. Keinginan besar beliau adalah tersebarnya dakwah Islam.
Kaum Muslim menyadari bahwa kesempurnaan
Islam tidak akan terwujud kecuali ketika cinta Allah SWT dan Rasul- Nya lebih
didahulukan daripada cinta diri sendiri, cinta kepada wanita, cinta kepada
anak, kepentingan, kekuasaan, kehidupan, dan apa saja yang tidak ada
hubungannya dengan Allah SWT dan Rasul-Nya. Demikianlah kaum Muslim sangat
mencintai pemimpin mereka lebih dari kehidupan pribadi mereka. Di samping pekerjaan
dan cinta tersebut, didirikanlah pemerintahan Islam yang berdasarkan
kaidah-kaidah kebebasan, musyawarah dan jihad.
Kebebasan dalam Islam bukan sekadar
perhiasan yang dilekatkan kepada tubuh Islam tetapi ia merupakan tenunan dari
sel-sel yang hidup itu. Allah SWT telah membebaskan kaum Muslim dari
penyembahan selain dari-Nya. Dengan demikian, runtuhlah semua belenggu yang
hinggap di atas akal, hati, dan masyarakat. Seorang Muslim memiliki—dalam
Islam—suatu kebebasan yang diberikan kepadanya agar ia melihat sesuatu dengan
akalnya dan mendebat segala sesuatu dengan akalnya. Dan hendaklah ia merasa
puas dengan sesuatu yang dapat menenteramkan hatinya. Kebebasan dalam Islam
bukan kebebasan mutlak yang menjurus kepada anarkisme dan diskriminasi tetapi
kebebasan dalam Islam adalah kebebasan yang bertanggung jawab.
Dalam ruang lingkup nas-nas yang pasti
yang terdapat dalam Al-Qur'an atau sunah tidak ada kebebasan di hadapan orang
Muslim selain kebebasan untuk berlomba-lomba untuk menerapkan apa yang mereka
pahami. Selain itu, seorang bebas sampai tidak terbatas, dan pintu ijtihad
tetap terbuka sampai tidak ada batasnya, karena pintu ijtihad adalah akal dan
menutup pintu ijtihad yakni menutup akal dan itu berarti akan membawa kematian
baginya. Islam tidak menerima orang-orang yang mati akalnya atau menga-lami
kemunduran; Islam pada hakikatnya memperlakukan manusia dari sisi akal dan
hati.
"Adalah untukmu, sedang kamu
menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekuatan senjatalah yang untukmu, dan
Allah meng-hendaki untuk membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan
memusnahkan orang-orang kafir." (QS. al-Anfal: 7)
Orang-orang Islam karena kekafiran mereka
dan kebutuhan mereka serta situasi ekonomi yang memburuk, mereka ingin bertemu
dengan pasukan yang tidak bersenjata; mereka ingin bertemu dengan kafilah yang
kaya, bukan pasukan yang bersenjata; mereka membutuhkan harta untuk menyebarkan
dakwah. Namun Allah SWT menginginkan mereka dengan keadaan seperti itu agar
mereka berhadapan dengan pasukan kafir dan agar mereka mampu memutus tali
kekuatan orang-orang kafir sehingga kebenaran akan menang.
Keluarlah orang-orang Muslim dalam
peperangan Badar dengan membayangkan bahwa mereka akan mendapatkan keuntungan
dan kesenangan dengan banyak mengambil ganimah. Namun Allah SWT menginginkan
terjadinya peperangan yang berat, di mana itu berakibat pada jatuhnya
tokoh-tokoh kaum kafir Mekah sebagai korban darinya dan agar Madinah dapat
menahan penderitaan dan kefakiran yang dialaminya. Seharusnya pengikut Islam
tidak membayangkan untuk mengambil keuntungan tetapi ia justru harus memberi
kepadanya.
Nabi mengetahui sebagai pemimpin pasukan
ia harus mengingatkan pasukannya bahwa mereka akan menemui kesulitan dan
penderitaan, dan bukan masalah sepele seperti yang mereka bayangkan. Nabi
bermusyawarah dengan sahabat-sahabat. Beliau berbincang-bincang dengan Abu
Bakar Shidiq, Umar bin Khattab, dan Miqdad bin Amr. Lalu mereka semua sepakat
untuk terus melakukan peperangan apa pun hasilnya dan apa pun pengorbanan yang
harus dilakukan.
Kemudian Rasulullah saw berkata:
"Wahai para sahabat, tunjukkanlah diri kalian." Rasulullah saw
mengisyaratkan kepada kaum Anshar. Rasulullah saw khawatir jika mereka memahami
bahwa baiat yang terjadi di antara mereka yang berisi agar mereka melindungi
beliau jika beliau diserang di Madinah saja, dan memang pasal-pasal dari baiat
itu mendukung hal itu. Tidakkah mereka mengatakan kepada beliau: "Ya
Rasulullah, kami tidak akan bertanggung jawab kepadamu sehingga engkau sampai
di negeri kami. Jika engkau sampai di negeri kami, maka kami akan bertanggung
jawab untuk melindungimu."
Mayoritas pasukan terdiri dari orang-prang
Anshar, maka Rasulullah saw ingin mengetahui keputusan mayoritas tentara
sebelum dimulainya peperangan. Kaum Anshar mengetahui bahwa Rasul saw ingin
mengetahui pendapat kaum Anshar. Oleh karena itu, Sa'ad bin 'Auf berkata:
"Demi Allah, seakan-akan engkau menginginkan kami ya Rasulullah."
Nabi menjawab, "benar." Kemudian kaum Anshar menyatakan apa yang
mereka rasakan.
Mendengar pernyataan kaum Anshar itu
hilanglah kekhawatiran dan ketakutan Nabi, bahkan beliau bergembira dan
wajahnya berseri-seri. Rasulullah saw telah mendidik mereka berdasarkan Islam
dan Islam tidak mengenal pasal-pasal perjanjian namun ia justru tenggelam dalam
esensinya dan kedalamannya yang jauh. Kaum Anshar meyakinkan Nabi bahwa mereka
benar-benar beriman kepadanya, mencintainya dan akan mendengarkan apa saja yang
beliau katakan serta akan benar-benar menaati beliau.
Sa'ad bin Mu'ad berkata: "Ya
Rasulullah, lakukanlah apa yang engkau inginkan dan kami akan bersamamu. Demi
Zat yang mengutusmu dengan kebenaran, seandainya engkau membelah lautan lalu
engkau menyelam di dalamnya niscaya kami akan menyelam bersamamu dan tidak ada
seseorang pun di antara kami yang akan meninggalkanmu." Demikianlah
keteguhan kaum Anshar. Kalimat tersebut menetapkan peperangan paling penting
dan paling berbahaya dalam sejarah Islam.
Perasaan kaum Anshar dan Muhajirin dalam
pasukan Rasul saw sangat berbeda dengan perasaan Nabi Musa ketika mereka
mengatakan kepadanya, "pergilah engkau wahai Musa bersama Tuhanmu dan
berperanglah, sesungguhnya kami di sini hanya duduk-duduk saja." Namun
kaum Muslim menyatakan bahwa seandainya Rasul saw memerintahkan mereka untuk
melalui lautan dengan berjalan kaki di atas ombaknya niscaya mereka akan
melakukan hal itu walaupun berakibat pada tenggelamnya mereka dan kematian
mereka dan tak seorang pun yang akan menentang perintah Rasul saw tersebut.
Akhirnya, kaum Muslim bersiap-siap untuk
memasuki kancah peperangan lalu mereka membuat kemah-kemah yang di situ
ditentukan tempat peristirahatan dan pergerakan tentara Islam. Tempat itu
ditentukan oleh Rasul saw. Allah SWT membiarkan Rasul-Nya melakukan kesalahan
dalam memilih tempat sehingga itu akan dapat menjadi pelajaran bagi kaum Muslim
dalam kaidah umum dari kaidah-kaidah peperangan yaitu sikap pemimpin pasukan
untuk mengambil suatu kebijakan yang penting yang berdasarkan pengalaman.
Kemudian datanglah Habab bin Mundzir kepada Rasulullah saw dan bertanya
kepadanya, "apakah tempat yang kita jadikan sebagai pusat pergerakan
tentara kita merupakan pilihan dari Allah SWT dan Rasul-Nya hingga kita tidak
dapat mendahuluinya dan mengakhirinya yakni kita tidak dapat memberikan
pendapat kita ataukah itu hanya masalah yang bersifat tehnik yakni itu terserah
pada pendapat kita dan sesuai kebijakan saat perang dan ia merupakan tipu daya
semata?"
Rasulullah saw berkata: "Tetapi itu
adalah pendapat pribadi, peperangan, dan tipu daya." Habab berkata:
"Ya Rasulullah ini adalah tempat yang tidak tepat." Sahabat yang
sarat pengalaman ini memilih tempat di mana pasukan Madinah dapat minum darinya
sedangkan pasukan Mekah tidak dapat mengambil darinya. Kemudian berpindahlah
pasukan Muslim menuju tempat yang telah ditentukan oleh pengalaman militer.
Sampailah pasukan Mekah di mana jumlah
mereka mendekati seribu tentara dan mereka akan berhadapan dengan tiga ratus
tujuh belas pasukan Muslim. Pasukan Quraisy berada di tempat yang jauh dari
lembah.
Pasukan kafir terdiri dalam perang Badar
dari pemuka-pemuka Quraisy dan pahlawan-pahlawan mereka, sedangkan pasukan
Muslim terdiri dari keluarga-keluarga, ipar-ipar dan keluarga dekat dari
pasukan kafir. Allah SWT telah menentukan agar seorang anak bertemu dengan
ayahnya, saudara bertemu dengan sesama saudara dan sesama ipar bertemu di medan
peperangan. Mereka semua dipisahkan dengan suatu prinsip di mana mereka
ditentukan oleh pedang. Akhirnya, peperangan Badar pun terjadi dan kaidah utama
adalah kaidah persaudaraan sesama Muslim. Dan ketika pasukan Muslim berpegang teguh
di atas dasar Islam, maka pasukan kafir mulai terpecah belah namun keadaan
tersebut mereka sembunyikan.
Lalu 'Utbah bin Rabi'ah berbicara di
tengah-tengah pasukan Mekah dan mengajak mereka untuk menarik kembali dari
peperangan. 'Utbah memberikan pernyataan sesuai dengan tuntutan akal sehat,
"wahai orang-orang Quraisy demi Allah, jika kalian harus memerangi
Muhammad, maka kalian akan menyesal karena kita berhadapan dengan
saudara-saudara kita sendiri. Boleh jadi kita akan membunuh anak paman kita,
atau salah seorang dari kerabat kita. Mengapa kalian tidak membiarkannya
saja?"
Kalimat yang rasional tersebut cukup
menggoncangkan pasukan Mekah. Sebagian tentara merasa puas dengan pernyataan
tersebut karena mereka melihat bahwa tidak ada gunanya peperangan itu. Namun
kebohohan justru memadamkan kalimat yang rasional itu. Abu Jahal menuduh bahwa
yang mengucapkan kata-kata adalah orang yang penakut. Kemudian Abu Jahal lebih
memilih pendapatnya untuk menetapkan terus memerangi kaum Muslim.
Pemimpin pasukan kafir yaitu Abu Jahal
mengetahui bahwa Muhammad tidak pernah berbohong. Kitab-kitab sejarah
menceritakan bahwa Akhnas bin Syuraif menyendiri dalam perang Badar bersama Abu
Jahal sebelum terjadinya peperangan tersebut dan bertanya kepadanya,
"wahai Abul Hakam, tidakkah engkau melihat bahwa Muhammad pernah
berbohong? Abul Hakam menjawab: "Bagaimana mungkin ia berbohong atas
Allah, sedangkan kami telah menamainya al-Amin (orang yang dapat
dipercaya)." Peperangan tersebut bukan sebagai usaha untuk mendustakan
Rasul saw tetapi itu hanya semata-mata untuk menjaga kepentingan-kepentingan
sesaat dan keadaan ekonomi. Demikianlah orang-orang kafir mempertahankan nilai
yang paling rendah yang ada di muka bumi yang juga dipertahankan oleh binatang,
sementara kaum Muslim justru mempertahankan nilai yang paling tinggi di bumi
dan di langit yang ikut serta di dalamnya para malaikat.
Kemudian datanglah waktu malam menyelimuti
dua kubu. Tiga ratus tentara yang mukmin sudah bersiap-siap dan mendekati
seribu tentara musyrik. Orang-orang musyrik datang dengan menunggangi
tunggangan mereka dan tampak mereka memiliki persenjataan yang lengkap,
sedangkan setiap orang Muslim datang di atas satu kendaraan. Pakaian yang
dipakai orang-orang musyrik tampak masih baru dan pedang-pedang mereka tampak
mengkilat serta baju besi yang mereka gunakan sangat unggul dan kuat. Alhasil,
mereka memiliki persiapan yang sangat mengagumkan sedangkan pakaian yang
dipakai orang-orang Muslim tampak sudah usang dan pedang-pedang kuno pun mereka
gunakan dan baju besi yang mereka gunakan tampak tidak sempurna. Nabi melihat
keadaan pasukannya lalu hati beliau tampak sedih melihat pasukan tersebut.
Beliau berdoa kepada Tuhannya: "Ya Allah, Sesungguhnya mereka adalah
orang-orang yang lapar, maka kenyangkanlah mereka. Ya Allah, sesungguhnya
mereka adalah orang-orang yang tanpa alas kaki, maka tolonglah mereka. Ya
Allah, Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang tidak berpakaian, maka
berilah mereka pakaian."
Kemudian rasa kantuk menghinggapi mata
kedua pasukan lalu mereka beristirahat di tengah-tengah malam. Jatuhlah hujan
kecil yang membuat tempat itu basah sehingga kelembaban mengitari kaum Muslim.
Hujan tersebut membasuh tanah perjalanan dan menghilangkan debu-debu kepayahan
serta menyucikan hati dan membangkitkan kepercayaan atas kemenangan dari Allah
SWT.
Allah SWT berfirman:
"(Ingatlah), ketika Allah menjadikan
kamu mengantuk sebagai suatu penenteram dari-Nya, dan Allah menurunkan hujan
dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu
gangguan-gangguan setan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya
telapak kaki(mu)." (QS. al-Anfal: 11)
Datanglah waktu pagi di Badar lalu kaum
Quraisy mulai menyerang, lalu Nabi memerintahkan pasukan Muslim untuk bertahan.
Rasulullah saw bersabda: "Jika musuh mengepung kalian, maka usirlah mereka
dengan panah dan janganlah kalian menyerang mereka sehingga kalian
diperintahkan."
Demikianlah ketetapan militer yang sangat
jitu yang berarti hendaklah kaum Muslim membentengi mereka di tempat-tempat
mereka agar orang-orang musyrik mendapatkan kerugian dari serangan yang mereka
lakukan. Kita mengetahui dari ilmu militer saat ini bahwa seorang yang
menyerang memerlukan tiga atau tiga kali lipat dari jumlah yang biasa dilakukan
sehingga serangannya betul-betul efektif; kita mengetahui bahwa jumlah pasukan
musyrik tiga kali lipat dibandingkan dengan tentara Muslim. Kaum musyrik
dilihat dari segi jumlah sangat memadai untuk memenangkan peperangan, dan
persenjataan mereka lebih lengkap dari persenjataan kaum Muslim. Jumlah hewan
yang mereka miliki pun sama dengan jumlah mereka, sedangkan tiap tiga orang
Muslim berperang di atas satu tunggangan.
Keadaan saat itu sangat menguntungkan kaum
musyrik. Tanda-tanda kemenangan tampak menyertai bendera kaum musyrik, tetapi
kemenangan peperangan bukan karena kebesaran jumlah pasukan dan persenjataan
yang lengkap. Terkadang peperangan justru dimenangkan oleh unsur spiritual yang
tidak kelihatan. Spiritualitas tentara dan keimanannya tentang persoalan yang
dipertahankannya serta keinginannya untuk mendapatkan dua kebaikan: kemenangan
atau kematian dan hasratnya yang tinggi untuk meneguk madu syahadah, semua itu
dapat mengubah seorang tentara menjadi makhluk yang tidak terkalahkan. Boleh
jadi ia akan merasakan kematian tetapi jauh dari kekalahan. Demikianlah keadaan
pasukan Muslim.
Sementara itu debu-debu berterbangan di
atas kepala pasukan yang bertempur dan kaum Muslim mencurahkan tenaga yang
keras dalam peperangan itu. Ketika dua pasukan saling bertemu dan bertempur,
Nabi saw melihat mereka, lalu Nabi saw menyaksikan pasukannya terjepit. Pasukan
yang berjumlah sedikit dengan persenjataan yang tidak lengkap itu kini ditekan
oleh orang kafir. Dalam keadaan demikian, Nabi saw meminta pertolongan kepada
Tuhannya: 'Ya Allah, kirimkanlah bantuan dan pertolongan-Mu. Ya Allah,
wujudkanlah janji-Mu kepadaku. Ya Allah, jika kelompok ini dihancurkan, maka
Engkau tidak akan disembah setelahnya di muka bumi." Renungkanlah,
bagaimana kesedihan Nabi saat terjadi peperangan itu. Oleh karena itu, kita
dapat memahami mengapa Nabi saw meminta agar pasukannya dimenangkan.
Pemimpin pasukan tertinggi Muhammad bin
Abdillah keluar berperang di jalan Allah SWT dan saat ini kematian sedang
mengitari kaum Muslim, lalu apa yang dipikirkan oleh Nabi saw pada keadaan yang
sulit tersebut? Pemikiran Nabi saw melebihi hal yang sekarang dan menuju pada
hal yang akan datang, dan yang menjadi fokus Nabi adalah penyembahan Allah SWT
di muka bumi: "Ya Allah, jika kelompok ini dihancurkan, maka Engkau tidak
akan disembah setelahnya di muka bumi."
Nabi tidak terlalu mengkhawatirkan
kehancuran kaum Muslim karena Nabi justru mengkhawatirkan sesuatu yang lebih
besar dari itu. Yang beliau khawatirkan adalah penyembahan kepada Allah SWT
akan berhenti di muka bumi. Oleh karena itu, Nabi meminta tolong kepada
Tuhannya dan mengingatkan kembali kepada Tuhannya dan Allah SWT lebih tahu dari
hal itu. Kemudian turunlah bala tentara malaikat yang dipimpin oleh Jibril.
Allah SWT berfirman:
"(Ingatlah), ketika kamu memohon
pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankankan-Nya bagimu: 'Sesungguhnya Aku
akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang
berturut-turut.' Dan Allah tidak menjadikannya (mengirim bantuan itu),
melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. Dan
kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana." (QS. al-Anfal: 9-10)
Setelah itu Nabi saw menghampiri sahabat
Abu Bakar dan berkata: "Sampaikan berita gembira wahai Abu Bakar,
sesungguhnya telah datang kepadamu bantuan dari Allah SWT."
Turunnya para malaikat merupakan cara
untuk meneguhkan kaum Muslim dan berita gembira kepada mereka. Mukjizat itu
bukan terletak pada penyertaan para malaikat dalam peperangan, namun melalui
nas-nas ditegaskan bahwa peranan malaikat tidak lebih dari sekadar membawa
berita gembira dan memberikan dukungan moril serta memenuhi hati dengan
ketenangan. Kami kira bahwa Allah SWT ingin agar para malaikat menyaksikan
manusia-manusia malaikat yang mempertahankan akidah tauhid.
Demikianlah Allah SWT mewahyukan kepada
malaikat bahwa Dia bersama mereka. Oleh karena itu, hendaklah orang-orang yang
beriman merasa tenang dan kebenaran akan tertancap pada hati mereka sedangkan
orang-orang kafir pasti akan merasakan ketakutan.
Allah SWT berfirman:
"(Ingatlah), ketika Tuhanmu
mewahyukan kepada para malaikat: 'Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka
teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman.' Kelak akan Aku
jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala
mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka. (Ketentuan) yang demikian
itu adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya; dan
barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah amat keras
siksaan-Nya. Itulah (hukum dunia yang ditimpakan atasmu), maka rasakanlah
hukuman itu. Sesungguhnya bagi orang-orang yang kafir itu ada (lagi) azab
neraka." (QS. al-Anfal: 12-14)
Lalu orang-orang kafir pun mengalami
kekalahan. Setelah peperangan itu, terbunuhlah tujuh puluh kafir dan tujuh
puluh tawanan dari mereka dan sebagian pasukan melarikan diri. Runtuhlah
tokoh-tokoh kebencian dan kelaliman di peperangan tersebut. Hancurlahlah Abu
Jahal, pemimpin pasukan, dan pahlawan-pahlawan Mekah kini terkapar.
Rasulullah saw berdiri di depan
bangkai-bangkai orang-orang kafir dan berkata: "Wahai Utbah bin Rabi'ah,
wahai Syaibah bin Rabi'ah, wahai Umayah bin Khalf, wahai Abu Jahal bin Hisam,
apakah kalian menemukan apa yang dijanjikan oleh tuhan kalian kepada kalian.
Sungguh aku telah menemukan apa yang dijanjikan Tuhanku." Orang-orang
Muslim berkata: "Ya Rasulullah, apakah engkau memanggil kaum yang sudah
mati?" Rasulullah berkata: "Kalian tidak mengetahui apa yang aku
katakan kepada mereka, tetapi mereka tidak mampu menjawab perkataanku."
Rasulullah saw tinggal tiga malam di Badar kemudian beliau kembali ke Madinah.
Di depan beliau terdapat tawanan-tawanan perang dan ganimah.
Kaum Muslim sangat menanggung beban berat
dengan banyaknya tawanan perang. Mula-mula Rasulullah saw bermusyawarah dengan
sahabat Abu Bakar dan Umar. Abu Bakar berkata: "Ya Rasulullah, mereka
adalah keturunan dari saudara-saudara dan keluarga, dan aku melihat lebih baik
engkau mengambil fidyah (tebusan) dari mereka sehingga apa yang engkau ambil
tersebut merupakan kekuatan bagi kita terhadap orang-orang kafir, dan
mudah-mudahan Allah SWT memberi petunjuk kepada mereka sehingga mereka menjadi
tulang punggung kita."
Kemudian Rasulullah saw menoleh kepada
Umar bin Khattab sambil berkata, "bagaimana pendapatmu wahai Ibnul
Khattab?" Lelaki itu berkata: "Demi Allah, aku tidak sependapat
dengan apa yang dikatakan Abu Bakar tetapi aku berpendapat, seandainya aku
mampu untuk bertemu dengan salah seorang kerabatku, maka aku akan memukul
lehernya, dan seandainya Ali mampu bertemu dengan keluarganya, maka ia pun akan
memukul lehernya begitu Hamzah sehingga Allah SWT mengetahui bahwa tidak ada di
hati kita kelembutan kepada kaum musyrik."
Pasukan Madinah dan pasukan Mekah terdiri
dari keluarga-keluarga yang terikat hubungan kekerabatan, namun kehendak Allah
SWT menetapkan terjadinya peperangan sesama keluarga: antara anak dan orang
tuanya. Umar menginginkan agar keadaan demikian terus berlanjut sehingga
orang-orang musyrik mengetahui bahwa Islam tidak ingin berdamai. Kemudian
Selesailah urusan itu dan terjadi peperangan di jalan Allah SWT dan mengangkat
senjata dan berperang adalah suatu kewajiban yang tiada keraguan di dalamnya.
Nabi saw menoleh kepada kaum Muslim dan mendapati sebagian besar mereka cenderung
kepada pendapat Abu Bakar. Nabi saw mengikuti pendapat mayoritas saat itu.
Pendapat mayoritas salah dan hanya Umar yang benar.
Ini adalah peperangan pertama yang dilalui
oleh Islam. Hendaklah kaum Muslim harus meninggalkan dorongan kemanusiaan mereka,
yakni orang-orang kafir harus dibunuh agar musuh-musuh Allah SWT mengetahui
bahwa Islam telah memilih darah. Allah SWT telah mendukung Umar bin Khattab
dalam Al-Qur'an sehingga Nabi saw dan Abu Bakar menangis ketika keduanya
menyadari kesalahan mereka pada hari berikutnya, lalu Umar memergoki mereka
dalam keadaan menangis dan ia bertanya, "apa yang menyebabkan Rasulullah
saw dan temannya di gua menangis?" Kemudian Rasulullah saw membaca
Al-Qur'an:
"Tidak patut bagi seorang Nabi
mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu
menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat
(untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kalau sekiranya tidak
ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan
yang besar karena tebusan yang hamu ambil." (QS. al-Anfal: 67-68)
Kedua ayat itu mengatakan bahwa ini bukan
saatnya melindungi para tawanan dan berusaha untuk menebus mereka. Waktu
Demikian belum saatnya. Nabi tidak berhak memiliki tawanan kecuali jika ia
telah melakukan banyak peperangan dan banyak berjihad dan telah banyak membunuh
dan dakwahnya telah mapan.
Kedua ayat tersebut menyingkap tujuan di
balik penebusan tawanan: "Kamu menghendaki harta benda duniawi
sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu)."
Demikianlah pemikiran yang
mempertimbangkan keadaan-keadaan aktual yang sulit. Itu adalah pemikiran yang
bersifat taktik sebagaimana yang kita ungkapkan dalam istilah modern dan bukan
pemikiran yang bersifat strategis. Kemudian para tawanan tersebut bukan tawanan
biasa tetapi menurut istilah modern mereka adalah penjahat-penjahat perang.
Oleh karena itu, nyawa mereka harus ditumpahkan saat mereka dapat ditangkap,
meskipun mereka memiliki kekayaan yang banyak atau kedudukan yang tinggi. Islam
tidak mengakui kekayaan atau kedudukan, yang diakuinya adalah keimanan,
sedangkan pertimbangan-pertimbangan duniawi lainnya tidak dihiraukan oleh
Islam.
Nas Al-Qur'an memperingatkan orang-orang
yang menang bahwa kesalahan mereka bisa berakibat pada datangnya siksaan yang
bakal mereka terima tetapi Allah SWT mengampuni mereka dan menurunkan
rahmat-Nya: "Kalau sekiranya tidak ada ketetapan
yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena
tebusan yang kamu ambil."
Siksaan tersebut memang lebih dekat
daripada pohon yang dekat ini, kemudian Allah SWT mengampuni mereka dan Allah
SWT mengampuni sahabat-sahabat yang terjun di perang Badar, baik dosa yang lalu
maupun dosa mereka yang akan datang. Demikianlah Al-Qur'an ingin mendidik kaum
Muslim agar mereka tidak banyak mempertimbangkan urusan manusiawi saat
berperang. Jadi, Islam memulai peperangannya yaitu peperangan yang hanya
ditujukan kepada Allah SWT dan hendaklah peperangan tersebut dihilangkan dari
pertimbangan-pertimbangan yang sulit sehingga sahabat-sahabat Nabi mengetahui
bahwa kecenderungan kepada kesenangan duniawi akan berakibat pada kekalahan
mereka.
Dalam peperangan Uhud jumlah kaum musyrik
tiga ribu sedangkan jumlah kaum Muslim tiga ratus pasukan setelah pemimpin
orang-orang munafik Abdullah bin Saba' mengundurkan diri pasukan. Kaum Muslim
diletakkan di gunung dan Rasulullah saw membuat rencana yang jitu untuk
memenangkan pertempuran di mana beliau membagi pasukan pemanah di puncak gunung
untuk melindungi punggung kaum Muslim dan melinduingi mereka dari serangan dari
arah belakang. Rasulullah saw memberi pengertian kepada pasukan panah itu agar
mereka tetap di tempatnya baik kaum Muslim menang maupun kalah. Yakni bahwa
pasukan pemanah tidak boleh turun dari gunung dan meski berusaha untuk
melindungi kaum Muslim. Rasulullah saw berkata kepada mereka. "lindungilah
punggung-punggung kami. Jika kalian melihat kami sedang bertempur, maka kalian
tidak usah turun darinya dan tidak usah menolong kami, dan jika kalian melihat
kami memperoleh kemenangan dan mengambil ganimah, maka kalian tidak boleh ikut
serta bersama kami."
Setelah membuat keputusan tersebut,
Rasulullah saw kembali ke pasukan yang lain, lalu beliau membikin suatu rencana
untuk menyerang. Dan Dimulailah peperangan kemudian pasukan Islam mendorong
pasukan musyrik laksana angin yang kencang yang memporak-porandakan ribuan kaum
musyrik. Pada tahapan pertama pasukan Islam tampak menguasai medan dan berhasil
menyapu kaum musyrik sehingga pasukan Mekah tampak berputus asa meskipun mereka
unggul secara bilangan dan meskipun mereka memiliki kuatan persenjataan yang
lengkap, pasukan Mekah justru dikagetkan dengan ketangguhan pasukan Muslim yang
dapat memukul mundur mereka hingga mereka membayangkan balwa mereka tidak dapat
memenangkan peperangan atau dapat bertahan di hadapan pasukan Muslim.
Debu-debu peperangan mulai berterbangan
yang menyertai tanda-tanda kekalahan pasukan Mekah. Sementara itu, para pemanah
yang diletakkan Rasulullah saw di suatu tempat yang strategis berpikir untuk
memperoleh ganimah. Pasukan Mekah telah kalah dan mereka telah melarikan diri
dari pasukan Muslim, maka bagaimana seandainya para pemanah turun dari tempat
mereka untuk mengumpulkan harta rampasan dan ganimah. Rasulullah saw telah mengingatkan
mereka agar jangan meninggalkan tempat mereka, apa pun yang terjadi tetapi
pasukan pemanah itu justru berkhianat dan menentang perintah Nabi saw setelah
mereka membayangkan bahwa peperangan telah selesai dan keuntungan akan
diperoleh pasukan Madinah yang beriman.
Pasukan pemanah mengira bahwa Allah SWT
akan menutupi kesalahan mereka dan akan melindungi mereka sehingga mereka
berhasil mengambil harta rampasan dan ganimah. Sungguh keikhlasan telah
tercabut dari hati sebagian pasukan. Belum lama hal tersebut berlangsung
sehingga terjadilah perubahan yang drastis pada peperangan. Pemimpin pasukan
berkuda musyirik dalam peperangan Uhud yaitu Khalid bin Walid yang kemudian ia
menjadi tokoh Muslim adalah orang yang sangat jenius dalam peperangan. Begitu
ia melihat pasukan pemanah lari dari tempat mereka, maka ia melihat celah yang
terbuka di tengah-tengah kaum Muslim, sehingga ia segera memutarkan kudanya dan
disertai pasukan yang mengikutinya. Kemudian ia menyerang kaum Muslim dari
belakang. Serangan yang dilakukan Khalid itu sangat cepat dan sangat
mengejutkan. Orang-orang musyrik mengambil kesempatan emas. Mereka yang tadinya
lari, kini mereka menarik diri dan justru menyerang kembali.
Pasukan Muslim dikepung dari dua arah oleh
pasukan berkuda: satu dari belakang dan yang lain dari depan. Kemudian
berjatuhanlah korban-korban dari pasukan Muhammad bin Abdillah. Banyak di
antara mereka yang mati sebagai syahid saat mempertahankan dan melindungi
Rasulullah saw, bahkan sang Nabi pun hidungnya terluka dan giginya pun runtuh
dan kepala beliau yang mulia terluka sehingga beliau mengucurkan darah.
Kemudian tersebarlah isu bahwa Muhammad
saw telah meninggal. Ketika mendengar itu, kaum Muslim sangat terpukul dan
sangat sedih sehingga kaum Muslim pun terpecah-pecah. Sebagian mereka kembali
ke Mekah dan sekelompok yang lain ke atas gunung dan mereka tetap menjaga Nabi
saw yang mulia. Ketika mendengar kematian Nabi, Anas bin Nadhir berkata kepada
kaumnya: "Bangkitlah kalian dan matilah seperti kematiannya. Apa yang kalian
lakukan setelah kalian hidup sesudahnya."
Pasukan Muslim tetap bertahan dan
melakukan peperangan, lalu tekanan kaum musyrik semakin berat kepada Nabi saw
dan para sahabatnya. Kemudian terjadilah kejadian yang paling sulit dalam
sejarah umat Islam. Nabi saw berteriak saat melihat kaum musyrik menekannya dan
berusaha membunuhnya: "Barangsiapa yang dapat mengusir mereka dariku, maka
baginya surga."
Mendengar perkataan itu, kaum Muslim
segera mengitari Nabi saw dan melindungi beliau sehingga banyak dari mereka
berguguran sebagai syahid. Bahkan sahabat-sahabat Abu Juanah melindungi Nabi
saw sampai-sampai punggungnya dipenuhi dengan anak-anak panah. Ia bagaikan baju
besi yang dipakai kepada Nabi saw dan ia tetap kokoh melindungi sang Nabi saw.
Kemudian berubahlah keadaan karena keteguhan dan keberanian yang diperlihatkan
oleh kaum Muslim. Pasukan Mekah merasa puas dan mereka memilih untuk menarik
diri. Saat itu orang-orang Quraisy tidak lebih sedikit penderitaannya daripada
orang-orang Muslim.
Setelah peperangan yang dahsyat itu, kaum
musyrik menarik diri setelah mereka berhasil membunuh beberapa orang Muslim,
bahkan mereka berhasil melukai pemimpin pasukan yaitu sang Nabi saw. Semua itu
terjadi karena satu kesalahan yaitu kesalahan terletak pada penentangan dan
pembangkangan para pemanah terhadap perintah sang Rasul saw dan usaha mereka
untuk meninggalkan tempat mereka.
Ketika sebagian kelompok dari sahabat
kehilangan pengorbanan dan kehilangan sikap ikhlas dalam hati mereka, maka
kesalahan tersebut harus dibayar oleh tentara yang paling berani dan mulia di
antara mereka yaitu sang Nabi saw. Langit tidak ikut campur untuk menyelamatkan
pasukan Islam itu. Kesalahan kaum Muslim itu harus dibayar oleh Rasul saw di
mana wajah beliau pun terluka bahkan keluar darah yang cukup deras dari luka
beliau sehingga setiap kali dituangkan air di atas luka itu, maka darah pun
semakin deras mengucur. Darah itu tidak berhenti kecuali setelah dibakarkan
potongan tembikar lalu dilekatkan di atasnya.
Luka beliau bukan hanya bersifat materi
tetapi luka spiritual beliau dan ruhani beliau pun semakin bertambah. Ini
beliau rasakan ketika mendengar bahwa pamannya Hamzah gugur sebagai syahid dan
tidak cukup dengan itu, bahkan istri Abu Sofyan yaitu Hindun membelah perutnya
dan mengeluarkan jantungnya serta mengunyahnya dengan mulutnya. Semua itu
semakin menambah kesedihan sang Nabi.
Kaum Quraisy menguasi pasukan Muslim dan
mereka memberlakukan dan menekan kaum Muslim secara aniaya. Seandainya bukan
karena rahmat Allah SWT niscaya kaum Muslim akan mengalami kekalahan yang
telak. Kemudian turunlah dalam Al-Qur'an al-Karim ayat-ayat yang mendidik kaum
Muslim agar mereka benar-benar ikhlas dan memahamkan mereka bahwa kekalahan
mereka sebagai akibat dari adanya pasukan di antara mereka yang menginginkan
dunia meskipun di antara mereka ada sebagian yang menginginkan akhirat. Jika
terjadi demikian, maka tidak adajalan untuk memperoleh kemenangan. Ini bukanlah
hal yang diinginkan oleh pasukan Muslim, yang diharapkan adalah hendaklah semua
pasukan tertuju untuk mencapai ridha Allah SWT dan hanya mengharapkan akhirat.
Jika demikian halnya, maka Allah SWT akan memberi mereka dunia dan akhirat.
Allah SWT berfirman dan menceritakan
peperangan Uhud dalam surah Ali 'Imran:
"Di antaramu ada orang yang menghendahi
dunia dan di antara kamu ada orangyang menghendaki akhirat. Kemudian Allah
memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu; dan sesungguhnya Allah telah
memaafkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas orang-orang
yang beriman." (QS. Ali 'Imran:: 152)
Allah SWT memaafkan hal itu. Orang-orang
Muslim kini menghitung jumlah korban mereka dan mengobati orang-orang yang
terluka. Rasulullah saw bertanya tentang pamannya Hamzah, dan ketika beliau
mendapatinya di tengah-tengah sahabat yang gugur, dan orang-orang kafir telah
merusak jasadnya, maka beliau berkata dalam keadaan menangis: "Tidak akan
ada orang yang akan tertimpa sepertimu selama-lamanya."
Kemudian Nabi saw berdiri dan memuji Allah
SWT lalu beliau memerintahkan untuk mengembalikan orang-orang yang terbunuh
dari kaum Muslim ke tempat asal mereka di mana mereka terbunuh. Saat itu
keluarga mereka telah membawanya ke kuburan kemudian Nabi saw mengumpulkan
kedua orang laki-laki dari pahlawan-pahlawan Uhud dalam satu pakaian dan beliau
bertanya siapa di antara keduanya yang paling banyak mengambil manfaat dari
Al-Qur'an. Jika diisyaratkan kepada salah satunya, maka beliau akan
mendahulukannya untuk dimasukan dalam liang lahad.
Rasulullah saw juga memerintahkan agar
mereka dikebumikan dengan darah mereka dan beliau pun tidak mensalati mereka,
serta tidak memandikan mereka. Allah SWT ingin memperlihatkan bagaimana mereka
dibangkitkan pada hari kiamat lalu beliau bersabda: "Tiada seorang pun
yang terluka di jalan Allah SWT kecuali Allah SWT membangkitkannya di hari
kiamat dalam keadaan di mana Iukanya akan mengucur darah. Warna itu adalah
warna darah dan baunya seperti minyak misik."
Bukanlah penderitaan yang dalam yang
merupakan pelajaran yang harus dimengerti kaum Muslim dari peperangan Uhud
sebagai akibat dari pembangkangan mereka dari perintah Rasul saw dan
ketidaktaatan mereka kepadanya, tetapi wahyu juga menurunkan berbagai pelajaran
yang lain yang dapat dimanfaatkan. Pelajaran yang terpenting setelah pelajaran
kesetiaan adalah penjelasan tentang central utama yang di situ kaum Muslim
berkumpul. Pribadi Rasulullah saw bukanlah markas yang di situ kaum Muslim
berkumpul yang ketika pribadi Rasulullah saw yang mulia pergi karena satu dan
lain hal, maka orang-orang Muslim akan pergi dan meninggalkan beliau. Tidak
seharusnya pribadi Rasul saw menjadi markas atau central tetapi yang menjadi
central dari semuanya adalah pemikiran beliau. Itulah yang paling penting.
Demikianlah bahwa Al-Qur'an al-Karim
mencela orang-orang yang meletakkan senjatanya ketika tersebar isu terbunuhnya
Nabi saw. Islam tidak akan mencapai puncaknya ketika kaum Muslim berkumpul di
sisi Rasulullah saw saat beliau masih hidup namun ketika beliau terbunuh atau
mati, maka mereka murtad di mana mereka membuang senjatanya dan pergi mengurusi
diri mereka sendiri. Orang-orang Islam adalah orang-orang yang mengikuti
prinsip bukan mengikuti pribadi. Muhammad bin Abdillah memang seorang pemimpin
manusia dan Imam para rasul dan penutup para nabi, dan sebagai makhluk Allah
SWT yang paling mulia, namun ini semua tidak membenarkan bahwa seorang Muslim
diperbolehkan untuk meletakkan senjatanya ketika Rasul saw wahfat atau
terbunuh. Hendaklah seorang Muslim memanggul senjatanya dan tidak membuang dari
tangannya kecuali dalam dua keadaan: pertama ketika ia telah memperoleh
kemenangan dan kedua ketika ia telah mati.
Nas Al-Qur'an menjelaskan secara gamblang
hubungan kaum Muslim dengan akidah Islam, bukan dengan pribadi sang Rasul saw.
Allah SWT berfirman:
"Muhammad itu tidak lain hanyalah
seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.
Apakahjika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (tnurtad)?
Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maha ia tidak dapat mendatangkan mudarat
kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orangyang
bersyukur." (QS. Ali 'Imran: 144)
Demikianlah bahwa peperangan Uhud telah
membawa dampak yang luar biasa terhadap kaum Muslim, utamanya terhadap Nabi
saw. Orang-orang yang terbunuh di perang Uhud adalah sahabat-sahabat yang
paling mulia dan paling banyak imannya. Mereka adalah pilihan dari orang-orang
Muslim yang pertama; mereka memikul beban dakwah di saat-saat yang sulit bahkan
mereka harus berhadapan dan memusuhi kerabat mereka dan teman-teman mereka;
mereka menjadi terasing saat menyatakan keislaman mereka sebelum hijrah dan
sesudahnya; mereka telah menginfakkan harta; mereka berjuang di jalan Allah
SWT; mereka telah bersabar dalam menanggung berbagai macam penderitaan, dan
ketika datang saat yang paling berbahaya dan pasukan Islam telah terkepung di
mana jiwa Rasul saw telah terancam, mereka justru mencurahkan darah mereka
bagaikan lautan yang menenggelamkan orang-orang kafir dan mereka mampu
melindungi sang Rasul saw dan mengubah jalan peperangan serta menyelamatkan
akidah tauhid.
Peperangan Uhud bukanlah pengorbanan
pertama yang dilakukan oleh kaum Muslim dan bukanlah merupakan peperangan yang
terakhir. Ia adalah satu peperangan di antara cukup banyak peperangan yang
dilalui oleh Islam untuk menyebarkan kalimat Allah SWT di muka bumi dan
membimbing hamba-hamba-Nya. Begitu juga pengorbanan Rasul saw, dan peperangan
Uhud bukanlah pengorbanan yang pertama terhadap Islam dan bukan juga yang
terakhir. Rasulullah saw telah hidup setelah diutusnya kepada manusia di mana beliau
telah memberikan semuanya untuk kehidupan dan untuk dakwah; beliau tidak
memiliki dirinya sendiri; beliau tidak memboroskan waktunya dengan sia-sia
bahkan beliau beristirahat sedikit saja. Semua kehidupan beliau diberikan
kepada dakwah dan untuk Islam. Beliau menjalani berbagai macam peperangan dan
beliau memikul berbagai macam penderitaan dan belum lama beliau lari dari suatu
problem kecuali beliau berhadapan dengan problem yang baru dan lain; belum lama
beliau menyelesaikan suatu krisis kecuali beliau menghadapi krisis yang lain.
Demikianlah kehidupan sang Nabi saw di mana beliau selalu memberikan kontribusi
dan sumbangannya demi kepentingan agama Allah SWT.
Silakan Anda mengamati kehidupan sang
Rasul saw dari sudut manapun yang Anda inginkan niscaya Anda tidak akan
menemukan sudut dari sudut-suduut kehidupan beliau kecuali dimulai dan dipenuhi
dengan pergulatan yang hebat.
Rasulullah saw telah melalui pergulatan
militer dalam berbagai macam pertempuran yang silih berganti yang beliau
lakukan. Beliau memulai pergulatan politiknya yang terwujud dalam
perundingan-perundingan dan surat-surat yang beliau kirimkan kepada penguasa
dan para raja di berbagai negara agar mereka memeluk Islam, bahkan beliau
melakukan pergulatannya dalam masalah pribadi di rumah tangga. Rumah tangga
beliau pun tidak kosong dari pergulatan. Beliau adalah pejuang sejati dalam
setiap waktu. Kalau kita mengenal Nabi Ibrahim sebagai seorang musafir di jalan
Allah SWT, maka Muhammad bin Abdillah adalah seorang pejuang di jalan Allah SWT.
Belum lama peperangan Uhud berakhir sehingga pengaruh-pengaruh buruknya
berbekas pada kaum Muslim. Orang-orang Arab Badui mulai berani bersikap kurang
ajar kepada mereka, demikianjuga orang-orang Yahudi, apalagi orang-orang
munafik dan tidak ketinggalan orang-orang Quraisy pun mulai menyudutkan kaum
Muslim.
Kemudian datanglah utusan dari kabilah
Arab kepada Rasul saw dan mereka mengatakan kepada beliau bahwa mereka
mendengar tentang Islam dan mereka ingin memeluknya, maka hendaklah beliau
mengutus kepada mereka beberapa dai dan mubalig untuk mengajari mereka tentang
dasar-dasar agama. Nabi saw mengutus bersama mereka sekelompok para dai yang
dipimpin oleh 'Ashim bin Tsabit. Temyata orang-orang itu berkhianat atas para
sahabat-sahabat yang berdakwah itu dan mereka pun dibunuh. Bahkan tiga di
antara mereka ditawan dan dijual di Mekah. Dijualnya mereka di Mekah berarti
mereka diserahkan pada kelompok orang-orang Quraisy yang telah lama menunggu
untuk menangkap kaum Muslim. Kaum Quraisy Mekah membunuh tiga tawanan kaum
Muslim itu. Orang-orang Muslim sangat sedih mendengar dai-dai Allah SWT itu
terbunuh dengan cara yang begitu tragis.
Ketika datang kepada Nabi saw orang-orang
yang minta pada beliau agar dikirim utusan dari kalangan mubaligh untuk
menyebarkan Islam untuk para kabilah kaum Najd, maka Nabi kali ini betul-betul
mempertimbangkan antara kepentingan menyebarkan Islam dan perlindungan terhadap
kehormatan manusia. Lalu beliau memilih untuk kepentingan dakwah Islam. Beliau
menyadari bahwa beliau mengutus para sahabatnya dalam bahaya; beliau
memberitahu mereka bahwa mereka akan menghadapi suatu keadaan yang misterius
yang tiada mengetahuinya kecuali Allah SWT. Namun bahaya tersebut sudah menjadi
bagian dari cita rasa kehidupan yang selalu meliputi dakwah Islam.
Ketika Nabi saw mengutarakan
kekhawatirannya terhadap para sahabatnya yang bakal diutusnya di tengah kabilah
itu, orang-orang yang meminta beliau untuk mengutus para sahabatnya menyakinkan
beliau bahwa mereka akan melindungi sahabat beliau. Kemudian Nabi saw
memerintahkan tujuh puluh orang pilihan dari sahabatnya untuk pergi dan
berjihad di jalan Allah SWT serta mengajak manusia untuk mengikuti Islam. Lalu
pergilah para sahabat yang kemudian dikenal dengan sebutan al-Qurra' (yaitu orang-orang yang pandai membaca
Al-Qur'an dan menghapalnya). Mereka adalah para dai yang terbaik yang diutus
Nabi di mana pada siang hari mereka memikul kayu bakar dan pada malam hari
mereka sibuk dalam keadaan salat. Ketika datang perintah Rasulullah saw kepada
mereka untuk pergi dan berdakwah mereka pun pergi dalam keadaan gembira karena
mereka diajak untuk berjihad di jalan Allah SWT. Mereka melangkahkan kaki
dengan mantap di tanah orang-orang munafik dan para penghianat sehingga mereka
sampai di suatu sumur yang bemama sumur Ma'unah. Kemudian mereka mengutus salah
seorang di antara mereka untuk menemui pemimpin orang-orang kafir di negeri
itu. Mubalig dari sahabat Rasulullah saw itu menyampaikan surat Nabi yang
dibawanya di mana beliau mengharapkan agar masyarakat di situ masuk Islam,
tetapi ia dikagetkan dengan adanya pisau yang menembus punggungnya. Mubaligh
itu berteriak saat ia tersungkur: "sungguh aku beruntung demi Tuhan
pemelihara Ka'bah."
Kemudian pemimpin orang-orang kafir itu
mengangkat senjata dan mengumpulkan para kabilah untuk memerangi para mubaligh
di jalan Allah SWT itu sehingga sahabat-sahabat terbaik yang berdakwah di jalan
Allah SWT itu pun gugur di sumur Ma'unah. Jasad-jasad mereka menjadi makanan
dari burung nasar dan burung-burung yang lain. Dari tujuh puluh orang yang
dikirim itu hanya seorang yang selamat yang kembali kepada Nabi saw. Ia
menceritakan apa yang dialami oleh fuqaha-fuqaha Muslimin di mana mereka
dikhianati. Ketika mendengar berita tentang tragedi itu, Nabi sangat terpukul
dan sedih. Kemudian beliau mengangkat kepalanya dan berkata kepada
sahabat-sahabatnya: "Sungguh sahabat-sahabat kalian telah terbunuh dan
mereka telah meminta kepada Tuhan mereka. Mereka mengatakan, Tuhan kami,
berikanlah kami ujian sesuai dengan kehendak-Mu dan ridha-Mu. Apa saja yang
menjadi kepuasan-Mu kami pun akan merasakan kepuasan."
Sungguh penderitaan yang dialami oleh
Islam sangat berat, terutama yang menimpa para sahabat yang gugur sebagai
syahid di sumur Ma'unah. Nabi saw sangat sedih mendengar sikap orang-orang Arab
dan orang-orang kafir terhadap Islam. Mereka telah mengejek dan merendahkan
kaum mukmin sampai pada batas ini. Kemudian beliau menetapkan akan kembali
mengangkat kewibawaan Islam dengan tindak kekerasan.
Dalam keadaan seperti ini, bergeraklah
orang-orang Yahudi untuk membunuh Rasulullah saw. Pada suatu hari beliau pergi
ke Bani Nadhir untuk menyelesaikan suatu urusan. Kemudian mula-mula mereka
menampakkan persetujuan atas apa yang diucapkan beliau. Mereka mendudukkan Nabi
di bawah naungan benteng-benteng mereka, lalu mereka bersekongkol untuk
melenyapkan beliau; mereka menetapkan untuk melemparkan batu yang berat dari
atas benteng itu saat beliau duduk dan tidak membayangkan akan terjadinya
kejahatan yang direncanakan padanya. Namun Allah SWT mengilhami Rasul-Nya akan
datangnya bahaya kepada beliau, lalu beliau bangun sebelum pelaksanaan tipu
daya itu. Lalu beliau segera pergi menuju rumahnya. Beliau berpikir saat beliau
kembali ke rumahnya dengan membawa penderitaan yang baru. Pembangkangan dan
pengkhianatan tersebut tidak akan dapat berhenti kecuali setelah Islam
menunjukkan taringnya. Islam ingin mengembalikan kewibawaannya dengan cara
mengangkat senjata.
Rasul saw mengutus utusan ke Bani Nadhir
dan memerintahkan mereka untuk keluar dari Madinah, bahkan Rasul saw memberi
waktu kepada mereka hanya sepuluh hari. Kemudian orang-orang munafik yang ada
di Madinah bersatu bersama orang-orang Yahudi dan mereka sepakat untuk
memerangi Islam. Namun ketika berhadapan dengan Islam, orang-orang Yahudi
menelan kekalahan. Kemudian turunlah surah al-Hasyr yang menyebutkan pengusiran
orang-orang Yahudi dan menyingkap kedok orang-orang munafik. Setelah kemenangan
yang meyakinkan ini, Rasul saw keluar bersama sahabatnya untuk membalas
kejadian yang menimpa sahabat-sahabatnya yang dikenal denganal-Qurra' itu. Rasul saw ingin mengembalikan kewibawaan Islam. Kemudian pasukan Rasul
saw itu mampu membuat para pengkhianat dari orang-orang Arab ketakutan. Hanya
sekadar mendengar nama pasukan Muslim, maka serigala-serigala gurun yang dulu
bengis itu pun ketakutan laksana tikus-tikus yang panik yang bersembunyi di
bawah lobang-lobang gunung. Orang-orang Quraisy mendengar kegiatan pasukan
Islam. Pasukan Quraisy menarik diri saat mereka mendekati Dahran, sementara
pasukan Muslim berada di Badar. Mereka menunggu pertemuan yang disepakati di
Uhud. Orang-orang Muslim menyala-kan api selama delapan hari sebagai bentuk
tantangan dan menunggu kedatangan kaum kafir sehingga ketika mereka (kaum
kafir) telah pergi, maka citra kaum Muslim pun terangkat setelah mereka
menerima kepahitan dalam peperangan Uhud.
Kaum Muslim menoleh ke arah utara jazirah
Arab setelah menetapkan kewibawaan mereka di selatan. Kabilah di sekitar
Daumatul Jandal dekat dengan Syam merampok di tengah jalan dan merampas kafilah
yang berlalu di situ, bahkan kenekatan mereka sampai pada batas di mana mereka
berpikir untuk menyerbu Madinah. Oleh karena itu, Rasulullah saw keluar bersama
seribu orang Muslim yang mereka bersembunyi di waktu siang dan berjalan di
waktu malam, sehingga setelah lima belas malam beliau sampai ke tempat yang
dekat dengan tempat tinggal musuh-musuh mereka lalu mereka menggerebek tempat
itu. Pasukan kafir itu dikagetkan dengan kedatangan kaum Muslim yang begitu
cepat.
Kita akan mengetahui bahwa alat komunikasi
yang dimiliki oleh Rasulullah saw sangat unggul sebagaimana alat pertahanan
beliau pun sangat unggul. Serangan mendadak yang dilakukan oleh pasukan
Rasulullah saw menunjukkan bahwa mereka memiliki pertahanan yang luar biasa.
Sistem pertahanan yang luar biasa sebagaimana kedatangan pasukan yang secara
tiba-tiba itu menunjukkan kemampuan pasukan Islam untuk menyusup.
Demikianlah, terjadilah hari-hari
pertempuran militer. Belum lama Nabi saw meletakkan baju besinya, dan beliau
kembali membangun pribadi kaum Muslim sehingga beliau terpaksa kembali memakai
baju besinya dan kembali berperang. Ketika musuh-musuh Islam yang berada di
sekelilingnya melihat bahwa kemampuan militer mereka tidak dapat menandingi
kemampuan kaum Muslim, maka mereka sengaja melakukan cara-cara baru untuk
memerangi Islam. Yaitu peperangan psikologis atau peperangan urat syaraf dengan
cara menyebarkan berbagai macam isu atau apa yang dinamakan Al-Qur'an al-Karim
dengan peristiwa al-Ifik (kebohongan). Setelah peperangan Bani Musthaliq yaitu peperangan yang
membawa kemenangan yang cepat bagi kaum Muslim, terjadilah kesalahpahaman dan
pertengkaran di antara sahabat-sahabat yang biasa mengambil air di mana salah
seorang mereka berteriak: "wahai kaum Muhajirin," dan yang lain
berteriak: "Wahai kaum Anshar."
Peristiwa yang sangat sepele itu
dimanfaatkan oleh pemimpin kaum munafik yaitu Abdullah bin Ubai. Abdullah bin
Ubai memprovokasi orang-orang Anshar untuk menyerang kaum Muhajirin. Ia ingin
membangkitkan luka-luka jahiliah yang lama yang telah dibuang dan telah dikubur
oleh Islam, Salah satu yang dikatakan oleh Ibnu Ubai adalah, "sungguh
mereka telah menyaingi kita dan mengambil kebaikan dari dan seandainya kita
telah kembali ke Madinah niscaya orang-orang yang mulai akan dapat mengusir orang-orang
yang hina di dalamnya."
Zaid bin Arqam menyampaikan kalimat si
munafik itu kepada Nabi saw, di mana kalimat itu berisi provokasi terhadap
orang-orang Anshar untuk menyerang kaum Muhajirin. Ubai menginginkan agar
mereka berpecah belah dan agar kesatuan mereka runtuh. Si Munafik itu segera
datang kepada Rasul saw dan menafikan apa yang dikatakannya. Orang-orang Muslim
secara lahiriah membenarkan perkataan si munafik itu dan mereka justru menuduh
Zaid bin Arqam salah mendengar. Tetapi hakikat peristiwa itu tidak tersembunyi
dari Nabi saw sehingga peristiwa itu sangat menyedihkan beliau. Lalu beliau
mengeluarkan perintah agar para sahabat pergi ke suatu tempat yang tidak
biasanya mereka lalui. Kemudian beliau pergi bersama sahabat di hari itu sampai
waktu malam menyelimuti mereka. Dan kini, mereka memasuki waktu pagi. Kepergian
yang singkat dan tiba-tiba itu mampu menepis kebohongan yang dirancang oleh si
Munafik, Abdullah bin Ubai. Yaitu kebohongan yang bertujuan untuk membakar
persatuan kaum Muslim ketika ia berusaha untuk menyalakan api di tengah-tengah
rumah sang Nabi saw.
Ketika Nabi masih memiliki kekuatan yang
menakutkan bagi yang mencoba melawannya, maka mereka pun melakukan berbagai
penipuan dan, makar. Dan salah satu yang menjadi obyek tipu daya itu adalah
istri beliau, yaitu Aisyah. Alkisah, Aisyah pada suatu hari pergi untuk
memenuhi hajatnya lalu dilehernya terdapat anting-anting. Setelah ia memenuhi
hajatnya, anting-anting itu terjatuh dari lehernya dan ia tidak mengetahui.
Ketika Aisyah kembali dari kafilah yang telah siap-siap untuk pergi, ia kembali
mencari kalungnya sampai ia menemukannya. Sementara itu orang-orang yang
membawanya dalam tandu (haudaj) mengira Aisyah sudah berada di dalamnya. Mereka
tidak ragu dalam hal itu karena memang berat badan Aisyah sangat ringan.
Pasukan Nabi berjalan dan membawa tandu,
sedangkan Aisyah tidak ada di dalamnya. Aisyah kembali dan tidak mendapati
pasukan di mana mereka telah pergi. Aisyah merasa heran atas kepergian pasukan
yang begitu cepat. Aisyah merasa takut saat ia berdiri sendirian di padang
gurun. Aisyah berusaha bersikap baik, ia duduk di tempatnya di mana di situlah
untanya duduk juga. Aisyah melipat-lipat pakaiannya sambil berkata dalam
dirinya: Mereka akan mengetahui bahwa aku tidak ada dan karena itu mereka akan
kembali mencariku dan akan menemukan aku.
Sementara itu, Sofwan bin Mu'athal juga
tertinggal karena ia melakukan keperluannya. Ia berjalan dari arah yang jauh
lalu ia melihat bayangan orang yang tidak begitu jelas. Sofwan mendekat dan
tiba-tiba ia mengetahui bahwa ia sedang berdiri di hadapan Aisyah. Ia melihat
Aisyah sebelum diwajibkannya perintah memakai hijab (jilbab) atas istri-istri
Nabi. Ketika melihatnya, Sofwan berkata: "Sesungguhnya kita milik Allah
SWT dan kepadanya kita akan kembali,... istri Rasulullah Aisyah tidak menjawab.
Sofwan mundur dan mendekatkan untanya
kepadanya sambil berkata: "Silakan Anda menaikinya." Aisyah pun
menaikinya. Kemudian Sofwan membawanya pergi dan mencari pasukan yang telah
meninggalkannya. Sementara itu, pasukan Nabi sedang beristirahat. Para sahabat
mengira bahwa Aisyah masih berada dalam tandu. Tiba-tiba mereka terkejut ketika
Aisyah datang kepada mereka bersama Sofwan yang menuntun untanya.
Tokoh munafik Abdullah bin Ubai segera
memanfaatkan kesempatan emas ini. Ia membuat kisah bohong yang terkesan menuduh
istri Nabi melakukan pengkhianatan. Abdullah bin Ubai pandai memilih beberapa
sahabat yang dikenalinya sebagai orang-orang yang mudah percaya dan cenderung
membenarkan hal-hal yang bersifat lahiriah, atau ia mengetahui bahwa di antara
mereka dan Aisyah terdapat kedengkian sehingga mereka suka jika tersebar
kebohongan yang berkenaan dengan Aisyah.
Demikianlah pemimpin munafik itu berhasil
menjerat beberapa sahabat dalam tali kebohongannya, di antaranya Hasan bin
Sabit. Musthah, dan seorang wanita yang dipanggil Hamnah binti Jahasv. yaitu
saudara perempuan Zainab binti Jahasy istri Rasulullah saw. Ketiga orang itu
tertipu dengan kebohongan tersebut lalu mereka menyebarkannya sehingga
orang-orang yang terjerat dalam kebo hongan itu mengatakan apa saja yang mereka
inginkan. Akhirnya. pasukan pun berguncang dengan isu itu. Sementara itu,
Aisvah tidak mengetahui sedikit pun tentang hal tersebut. Isu tersebut
bertujuan untuk menjatuhkan Islam dan melukai perasaan RasuhiHah saw dan itu
termasuk peperangan menentang Rasulullah saw dan ajaran yang dibawanya. Begitu
juga ia bertujuan menunjukkan bahwa kaum Muslim tidak konsekuen dengan akidah
yang mereka yakini dan secara tidak langsung ia juga menyerang kesucian rumah
tangga Aisyah.
Pasukan kembali ke Mekah dan Aisyah jatuh
sakit, namun ia tidak mengetahui isu-isu yang dikatakan tentang dirinya.
Kemudian Rasulullah saw mendengar hal itu sebagaimana ayahnya Abu Bakar dan
ibunya pun mendengarnya, namun tak seorang pun di antara. mereka yang
memberitahu Aisyah. Begitu juga Rasul saw tidak menceritakan peristiwa itu di
hadapan Aisyah. Namun sikap beliau berubah di mana beliau tidak lagi
menunjukkan perhatiannya seperti biasanya saat Aisyah sakit. Ketika beliau
menemui Aisyah dan saat itu ibunya ada di situ, beliau berkata: "Bagaimana
keadaanmu?" Beliau tidak lebih dari mengucapkan kata-kata itu. Ketika
Aisyah melihat perubahan sikap Rasul saw, ia mulai marah. Pada suatu hari ia
berkata pada Nabi: "Seandainya engkau mengizinkan aku, niscaya aku akan
pindah ke tempat ibuku." Beliau menjawab: "Itu tidak ada
masalah."
Aisyah pun pindah ke tempat ibunya dan ia
tidak mengetahui sama sekali apa yang sebenarnya terjadi padanya. Setelah
melalui lebih dari dua puluh malam, Aisyah sembuh dari sakitnya dan ia pun
belum mengetahui hal-hal yang dikatakan tentang dirinya. Umul mu'minin Aisyah
menceritakan bagaimana ia mengetahui isu bohong tersebut dan bagaimana Allah
SWT membebaskannya dari isu itu, ia berkata:
"Kami adalah kaum Arab di mana kami
tidak mengambil di rumah kami tanggung jawab ini yang biasa di ambil oleh
orang-orang Ajam. Kami membencinya. Kami keluar untuk menikmati keluasan kota.
Sementara itu para wanita keluar pada setiap malam untuk memenuhi hajat mereka.
Pada suatu malam, aku keluar bersama Ummu Musthah untuk memenuhi sebagian
keperluanku. Lalu ia berkata: "Tidakkah kau sudah mendengar suatu berita
wahai putri Abu Bakar?" Aku bertanya, "berita apa itu?" Lalu ia
memberitahukan padaku apa-apa yang dikatakan oleh para penyebar kebohongan. Aku
berkata: "Apa ini memang benar?" Ia menjawab: "Demi Allah, ini
benar-benar terjadi." Aisyah berkata: "Demi Allah, aku tidak mampu
memenuhi hajatku." lalu aku pulang. Demi Allah, aku tetap menangis sampai-sampai
aku mengira bahwa tangisanku akan merusak jantungku dan aku berkata kepada
ibuku, mudah-mudahan Allah SWT mengampunimu, banyak orang berbicara tentangku
namun engkau tidak menceritakan sedikit pun kepadaku. Ia berkata: "Wahai
anakku, sabarlah demi Allah jarang sekali wanita yang baik yang dicintai oleh
seorang lelaki yang jika ia memiliki istri-istri yang lain (madunya) kecuali
wanita itu akan diterpa oleh berbagai isu."
Aisyah berkata: "Rasulullah saw
berdiri dan menyampaikan pembicaraannya pada mereka dan aku tidak mengetahui hal
itu." Beliau memuji Allah SWT kemudian berkata: "Wahai manusia,
bagaimana keadaan kaum lelaki yang menyakiti aku melalui keluar gaku dan mereka
mengatakan sesuatu yang tidak benar. Demi Allah, aku tidak mengenal mereka
kecuali dalam kebaikan. Lalu mereka mengatakan hal itu pada seorang lelaki yang
aku tidak mengenalnya kecuali dalam kebaikan di mana ia tidak memasuki suatu
rumah dari rumah-rumahku kecuali ia bersamaku."
Kemudian Rasulullah saw memanggil Ali bin
Abi Thalib dan Usamah bin Zaid dan bermusyawarah dengan keduanya. Usamah hanya
melontarkan pujian dan berkata: "Ya Rasulullah aku tidak mengenal istrimu
kecuali dalam kebaikan dan berita ini hanya kebohongan dan kebatilan,"
sedangkan Ali berkata: 'Ya Rasulullah masih banyak wanita yang lain yang dapat
kau percaya." Kemudian Rasulullah saw memanggil Burairah dan bertanya
kepadanya, lalu Ali berdiri kepadanya dan memukulnya dengan keras sambil
berkata: "Jujurlah kepada Rasulullah saw," lalu wanita itu berkata:
"Demi Allah, aku tidak mengetahui kecuali kebaikan. Aku tidak pemah
mencela Aisyah kecuali pada suatu waktu aku sedang membikin adonan roti lalu
aku memerintahkannya untuk menjaganya namun Aisyah tertidur dan datanglah
kambing lalu adonan itu dimakan olehnya."
Aisyah berkata: "Kemudian datanglah
kepadaku Rasulullah saw dan saat tu aku bersama kedua orang tuaku dan seorang
wanita dari kaum Anshar. Aku menangis dan wanita itu pun turut menangis.
Rasulullah saw duduk lalu memuji Allah SWT dan berkata: "Wahai Aisyah,
sungguh kamu telah mendengar sendiri apa yang dikatakan orang-orang tentang
dirimu, maka bertakwalah kepada Allah SWT dan jika engkau telah melakukan
keburukan seperti yang diucapkan orang-orang itu, maka bertaubatlah kepada
Allah SWT karena sesungguhnya Allah SWT menerima taubat dari hamba-hamba-Nya."
Aisyah berkata, "demi Allah, itu tidak lain hanya kebohongan yang
dialamatkan kepadaku sehingga membuat air mataku kering. Aku sama sekali tidak
seperti yang mereka katakan," lalu aku menunggu kedua orang tuaku untuk
mengatakan tentang diriku namun mereka justru terdiam. Aisyah berkata,
"demi Allah aku merasa sebagai seorang yang hina yang tidak layak
diturunkan Al-Qur'an dari Allah SWT berkenaan denganku, tetapi aku hanya
berharap agar Nabi saw melihat kebohongan yang dialamatkan kepadaku itu
sehingga ia memastikan terbebasnya aku darinya."
Aisyah berkata: "Ketika aku tidak
melihat kedua orang tuaku berbicara aku berkata kepada mereka tidakkah kalian
menjawab apa yang dikatakan Rasuullah saw?" Mereka berkata: "Demi
Allah kami tidak mengetahui apa yang harus kami jawab." Aku mengetahui
bahwa aku bebas dari tuduhan itu. Tiba-tiba Rasulullah saw mengusap keringat
dari wajahnya sambil berkata: "Bergembiralah wahai Aisyah karena
sesungguhnya Allah SWT telah menurunkan ayat yang membebaskan kamu dari tuduhan
itu," lalu aku berkata: "Segala puji bagi Allah SWT." Kemudian
beliau keluar menemui para sahabat dan membacakan kepada mereka ayat berikut
ini:
"Sesungguhnya orang-orang yang
membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira
bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka
mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang
mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, maka baginya
azab yang besar. " (QS. an-Nur: 11)
Jibril turun kepada Nabi saw untuk
menyampaikan terbebasnya Aisyah dari segala tuduhan yang ditujukan kepadanya.
Dan gagallah peperangan psikologis menentang kaum Muslim dan rumah tangga
Rasulullah saw, dan kelompok-kelompok kafir meyakini bahwa mereka harus
menggunakan cara baru lagi untuk menentang Islam. Kemudian Rasulullah saw
kembali memasuki pergulatan menentang peperangan fisik. Peperang Khandaq
termasuk contoh peperangan fisik yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
Orang-orang Yahudi menyerahkan urasan mereka kepada kaum musyrik, dan
Dimulailah rangkaian persekongkolan dan sumpah di antara tokoh-tokoh Yahudi dan
pemimpin-pemimpin kaum musyrik, bahkan pendeta-pendeta Yahudi berfatwa bahwa
agama Quraisy yang disimbolkan dengan penyembahan berhala lebih baik daripada
agama Muhammad yang penyembahan hanya layak ditujukan kepada Tuhan Yang Esa
sebagaimana tradisi jahiliah lebih baik daripada ajaran Al-Qur'an.
Politik kaum Yahudi berhasil menyatukan
kelompok-kelompok orang kafir dan mengerahkannya untuk menentang kaum Muslim.
Kemudian mereka akan menyerang Madinah dengan jumlah kekuatan sepuluh ribu
tentara. Akhirnya, berita itu sampai ke Nabi saw. Beliau tidak heran ketika
mendengar orang-orang Yahudi bersatu—padahal mereka mempunyai azas agama yang
menyeru kepada tauhid—bersama kaum musyrik menentang agama tauhid. Nabi saw
mengetahui bahwa perjanjian telah lama membelenggu orang-orang Yahudi sehingga
hati mereka menjadi keras dan hari telah menjauhkan antara mereka dan sumber
yang jernih yang dipancarkan oleh Musa. Akhirnya, mereka menjadi buah yang
rusak yang kulitnya bergambar tauhid namun isinya bergambar kepahitan syirik.
Dan yang lebih penting dari itu adalah kesamaan kepentingan kaum Yahudi dan
kaum musyrik.
Nabi saw menyadari bahwa beliau sekarang
menghadapi ancaman dan pasukan yang besar. Pertempuran secara terbuka tidak
memberi keuntungan bagi Muslimin. Beliau mulai berpikir bagaimana cara
mempertahankan Madinah tanpa harus keluar darinya. Kali ini taktik militernya
berubah di mana sebelum itu beliau keluar dari Madinah dan menjauhinya serta
menyerang kelompok-kelompok yang berencana menyerbu Madinah. Kali ini bentuk
ancaman berbeda dan tentu pikiran Nabi pun berubah karena mengikuti perbedaan
ancaman itu.
Kemudian beliau mengadakan pertemuan
militer bersama para tentaranya. Beliau ingin mendengar berbagai usulan tentang
bagaimana cara mempertahankan Madinah. Lalu Salman al-Farisi mengusulkan agar
Nabi menggali suatu parit yang dalam di sekeliling Madinah yaitu parit yang
seperti bendungan alami yang dapat menahan laju banjir yang ingin maju, suatu
parit yang pasukan berkuda tidak akan mampu melewatinya dan kaum Muslim dapat
mempertahankan diri dari belakangnya. Mula-mula usulan itu terkesan agak
mustahil diwujudkan namun pada akhirnya Nabi menyetujui usulan Salman itu.
Melalui sensifitas militernya yang mengagumkan, beliau mengetahui bahwa situasi
cukup genting dan karenanya ia menuntut usaha keras untuk dapat melaluinya.
Nabi saw memerintahkan para sahabat untuk menggali parit di sekitar Madinah.
Pekerjaan itu sangat berat dan saat itu musim dingin di mana udara sangat
dingin. Di samping itu, kaum Muslim sedang mengalami krisis ekonomi yang
mengancam Madinah, meskipun demikian, penggalian parti tetap dilaksanakan,
bahkan Rasulullah saw terjun langsung untuk membuat galian dan memikul tanah.
Kaum Muslim dengan semangat yang luar
biasa dapat menyelesaikan penggalian parit itu meskipun kehidupan sangat keras
dan mereka merasakan kelaparan karena kekurangan harta. Namun semangat pasukan
Islam tetap meninggi. Mereka percaya akan datangnya kemenangan dan pertolongan
dari Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
"Dan tatkala orang-orang mukmin
melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata: 'lnilah yang
dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita.' Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya.
Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan
ketundukan." (QS. al-Ahzab: 22)
Pasukan Quraisy mulai mendekati Madinah
dan tiba-tiba Madinah berubah menjadi jazirah cinta di tengah-tengah lautan
kebencian, lautan itu mulai menghantam jazirah dan berusaha menenggelamkannya
dari dalam. Kemudian bertebaranlah panah-panah kaum Muslim untuk menghalau
pasukan kafir yang cukup banyak. Pasukankafir mulai berputar-putar di
sekeliling parit dalam keadaan bingung: apa gerangan yang telah dilakukan
pasukan Islam, bagaimana mereka dapat menggali parit ini?
Kuda-kuda musuh berusaha melalui parit itu
namun pasukan Muslim segera menyerangnya. Demikianlah peperangan Ahzab terus
berlangsung. Pada hakikatnya ia adalah peperangan urat syaraf. Pasukan musuh
mengepung Madinah selama tiga minggu di mana serangan demi serangan terus
dilakukan sepanjang siang dan mata mereka tetap terjaga sepanjang malam. Bahkan
saking dahsyatnya pertempuran itu sehingga kaum Muslim tidak mengetahui apakah
pasukan musuh berhasil menduduki Madinah atau tidak, dan apakah para musuh
berhasil menembus lubang yang mereka bangun? Allah SWT menggambarkan keadaan
peperangan Ahzab dalam firman-Nya:
"(Yaitu) ketiha mereka datang
kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketiha tidak tetap lagi
penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu
menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam persangkaan. Di situlah diuji
orang-orang mukmin dan digoncangkan hatinya dengan goncangan yang
dahysat."(QS. al-Ahzab: 10-11)
Keadaan semakin buruk di mana orang-orang
Yahudi membatalkan perjanjian mereka dengan kaum Muslim dan mereka bergabung
dengan al-Ahzab. Demikianlah Bani Quraizhah membatalkan perjanjiannya dan
mereka lupa terhadap pengkhianatan bani Nadhir dan pembalasan Nabi saw terhadap
mereka. Setiap hari keadaan semakin buruk.
Kaum Muslim benar-benar mengalami ujian
yang berat di mana pikiran mereka benar-benar kacau. Ketika keadaan mencapai
puncaknya kaum Muslim bertanya kepada Rasul saw, "apa yang harus mereka
katakan?" Rasulullah saw memberitahu agar mereka mengatakan: "Ya
Allah, kalahkanlah mereka dan tolonglah kami untuk mengatasi mereka."
Doa tersebut keluar dari mulut-mulut kaum
yang telah melaksanakan kewajiban mereka dan telah membuat mukjizat mereka
dalam menghalau serangan. Jadi, mereka tidak memiliki apa-apa selain doa dan
Allah SWT-lah Yang Maha Mendengar permintaan hamba-Nya dan Dia yang
mengabulkannya. Dia mengetahui orang yang melaksanakan kewajibannya dan akan
mengabulkan orang yang berdoa.
Akhirnya, kaum Muslim benar-benar
mendapatkan rahmat Allah SWT. Kemudian perjalanan pertempuran bergerak dengan
cara yang tidak bisa dipahami. Para penyerang menyadari bahwa mereka sebenamya
telah kalah di mana mereka telah menyerang selama tiga pekan namun serangan
tersebut tidak memberikan hasil apa pun. Mereka telah mencurahkan berbagai
upaya namun tanpa memberikan hasil yang diharapkan dan boleh jadi mereka akan
tetap begini selama tiga tahun.
Kemudian datanglah suatu malam di mana
kaum Muslim belum pernah melihat malam segelap itu dan angin sekencang itu,
bahkan saking kerasnya angin sampai-sampai suaranya laksana halilintar. Bahkan
saking gelapnya malam itu sehingga tak seorang pun di antara umat Islam yang
mampu melihat jari-jari tangannya atau berdiri dari tempatnya karena saking
dinginnya cuaca. Kemudian Nabi saw datang menemui Hudaifah bin Yaman. Beliau
tidak mampu melihatnya meskipun beliau berdiri di sebelahnya. Nabi saw
bertanya: "Siapa ini?" Hudaifah menjawab: "Aku adalah Hudaifah."
Nabi saw berkata: "Oh, kamu Hudaifah." Hudaifah tetap tinggal di
tempatnya karena ia khawatir jika ia berdiri ia akan tidak mampu karena saking
dinginnya dan akan menabrak Rasul saw. Rasul saw berkata kepada Hudaifah,
"Aku kehilangan berita penting tentang keadaan kaum yang menyerang
kita."
Hudaifah sebagai mata-mata dari pasukan
Islam merasakan ketakutan di mana ia tidak mampu menahan cuaca yang begitu
dingin, lalu bagaimana ia dapat berdiri dan keluar dari Madinah menuju ke
tempat pasukan musuh dan menyusup di tengah barisan mereka lalu kembali kepada
Nabi saw dengan membawa berita tentang mereka. Hudaifah bangkit dari tempatnya
ketika Nabi saw selesai dari pembicaraannya. Nabi saw memberikan doa kebaikan
kepadanya. Hudaifah pun pergi dan kehangatan keimanannya mengalahkan kegelapan
malam dan kedinginan cuaca. Ia keluar dari Madinah dan menyusup di
tengah-tengah pasukan musuh. Nabi saw memerintahkannya untuk tidak melakukan
tindakan apa pun selain mendapatkan berita dan kembali. Inilah tugas utamanya.
Hudaifah sampai di tengah-tengah musuh. Mereka berusaha menyalakan api namun
angin segera mematikannya sebelum menyala dan di dekat api itu terdapat seorang
lelaki yang berdiri sambil mengulurkan tangannya ke arah api dengan maksud
untuk menghangatkannya. Lelaki itu adalah pemimpin kaum musyrik yaitu Abu
Sofyan.
Melihat itu, Hudaifah segera memasang anak
panah pada busur yang dibawanya dan ia ingin memanahnya. Seandainya ia berhasil
membunuhnya, maka kaum Muslim dapat merasa tenang dengannya, namun ia ingat
pesan Rasulullah saw kepadanya agar ia tidak melakukan tindakan apa pun.
Kemudian ia kembali meletakkan anak panahnya dan menyembunyikannya.
Abu Sofyan berkata: "Wahai
orang-orang Quraisy situasi saat ini tidak menguntungkan bagi kalian, maka
pergilah kalian karena aku pun akan pergi." Abu Sofyan melompat ke atas
untanya lalu mendudukinya dan memukulnya sehingga unta itu bangkit.
Hudaifah kembali menemui Rasulullah saw
dengan membawa berita mundumya pasukan Ahzab dan gagalnya serangan mereka.
Ketika mendengar peristiwa penarikan mundur pasukan musuh, Rasulullah saw
berkata: "Sekarang kita akan menyerang mereka dan mereka tidak akan
menyerang kita." Belum lama pasukan Ahzab kembali ke negerinya dengan
tangan hampa sehingga beliau keluar dari Madinah bersama pasukannya menuju ke
kaum Yahudi Bani Quraizhah. Orang-orang Yahudi itu telah mengkhianati
peijanjian mereka bersama Nabi saw. Mereka menipu Islam di saat-saat genting.
Oleh karena itu, mereka harus membayar biaya pengkhianatan mereka sekarang.
Nabi saw memerintahkan agar para sahabat
tidak melaksanakan salat Ashar kecuali di Bani Quraizhah. Kaum Muslim memahami
bahwa perintah tersebut berarti mereka akan menerobos benteng kaum Yahudi
sebelum matahari tenggelam.
Orang-orang Yahudi menelan kekalahan pahit
lalu mereka datang kepada Sa'ad bin Mu'ad agar ia memutuskan perkara mereka.
Sa'ad adalah pemimpin kaum Aus dan kaum Aus adalah sekutu orang-orang Yahudi
Quraizhah di masa jahiliah. Kaum Yahudi mengharap bahwa mereka dapat
memanfaatkan hubungan yang terjalin selama ini sebagaimana kaum Aus
membayangkan bahwa tokoh mereka akan memberikan keringanan terhadap
sekutu-sekutu mereka. Sa'ad ketika itu terluka dan ia sedang dirawat di
kemahnya karena terkcna panah kauni Ahzab. Sebagian kaunmya membujuknya agar ia
bersikap baik terhadap orang-orang Yahudi, sekutu-sekutu mereka, dan
orang-orang Yahudi membujuknya agar ia bersikap lembut terhadap mereka.
Kemudian Sa'ad mengatakan pernyataannya yang terkenal: "Telah tiba
waktunya bagi Sa'ad untuk memutuskan hukum sesuai dengan kehendak Allah tanpa
peduli dengan celaan para pencela." Sa'ad memutuskan agar kaum lelaki
dibunuh dan keturunannya ditawan serta harta-harta mereka dibagi-bagikan. Nabi
pun menyetujui keputusan tegas Sa'ad itu. Beliau berkata kepadanya: "Sungguh
engkau telah memutuskan kepada mereka dengan keputusan Allah SWT dari tujuh
langit."
Sa'ad mengetahui bahwa perantaraan,
permohonan, harapan, dan menjaga berbagai pertimbangan lazim selayaknya berada
di suatu genggaman, dan masa depan Islam berada di genggaman yang lain. Yahudi
Bani Quraizhah adalah penyebab berkecamuknya peperangan Ahzab dan sumpah mereka
dan berbagai tipu daya mereka berusaha untuk memblokade Islam dan
menghancurkannya. Oleh karena itu, kini telah tiba saatnya untuk mencabut
pohon-pohon beracun dari akarnya tanpa memperdulikan kasih sayang.
Demikianlah kaum Yahudi dibersihkan dari
Madinah. Nabi saw kembali melanjutkan pergulatannya. Puncak dari perjuangan
politiknya adalah perjanjian yang beliau lakukan bersama orang-orang Quraisy.
Nabi saw berjalan untuk melaksanakan umrah dan mengunjungi Baitul Haram. Beliau
keluar bersama seribu empat ratus kaum lelaki yang bertujuan untuk berziarah ke
Baitul Haram guna melaksanakan umrah. Ketika mereka sampai di Hudaibiyah
pinggiran kota Mekah, tiba-tiba unta yang ditunggangi Nabi duduk dan ia tidak
mau melangkah menuju Mekah. Melihat itu para sahabat berkata: "Oh unta itu
malas." Nabi saw berkata: "Tidak Demikian namun ia ditahan oleh Zat
yang menahan laju gajah menuju Mekah. Sungguh jika hari ini orang Quraisy
membuat suatu rencana dan mereka meminta agar aku menyambung tali silaturahmi
niscaya aku akan menyetujuinya."
Nabi saw memerintahkan para sahabat agar
tetap tinggal di Hudaibiyah. Kaum Muslim beristirahat di sana dengan harapan
mereka dapat memasuki Mekah di waktu pagi. Peristiwa itu bertepatan dengan
bulan Haram. Mekah telah menetapkan agar tak seorang pun dari kaum Muslim dapat
memasukinya. Semua kaum Quraisy telah keluar untuk memerangi kaum Muslim.
Mereka mengutus utusan-utusan kepada Nabi saw lalu beliau memberitahu mereka
bahwa beliau tidak datang untuk berperang namun beliau ingin melakukan urnrah
sebagai bentuk pujian dan syukur kepada Allah SWT dan mengagumkan kemuliaan
rumah-Nya yang suci. Mekah menetapkan untuk melakukan perjanjian bersama kaum
Muslim di mana mereka menginginkan agar jangan sampai kaum Muslim memasuki
Baitul Haram pada tahun ini kecuali setelah mereka kembali pada tahun depan.
Datanglah juru runding kaum Quraisy lalu
Rasul saw menyambutnya dan mendengarkan ia menyampaikan syarat-syarat
perjanjian yang intinya pelaksanaan perdamaian dan penarikan mundur pasukan
Muslim. Nabi saw menyetujui semua syarat-syarat perjanjian meskipun tampak
bahwa perjanjian tersebut tidak menguntungkan kaum Muslim di mana itu dianggap
sebagai titik kemunduran politik dan militer kaum Muslim, dan yang menambah
kebingungan kaum Muslim adalah bahwa Rasul saw tidak melibatkan seseorang pun
dari kalangan sahabatnya untuk bermusyawarah dalam hal ini. Tidak biasanya
beliau bersikap demikian. Para sahabat menyaksikan beliau pergi menemui kaum
musyrik dan bersikap sangat lembut kepada mereka, dan beliau tidak kembali
kecuali membawa berita persetujuan dengan perjanjian yang di prakarsai
orang-orang musyrik, dan beliau pun membubuhkan tanda tangan di atasnya.
Para sahabat bergerak untuk menentang
Rasulullah saw. Mereka bertanya kepada beliau, "bukankah engkau utusan
Allah SWT? Bukankah kita kaum Muslim? Bukankah musuh-musuh kita kaum
musyrik?" Nabi saw hanya mengiyakan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Umar bin
Khatab kembali bertanya: "Mengapa kita harus menerima penghinaan dalam
agama kita?" Umar ingin mengungkapkan sesuai dengan bahasa kita saat ini,
"mengapa kita harus mundur kalau kita berada di atas kebenaran? Mengapa
kita menerima syarat-syarat perjanjian yang justru menguntungkan kaum musyrik?
Apakah kita takut terhadap mereka?"
Mendengar berbagai protes yang disampaikan
para sahabatnya, Rasul saw justru menyampaikan jawaban yang unik bagi mereka di
mana beliau berkata: "Aku adalah hamba Allah SWT dan Rasul-Nya dan aku
tidak mungkin menentang perintah-Nya dan Dia tidak mungkin akan menyia-nyiakan
aku." Makna dari kalimat beliau adalah, "taatilah apa yang telah aku
lakukan tanpa perlu memperdebatkannya dan hendaklah kalian sedikit bersabar."
Perjalanan hari menetapkan bahwa
perjanjian yang menimbulkan pro dan kontra di tengah-tengah sahabat itu justru
membawa kemenangan politik paling gemilang yang pernah dicapai oleh umat Islam.
Kemenangan tersebut diperoleh sebagai hasil dari kebijaksanaan sang Nabi saw
yang mengalahkan kelihaian politik kaum Quraisy. Kaum Quraisy telah memfokuskan
semua kelihaian-nya agar kaum Muslim kembali ke tempat mereka tanpa memasuki
Masjidil Haram pada tahun ini, namun hikmah Nabi saw justru mampu mencapai
pengelihatan yang tidak dapat dijangkau oleh kaum itu yang berkenaan dengan
masa depan. Jika saat ini perjanjian tersebut tampak membawa kekalahan bagi
kaum Muslim, maka setelah berlangsung beberapa bulan ia justru mendatangkan
kemenangan yang spektakuler.
Suhail bin Amr adalah wakil dari delegasi
kaum Quraisy dan Ali bin Abi Thalib adalah juru tulis dalam perjanjian itu dari
pihak Nabi saw. Rasulullah saw berkata kepada Ali: "Tulislah dengan nama
Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang." Utusan Quraisy berkata, aku
tidak mengenal ini. Tapi tulislah dengan nama-Mu, ya Allah. Rasulullah saw
berkata kepada Ali: "Dengan nama-Mu, ya Allah." Sikap keras kepala
utusan Quraisy itu tidak berarti sama sekali karena tidak ada perbedaan yang
mencolok antara dengan namamu Allah dan dengan nama Allah Yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang selain niat si pembicara.
Nabi saw berkata kepada Ali: "Ini
adalah perundingan antara Muhammad saw utusan Allah dan Suhail bin Amr."
Mendengar itu dengan nada menentang Suhail bin Amr berkata: "Seandainya
aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah niscaya aku tidak akan
memerangimu, tetapi tulislah namamu dan nama ayahmu." Nabi berkata kepada
Ali tulislah: "Inilah kesepakatan antara Muhammad bin Abdillah dan Suhail
bin Amr."
Tampaknya itu adalah kemunduran yang kedua
dan dengan pandangan yang sekilas tampak menjatuhkan kaum Muslim tetapi Nabi
saw ingin mewujudkan suatu tujuan yang penting yaitu tujuan yang belum
terungkap saat itu. Alhasil, semuanya terjadi dengan ilham dari Allah SWT. Ali
kembali menulis bahwa Muhammad bin Abdillah dan Suhail bin Amr sama-sama
sepakat untuk menghentikan peperangan selama sepuluh tahun di mana hendaklah
masing-masing mereka memberikan keamanan terhadap sesama mereka. Namun jika
terdapat di antara orangorang Quraisy seseorang yang masuk Islam lalu ia datang
kepada Muhammad saw tanpa izin walinya hendaklah kaum Muslim mengembalikannya
kepada kaum Quraisy. Sebaliknya, jika ada orang yang murtad dari sahabat
Muhammad saw, maka tidak ada keharusan bagi orang Quraisy untuk mengembalikannya
kepada Nabi.
Syarat tersebut sangat menyakitkan kaum
Muslim. Tampak bahwa orang-orang Quraisy memaksakan kehendaknya dalam
syarat-syarat perjanjian yang tidak adil itu. Ali melanjutkan tulisannya,
hendaklah Nabi saw pulang dari Mekah pada tahun ini dan tidak memasukinya dan
jika pada tahun depan orang-orang Quraisy keluar darinya, maka beliau dapat
memasukinya untuk melaksanakan umrah selama tiga hari dan setelah itu beliau
harus meninggalkannya. Persyaratan tersebut sangat merugikan kaum Muslim dan
terkesan membingungkan.
Di tengah-tengah perjanjian tersebut
terjadi suatu peristiwa yang menambah penderitaan dan kebingungan Muslimin di
mana anak dari juru runding Quraisy meminta perlindungan kepada kaum Muslim. Ia
masuk Islam dan ingin bergabung dengan kelompok Islam namun ayahnya, Suhail
segera bangkit menyusulnya bahkan memukulnya dan mengembalikannya kepada
kaumnya. Orang Mukalaf itu segera berteriak dan meminta pertolongan kepada kaum
Muslim agar mereka menyelamatkannya dari kejahatan kaum Quraisy sehingga mereka
tidak mengubah agamanya. Rasulullah saw berbicara kepadanya dan meminta
kepadanya untuk bersabar dan tegar dalam menanggung penderitaan karena Allah
SWT akan menjadikannya dan orang-orang yang sepertinya suatu jalan keluar dan
kelapangan. Nabi memahamkannya bahwa beliau telah mengadakan suatu peijanjian
dengan kaum Quraisy dan bahwa kaum Muslim tidak mungkin melanggar perjanjian
mereka.
Akhirnya, anak Muslim itu dikembalikan ke
Mekah dalam keadaan tersiksa. Kemudian Selesailah penandatanganan perjanjian
antara pihak kaum Muslim dan pihak kaum musyrik. Setelah penandatanganan
perjanjian itu, Rasulullah saw memerintahkan para sahabatnya agar mereka
memotong hewan kurban dan mencukur rambut mereka (tahalul) dari umrah mereka
dan kembali ke Madinah. Namun tak seorang pun bangkit menyambut perintah
tersebut, lalu beliau mengulangi perintahnya ketiga kali. Di tengah-tengah kaum
Muslim yang tampak membisu karena ketegangan dan kesedihan, beliau menyembelih
unta dan memanggil tukang cukurnya untuk mencukur rambutnya dan beliau tidak
berbicara dengan seorang pun. Ketika para sahabat mengetahui bahwa Nabi saw
tampak marah dan telah mendahului mereka dengan tahalul dari umrahnya, maka
mereka bangkit untuk menyembelih kurban dan memotong rambut mereka.
Perjalanan hari menunjukkan bahwa
perundingan tersebut tidak seperti yang dibayangkan oleh kaum Muslim. Ia justru
membawa kemenangan dan bukan kekalahan. Persatuan kaum kafir di jazirah Arab
mulai runtuh sejak mereka menandatangani perjanjian itu. Kaum Quraisy di anggap
sebagai pimpinan kaum kafir dan pembawa bendera penentangan terhadap Islam,
maka ketika tersebar berita perjanjian mereka bersama kaum Muslim, maka
padamlah fitnah-fitnah kaum munafik yang bekerja untuk mereka dan
bercerai-berAllah kabilah-kabilah penyembah patung di penjuru jazirah.
Saat aktivitas kaum Quraisy terhenti, maka
kaum Muslim mengalami peningkatan aktivitas di mana mereka berhasil menarik
orang-orang yang masih memiliki kemampuan untuk melihat kebenaran. Sejak dua
tahun dari masa penandatanganan perjanjian itu jumlah penganut Islam semakin
bertambah lebih dari jumlah sebelumnya. Bukti dari itu adalah, bahwa saat Rasul
saw keluar ke Hudaibiyah beliau ditemani dengan seribu empat ratus Muslim namun
ketika beliau keluar pada tahun penaklukan kota Mekah beliau disertai dengan
sepuluh ribu Muslim. Penaklukan kota Mekah terjadi setelah dua tahun dari
perundingan tersebut. Penambahan jumlah kaum Muslim yang luar biasa ini adalah
dikarenakan hikmah sang Nabi saw dan kejauhan pandangannya. Nabi saw keluar
sebagai pemenang dalam pergulatan politiknya, dan syarat-syarat yang tadinya
merugikan kaum Muslim kini telah berubah menjadi syarat-syarat yang merugikan
kaum Quraisy. Barangsiapa murtad dari kaum Muslim dan pergi ke kaum Quraisy,
maka hendaklah mereka melindunginya karena Allah SWT telah memampukan Islam
darinya, dan barangsiapa yang masuk Islam dari kaum kafir dan pergi ke kaum
Muslim, maka hendaklah mereka mengembalikannya ke kaum Quraisy di mana ia
tinggal di dalamnya sebagai mata-mata dari pihak Islam atau ia dapat lari dari
kaum Quraisy untuk menyatukan kelompok yang bertikai dan ia dapat hidup laksana
duri di tengah-tengah kaum Quraisy.
Belum lama waktu berjalan sehingga kaum
Quraisy mengutus utusannya kepada Nabi saw dan mengharap kepada beliau agar
melindungi orang Quraisy yang masuk Islam daripada membiarkan mereka sebagai
panah yang terbang menuju kaum Quraisy. Demikianlah kaum Quraisy justru
membatalkan syarat yang telah mereka diktekan dan Nabi saw pun menerimanya
dengan puas. Perundingan itu justru menguatkan barisan Nabi savv.
Demikianlah Nabi saw terus menjalani mata
rantai pergulatan yang tiada henti-hentinya di mana kehidupan beliau yang
pribadi sekali pun tidak sunyi dari penderitaan. Nabi saw menikahi sembilan
orang istri. Perkawinan beliau dengan sembilan istri tersebut merupakan
keistimewaan pribadi yang hanya beliau miliki karena berhubungan dengan
sebab-sebab dakwah Islam. Yaitu suatu dakwah yang membolehkan para pengikutnya
untuk menikahi empat orang istri dengan syarat jika yang bersangkutan mampu
menciptakan keadilan di antara mereka, dan ia menganjurkan untuk hanya puas
dengan satu istri jika seorang Muslim khawatir tidak dapat berbuat adil.
Kaum orentalis dan musuh-musuh Islam
mencoba untuk menghina Nabi dan memojokkannya, dan salah satu cela yang mereka
manfaatkan adalah perkawinan beliau dengan sembilan wanita. Kita mengetahui
bahwa pernikahan-pernikahan beliau terlaksana dengan sebab-sebab politik atau
kemanusiaan yang berhubungan dengan dakwah Islam. Dan yang terkenal dari
sejarah Nabi saw adalah bahwa beliau menikah dengan Sayidah Khadijah saat
beliau berusia dua puluh lima tahun dan Khadijah berusia empat puluh tahun.
Semasa hidup Khadijah beliau tidak menikahi istri yang lain sampai Khadijah
mencapai usia enam puluh lima tahun. Saat Khadijah meninggal, Nabi berusia di
atas lima puluh tahun. Beliau menikahi Khadijah sebelum beliau diutus untuk
menyebarkan Islam. Beliau tetap setia bersama Khadijah sampai ia meninggal dan
beliau diangkat menjadi Nabi. Namun beban kenabian dan beratnya jihad, kasih
sayangnya kepada manusia, pengorbanannya terhadap Islam dan perintah Allah SWT
semua itu memaksanya untuk menikah lebih dari satu orang istri sampai mencapai
sembilan orang istri. Perkawinan beliau dengan Aisyah yang saat itu masih belia
merupakan usaha untuk menjalin ikatan dengan Abu Bakar, ayah dari Aisyah dan
perkawinan beliau dengan Hafshah meskipun ia sedikit kurang cantik merupakan
usaha beliau untuk menjalin ikatan dengan Umar, ayahnya. Beliau juga menikah
dengan Ummu Salamah, janda dari pemimpin pasukannya yang mati syahid di jalan
Allah SWT dan wanita itu merasakan penderitaan bersama beliau saat hijrah di
Habasyah dan hijrah ke Madinah. Ketika suaminya meninggal dan ia sendirian
menghadapi berbagai persoalan kehidupan, maka Nabi saw segera merangkulnya di
rumah kenabian. Perkavvinan beliau dengan Sawadah sebagai bentuk penghormatan
terhadap keislaman wanita itu dan kemuliannya dari kaum lelaki serta
kesendiriannya dalam menjalani kehidupan. Sementara itu, pernikahan beliau
dengan Zainab bin Jahasy merupakan ujian berat bagi beliau di mana perintah
pernikahan itu datang dari Allah SWT untuk mengharamkan suatu tradisi yang
terkenal di kalangan jahiliah yaitu tradisi adopsi. Zainab termasuk kerabat
Rasul. Jadi ia termasuk dari kalangan bani Hasyim. Ia merasa bangga dengan
nasab yang dimilikinya yang karenanya ia menolak ketika ditawari untuk menikah
dengan Zaid bin Harisah, seorang budak Nabi yang telah beliau bebaskan, bahkan
nasabnya telah beliau nisbatkan kepada dirinya dan beliau telah mengadopsinya
sehingga ia dipanggil dengan sebutan Zaid bin Muhammad. Namun Zainab akhirnya
menyetujui pendapat Nabi dan perintah Allah SWT sehingga ia menikah dengan
Zaid:
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki
yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukimin, apabila Allah dan
Rasul-Nya telah menetaphan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang
lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhahai Allah dan Rasul-Nya,
maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata. " (QS. al-Ahzab: 36)
Sejak semula tampak jelas bahwa pernikahan
tersebut akan segera berakhir. Zainab tidak menyukai Zaid dan Zaid pun bukan
tipe lelaki yang mampu menahan kehidupan bersama seorang wanita yang hatinya
jauh darinya. Zaid datang kepada Nabi saw guna mengadu kepada beliau dan
meminta izin untuk menceraikan istrinya. Allah SWT mewahyukan kepada Rasul-Nya
agar membiarkan Zaid menceraikan istrinya, lalu hendaklah beliau menikahinya.
Nabi saw merasakan kesulitan yang luar biasa dan beliau berbicara kepada Zaid
agar ia terus melangsungkan kehidupannya dan bersabar. Nabi saw membayangkan
apa yang dikatakan manusia kepadanya bahwa ia menikahi istri dari anaknya
tetapi apa yang dikhawatirkan oleh Nabi saw justru merupakan sesuatu yang ingin
dihapus oleh Allah SWT. Zaid bukanlah anaknya dan dalam Islam tidak ada sistem
adopsi. Oleh karena itu, Zaid dapat mencerai istrinya lalu Nabi dapat menikahi
Zainab untuk menetapkan apa yang diinginkan oleh Islam. Rasulullah saw mampu
bersabar dan menahan diri saat mendengar berbagai ocehan yang akan dikatakan
oleh manusia kepadanya. Ini bukanlah pengorbanan pertama dan terakhir yang
beliau persembahkan untuk Islam. Berkenaan dengan itu, Allah SWT berfirman:
"Dan (ingatlah), ketika kamu berkata
kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga)
telah memberi nikmat kepadanya: 'Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada
Allah,' sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan
menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih
berrhak kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap
istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan kamu dengan dia supaya tidak ada
heberatan bagi orang-orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak angkat
mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dari
istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. " (QS. al-Ahzab: 37)
Pemikahan beliau dipenuhi dengan unsur
politik dan usaha untuk menyebarkan kebaikan dan rahmat serta penghormatan
nilai-nilai yang tinggi dan menggabungkannya di rumah kenabian. Sementara itu,
Ummu Habibah binti Abu Sofyan bin Harb, pemimpin Quraisy dalam memerangi Islam,
berhijrah bersama suaminya ke Habasyah.
Ia berhadapan dengan keterasingan dan
kekhawatiran dalam membela agama Allah SWT. Kemudian suaminya mati
meninggalkannya sendirian dalam menjalani kehidupan. Sikapnya yang mulia demi
menegakkan ajaran Islam dan hanya menentang ayahnya merupakan nilai lebih yang
menyebabkan Rasulullah saw tertarik untuk menggabungkannya di rumah kenabian.
Pada suatu hari, Abu Sofyan menemuinya
saat ia telah menjadi istri Rasulullah saw. Abu Sofyan ingin duduk di atas
tempat tidur Nabi lalu Ummu Habibah berusaha menjauhkan tempt tidur itu dari
ayahnya. Melihat sikap anaknya itu, ayahnya bertanya kepadanya: "Apakah
engkau mulai membenciku?" Dengan penuh keberaniaan ia menjawab: "Ini
adalah tempat tidur Rasulullah saw dan engkau adalah seorang musyrik, maka
engkau tidak boleh menyentuhnya."
Adapun Shofiyah binti Huyay adalah anak
seorang raja Yahudi. Sedangkan Juwairiyah binti Haris, ayahnya seorang pemimpin
kabilah Bani Musthaliq. Bani Musthaliq menelan kekalahan saat berhadapan dengan
kaum muslim lalu kedua anak perempuan raja dan pemimpin kabilah itu jatuh
menjadi tawanan. Pemikahan Nabi dengan kedua wanita itu terkesan dipaksa oleh
orang-orang yang kalah itu dan sebagai ajakan agar kaum Muslim memperlakukan
mereka dengan baik. Mula-mula kaum Muslim menolak untuk bersikap lembut
terhadap ipar-ipar Nabi, namun Nabi dengan kelembutan sikapnya ingin menyingkap
aspek kemanusiaan dalam peperangannya dan beliau mengisyaratkan kepada kaum
Muslim agar mereka menunjukkan persaudaraan sesama manusia. Peperangan itu
sendiri bukan sebagai tujuan namun ia sebagai usaha mempertahankan Islam dan
aspek tertinggi dari Islam adalah rahmat dan cinta.
Jadi Nabi saw menikahi wanita-wanita dari
orang-orang yang kalah itu dengan maksud agar kebebasan dan kemuliaan kembali
kepada keluarga mereka dan mereka dapat masuk Islam secara puas dan sukarela. Kemudian
beliau menikah dengan Maryam al-Qibtiyah. Muqauqis telah memberikannya kepada
Nabi sebagai budak di mana itu merupakan simbol tali kasih yang diisyaratkan
oleh Al-Qur'an antara Islam dan Masehi dan sebagai bentuk hukum bagi kaum
Muslim dengan dihalalkannya pernikahan dengan wanita-wanita ahlul kitab.
Maryam memberikan anak kepada Nabi saw
yang bernama Ibrahim, nama dari kakeknya, bapak para nabi. Namun Ibrahim tidak
hidup lama. Ia meninggal saat masih menyusu. Kematiannya merupakan ujian bagi
Nabi dan sebagai isyarat dari Ilahi bahwa pewaris-pewaris Rasul dari kaum pria
adalah para pengikut Al-Qur'an dan para pembawa Islam, bukan anak-anak dari
sulbinya.
Salah jika ada orang yang membayangkan
bahwa Rasul saw mempunyai banyak waktu untuk mencari kesenangan meskipun halal.
Kesenangan diperbolehkan bagi orang lain namun beliau lebih memilih untuk
merasakan penderitaan berjihad, menegakkan hukum, dan kesabaran. Salah jika ada
orang yang membayangkan bahwa Rasul saw hidup di rumahnya dengan keadaan ekonomi
yang lebih baik daripada orang yang termiskin dari kalangan Muslim di zamannya.
Kehidupan beliau di rumahnya penuh dengan
kezuhudan yang luar biasa sehingga sebagian istrinya mengeluhkan keadaan
tersebut. Di antara mereka ada yang berasal dari keluarga yang kaya seperti
keluarga Abu Bakar atau keluarga Umar bahkan sebagian istrinya bersatu untuk
meminta kepada beliau agar beliau menambah nafkah mereka sehingga Nabi
meninggalkan istri-istrinya, lalu tersebarlah isu yang menyatakan bahwa beliau
telah menceraikan semua istrinya. Kemudian turunlah ayat Takhyir (yaitu ayat yang memberikan pilihan kepada
istri-istri Nabi untuk tetap menjadi istri beliau atau diceraikannya). Turunlah
Al-Qur'an al-Karim memberikan pilihan pada istri-istri Nabi antara menjalani
kehidupan di rumah kenabian dengan penuh kesederhanaan atau menerima
perceraian. Allah SWT berfirman:
"Hai Nabi, katakanlah kepada
istri-istrimu: 'Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya,
maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah dan aku ceraikan kamu dengan cara
yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya
serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka Sesungguhnya Allah menyediakan siapa
yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar. " (QS. al-Ahzab: 28-29)
Selesailah fitnah. Demikianlah pergulatan
di rumah Rasul saw. Akhirnya, istri-istri beliau memilih kehidupan zuhud dan
bersabar serta akhirat daripada kehidupan dunia. Permintaan istri-istri nabi
tidak melebihi hal-hal yang bersifat mubah, namun Rasul saw merupakan teladan
bagi seluruh umat, karena itu beliau harus menjadi teladan bagi umat sehingga
beliau dapat menjadi cermin tertinggi yang layak diemban oleh seorang yang
memegang tampuk kepemimpinan Muslimin. Allah SWT telah membalas pengorbanan istri-istri
Nabi saw dalam bentuk mengangkat kedudukan mereka dan menjadikan mereka sebagai
ibu dari kaum mukmin. Allah SWT berfirman:
"Nabi itu (hendaknya) lebih utama
bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah
ibu-ibu mereka." (QS. al-Ahzab: 6)
Dan, sebagai penegasan terhadap keibuan
spiritual ini, Islam mewajibkan hijab yang teliti kepada mereka, yaitu suatu
hijab yang tidak diberlakukan seperti itu kepada Muslimah-Muslimah lain. Nabi
saw melanjutkan dakwahnya. Beliau mengirim surat ke raja-raja dan para penguasa
di mana beliau ingin menunjukkan universalitas ajaran Islam. Nabi saw mengajak
Kaisar Romawi untuk mengikuti Islam, lalu beliau mengirim utusan ke Amir
Damaskus mengajaknya untuk memeluk Islam, dan beliau mengutus utusan ke Amir
Basrah bagian dari wilayah Romawi dan mengajaknya untuk mengikuti Islam, dan
beliau juga mengirim surat ke penguasa Qibti dan mengajaknya untuk masuk Islam,
dan beliau juga menulis surat ke Kisra, Raja Persia dan mengajaknya untuk
mengikuti Islam. Beliau juga mengirim utusan ke Amir Bahrain dan mengajaknya
untuk mengikuti Islam.
Lalu berbagai reaksi disampaikan berkenaan
dengan surat-surat Nabi itu. Di antara mereka ada yang berusaha menyampaikan
kepada pembawa surat bahwa ia masuk Islam dan mengembalikannya dengan hadiah,
dan di antara mereka ada yang merobek-robek surat itu dan di antara mereka ada
yang membalas surat itu dengan jawaban yang baik, dan di antara mereka ada yang
menerima kebenaran. Demikianlah hari berlalu dalam pergulatan yang tidak pernah
padam, suatu pergulatan yang dipimpin oleh Nabi sehingga beliau menaklukkan
Mekah dan menyucikan jazirah Arab. Akhirnya, manusia masuk dalam agama Allah
SWT dalam keadaan berbondong-bodong, dan Allah SWT menyempurnakan agama bagi
kaum Muslim dan Nabi saw melaksanakan haji wada' (haji yang terakhir) dan
turunlah kepada beliau wahyu di Arafah sebagaimana firman-Nya:
"Pada hari ini telah Ku-sempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Ku-ridhai Islam itujadi agama bagimu. " (QS. al-Maidah: 3)
Ayat tersebut dibacakan kepada Abu Bakar
sehingga ia menangis. Allah SWT merasa bahwa telah tiba waktunya untuk
mengakhiri misi Rasul-Nya. Aisyah berkata kepada anak-anak yang berteriak dan
bermain-main di luar rumah: "Diamlah kalian karena Rasulullah saw sedang
sakit." Anak-anak itu pun terdiam dan mereka merasakan ketakutan yang luar
biasa. Pada hari-hari terakhir, Rasulullah saw tidak lagi bercanda dengan
mereka sebagaimana yang biasa beliau lakukan.
Mereka memperhatikan bahwa kepucatan yang
aneh menyelimuti Nabi saw yang biasanya wajah beliau dipenuhi dengan senyuman
hingga wajahnya laksana lempengan emas. Nabi saw yang terakhir masuk dalam
rumahnya dan hampir saja beliau tidak kuat menahan langkah kedua kakinya. Beliau
memasuki rumahnya dan bersandar kepada tangan Fadl bin Abbas dan Ali bin Abu
Thalib. Beliau merasakan keletihan dan kesakitan. Kemudian Aisyah menidurkan
beliau di atas ranjangnya yang kasar dan Aisyah meletakkan tangannya di atas
kening beliau. Kepala beliau tampak panas karena saking hebatnya demam. Aisyah
berkata dalam keadaan kedua matanya mengucurkan air mata, "demi ayah dan
ibuku, ya Rasulullah apakah engkau merasakan sakit?" Nabi saw tersenyum
untuk menenangkan Aisyah lalu beliau tertidur. Kemudian mengalirlah dalam
memori Nabi saw berbagai gambar hidup: Jibril turun kepada beliau dengan
membawa wahyu di gua Hira. Beliau telah melewati waktu yang diberkati selama
dua puluh tiga tahun, yang sekarang tampak seperti mimpi. Bahkan empat puluh
tahun yang mendahuluinya tampak seperti gambar yang hanya dilukis sesaat.
Segala sesuatu menjadi mudah bagi Allah
SWT dan Rasulullah saw telah berhasil melalui berbagai penderitaan dengan penuh
kesabaran, bahkan beliau tidak pernah mengeluh sekali pun. Beliau mengajarkan
akidah kepada para pengikutnya dengan penuh kemantapan. Akhirnya, Islam menjadi
mulia dan benderanya semakin berkibar. Kemudian beliau bangun karena melihat
tangisan yang tersembunyi dari Aisyah. Beliau membuka kedua matanya dan melihat
wajah Aisyah sambil beliau sendiri berusaha melawan rasa pusing, demam, dan
sakit yang dirasakannya. Beliau kembali tersenyum untuk menenangkan Aisyah dan
beliau kembali memejamkan matanya dan tidak sadarkan diri. Apa gerangan yang
menyebabkan Aisyah menangis? Tidakkah Allah SWT memahkotai jihad Nabi saw yang
berat dengan penaklukan Mekah dan penyucian Baitul Haram?
Berbagai gambar hidup dan aktual
melayang-layang dalam memori Nabi saw. Beliau mengingat bagaimana tindakan
orang Quraisy ketika membantalkan perjanjian Hudaibiyah dan mereka memerangi
Khaza'ah yang saat itu bersekutu dengan kaum Muslim dan akhirnya mereka
membunuh semua sekutu kaum Muslim di Baitul Haram. Kemudian beliau berjalan
bersama pasukan yang berjumlah sepuluh ribu di mana semua pasukan telah siap, dan
tentara Muslim turun dari gunung Mekah laksana air bah yang tidak berhenti
sedikit pun. Telah lewatlah masa para pembawa tombak, panah, dan pedang; telah
lewatiah masa di mana Rasulullah saw memimpim pasukan yang di dalamnya terdapat
kaum Muhajirin dan Anshar. Di tengah-tengah pasukan besar tersebut yang
berhasil menaklukkan Mekah, Nabi saw menunggangi untanya dan beliau menundukkan
kepalanya dengan penuh rendah diri di hadapan Allah SWT sampai-sampai kepalanya
hampir menyentuh punggung unta yang dinaiki. Pintu Mekah terbuka untuk pasukan
ini.
Para pemimpin Mekah dan pengikut-pengikut
mereka menyerahkan diri. Kalimat Allah SWT semakin meninggi di dalamnya. Nabi
saw memasuki Baitul Haram lalu beliau berkeliling di sekitar Ka'bah. Beliau
menghancurkan berbagai patung yang berbaris di sekitarnya, lalu beliau
memukulnya dengan kampaknya. Kemudian patung-patung itu berjatuhan dan hancur.
Setelah beliau membersihkan masjid dari berbagai patung dan mengembalikannya
sebagaimana yang diciptakan oleh Allah SWT sebagai rumah tauhid yang mutlak,
beliau menoleh kepada orang Quraisy dan memaafkan mereka dan mengajak mereka
untuk kembali ke jalan Allah SWT. Kemudian tibalah waktu salat, lalu Bilal naik
di atas punggung Ka'bah dan mengumandangkan Azan. Penduduk Mekah mende-ngarkan
panggilan baru ini di mana gemanya berputar-putar di antara gunung:
"Allah Maha Besar. Aku bersaksi bahwa
tiada Tuhan selain Allah. Aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah. Marilah
melaksanakan salat. Marilah menuju keberuntungan. Allah Maha Besar. Tiada Tuhan
selain Allah."
Akhirnya, rumah itu dikembalikan
kehormatannya dan kemuliannya. Kemudian lagi-lagi arus berbagai gambar
terlintas dalam memorinya: itulah peperangan Hunain dengan kekalahannya,
kemenangannya, dan ganimahnya; Itulah Nabi saw yang memberikan ganimah terhadap
orang-orang yang bergabung dengan Islam hanya dua hari dari penduduk Mekah, dan
mencegah untuk memberi ganimah Hunaian kepada kaum Anshar yang telah memberikan
segalanya untuk Islam. Salah seorang di antara mereka berkata: "Demi
Allah, Rasulullah saw telah menemui kaumnya." Sa'ad bin 'Ubadah berjalan
ke arah Rasulullah saw dan memberitahunya bahwa kaum Anshar sedang marah. Rasul
saw bertanya: "Mengapa marah?" Sa'ad menjawab: "Mereka protes
saat engkau membagikan ganimah ini pada kaummu dan pada seluruh orang Arab
namun mereka tidak mendapatkan apa-apa." Rasulullah saw bertanya kepada
Sa'ad bin Ubadah: "Kamu sendiri bagaimana pendapatmu wahai Sa'ad?"
Sa'ad berkata: "Aku tidak lain kecuali seseorang dari kaumku."
Rasulullah saw berkata: "Kumpulkanlah kepadaku kaummu untuk masalah yang
penting ini dan jika kalian telah berkumpul, maka beritahulah aku."
Sa'ad mengumpulkan seluruh kaum Anshar
lalu ia memberitahu Rasul saw bahwa ia telah mengumpulkan mereka. Rasulullah
saw keluar menemui mereka dan berdiri di hadapan mereka sambil memuji Allah SWT
dan kemudian berkata: "Wahai orang-orang Anshar, tidakkah aku datang
kepada kalian saat kalian dalam keadaan sesat lalu Allah SWT memberikan
petunjuk kepada kalian, dan kalian menjadi orang-orang yang fakir lalu Allah
SWT memampukan kalian, dan kalian dalam keadaan bermusuhan lalu Allah SWT
menyatukan hati kalian?" Mereka menjawab: "Benar." Rasulullah
saw berkata: "Mengapa kalian tidak menjawab wahai kaum Anshar?" Mereka
berkata: "Apa yang kita akan katakan wahai Rasulullah dan dengan apa kita
akan menjawabnya. Sungguh segala karunia hanya milik Allah SWT dan
Rasul-Nya."
Rasulullah saw berkata: "Demi Allah,
seandainya kalian mau niscaya kalian akan mengatakan dan benar apa yang kalian
katakan: Engkau datang kepada kami sebagai seorang yang terusir, maka kami
melingdungimu dan engkau datang dalam keadaan miskin lalu kami menghiburmu dan
engkau datang dalam keadaaan ketakutan lalu kami mengamankanmu dan engkau
datang dalam keadaan teraniaya lalu kami menolongmu." Mereka berkata:
"Segala puji dan karunia bagi Allah SWT dan Rasul-Nya." Rasulullah
saw berkata: "Wahai kaum Anshar, apakah kalian akan marah terhadap harta
yang telah aku berikan kepada suatu kaum dengan harapan agar keimanan meresap
dalam hati mereka dan kalian justru melupakan karunia yang telah Allah SWT
berikan kepada kalian dalam bentuk nikmat Islam. Tidakkah kalian wahai kaum
Anshar merasa puas ketika manusia pergi untuk melakukan perjalanan di musim
dingin sedangkan kalian pergi dengan Rasulullah saw. Maka demi Zat yang jiwaku
di tangan-Nya, seandainya manusia melalui suatu jalan dan kaum Anshar melalui
jalan yang lain niscaya aku akan melalui jalan kaum Anshar. Ya Allah,
rahmatilah kaum Anshar dan anak-anak kaum Anshar dan cucu kaum Anshar."
Mendengar doa itu, kaum tersebut menanggis
sehingga jenggot mereka terbasahi dengan air mata dan mereka berkata:
"Kami rela dengan Allah SWT sebagai Tuhan dan sangat puas dengan pembagian
Rasulullah saw." Kemudian Nabi saw pun meninggalkan mereka dan mereka
pergi dalam keadaan puas. Orang-orang Anshar memahami bahwa Muslim yang hakiki
di dunia adalah seorang yang datang di dunia untuk memberi, bukan untuk
mengambil. Nabi saw terbangun dan beliau mendapati dirinya sendirian di kamar.
Suhu tubuh beliau meningkat karena demam, lalu beliau memanggil Aisyah dan
meminta kepadanya untuk membawa air yang dapat digunakannya untuk mendinginkan
tubuhnya. Aisyah mulai menuangkan air kepada Rasulullah saw sampai demam beliau
berangsur-angsur sedikit menurun. Tampak bahwa waktu berlalu cukup lambat dan
berat. Sakit Rasulullah saw semakin meningkat.
Beliau mulai merasa bahwa tidak mampu lagi
untuk salat bersama para sahabat, lalu beliau memerintahkan Abu Bakar untuk
salat bersama mereka. Pada saat Nabi mengalami antara keadaan terjaga dan
tidur, beliau selalu berpikir apa gerangan yang belum disampaikannya kepada
manusia. Beliau telah menyampaikan segala sesuatu dan telah mengajari mereka
segala sesuatu serta telah meninggalkan sebuah Kitab yang siapa pun berpegangan
dengannya ia tidak akan sesat.
Rasul saw mulai mengantuk dan berbagai
nostalgia terlintas di kepalanya. Beliau melihat dirinya di haji Wada'.
Selesailah perjanjian yang diberikan kepada kaum musyrik dan mereka telah
dilarang untuk memasuki Masjidil Haram dan sekarang Nabi saw keluar sebagai
pemimpin haji dan mengajari kaum Muslim cara manasiknya. Rasulullah saw
memperhatikan ribuan orang-orang yang bertauhid saat mereka menuju Baitul Haram
dalam keadaan memenuhi panggilan Tuhan dan tunduk kepadanya. Mereka menghidupkan
memori kakek mereka, Ibrahim Khalilullah. Nabi saw berdiri dan berpidato di
tengah-tengah keramaian itu. Nabi saw mulai merasakan bahwa kehidupannya di
dunia sebentar lagi akan berakhir. Beliau mengetahui bahwa kafilah ini akan
pergi sendirian dalam menjalani kehidupan. Beliau kembali menanamkan
nilai-nilai Islam dan wasiat dakwah di jalan Allah SWT. Setelah berjuang selama
dua puluh tiga tahun menegakkan agama Allah SWT, beliau bertanya kepada mereka:
"Apakah aku telah menyampaikan amanat Tuhan?" Lalu manusia yang hadir
saat itu menyatakan bahwa beliau benar-benar telah menyampaikan dakwah. Beliau
memanggil Mu'ad bin Jabal dan mengajarinya bagaimana berdakwah kepada manusia
di jalan Allah SWT dan bagaimana mengenalkan agama kepada mereka.
Kemudian beliau berwasiat kepadaa Mu'ad
saat ia menunggangi kendaraannya sedangkan Rasulullah saw beijalan di sebelah
untanya: "Sesungguhnya orang yang paling utama di sisiku adalah
orang-orang yang bertakwa, siapa pun mereka dan di mana pun mereka." Nabi
saw adalah rahmat bagi semua manusia dan sebagal cermin yang tertinggi dari
cermin persaudaraan dan kepatuhan. Beliau menegakkan Al-Qur'an di tengah-tengah
umat Islam namun beliau menolak segala bentuk penampilan yang biasa melekat
pada seorang penguasa atau raja atau pemimpin apa pun. Beliau berkata kepada
para sahabatnya: "Aku hanya seorang hamba Allah SWT dan Rasul-Nya."
Beliau keluar menemui sekelompok
sahabatnya lalu sebagai bentuk penghormatan kepada beliau mereka berdiri.
Kemudian beliau memerintahkan kepada mereka agar tidak berdiri. Ketika beliau
keluar untuk menemui sahabat-sahabatnya dan murid-muridnya, maka beliau duduk
bersama mereka di tempat terakhir yang ditemukannya. Beliau sangat bersahabat
dan ramah dengan para sahabatnya, bahkan beliau bercanda dengan anak-anak
mereka dan mendudukkan mereka di ruangannya. Beliau memenuhi panggilan orang
dewasa maupun anak-anak. Beliau membesuk orang-orang yang sakit meskipun berada
di tempat yang jauh. Beliau menerima alasan orang yang mempunyai uzur. Beliau mendahului
orang yang ditemuinya dengan salam bahkan beliau mendahului berjabat tangan
dengan para sahabatnya.
Ketika seseorang datang untuk menemuinya
saat beliau salat, maka beliau mempersingkat salatnya dan menanyakan keperluan
orang itu. Setelah menyelesaikan keperluan manusia, beliau kembali
menyelesaikan shalatnya. Beliau selalu menebar senyum kepada kawan dan lawan
dan memiliki kepribadian yang paling baik. Ketika beliau berada di rumahnya,
beliau melayani keluarganya. Beliau mencuci bajunya. Beliau memperbaiki
sandalnya dan memberi minum unta. Beliau makan bersama pembantu. Beliau
memenuhi kebutuhan orang yang lemah, orang yang sedih, dan orang yang miskin.
Bahkan kebaikan beliau dan kasih sayangnya sampai pada tingkat di mana beliau
membiarkan cucunya menaiki punggungnya saat beliau sedang shalat.
Kasih sayang beliau tidak hanya terbatas
kepada manusia bahkan juga tertuju pada binatang dan pohon. Beliau memberi
makan binatang dengan tangannya sendiri bahkan beliau pernah merawat anjing
yang sakit. Beliau memerintahkan pasukan Islam saat berperang demi menegakkan
keadilan Islam agar mereka tidak membunuh anak kecil, orang tua, kaum wanita
dan hendaklah mereka tidak mencabut pohon dan tidak pula merobohkan rumah.
Apa yang dibawa oleh Nabi saw bukan hanya suatu
undang-undang yang mengatur hubungan antara manusia dan manusia yang lain, dan
apa yang dibawa oleh Nabi saw bukan hanya berisi suatu sistem untuk
meningkatkan kualitas kehidupan dan kemajuannya, ini semua adalah hal relatif
namun beliau datang dengan membawa peradaban yang abadi yang mengatur hubungan
antara manusia dan alam, dan mengembalikan keserasian di alam wujud sehingga
semua berjalan secara seimbang dan mencapai kesempurnaan menuju Allah SWT.
Meskipun pada titik terakhir dari kehidupannya, beliau masih sibuk mengurusi
masa depan dakwah dan beliau sangat cemas terhadap masa depan agama dan sangat
peduli dengan problema kaum Muslim. Beliau khawatir suatu saat Islam hanya
tinggal namanya namun hakikatnya telah lenyap. Namun sebelum beliau meninggal,
Allah SWT telah memperlihatkan kepada beliau sesuatu yang membuat hati beliau
menjadi tenang. Dan di hari Senin dari bulan Rabiul Awal yang mulia, beliau
kembali kepada Tuhannya dalam keadaan ridha dan diridhai.
Salam kepadamu ya Rasulullah dan kepada keluarga
serta sahabat yang setia bersamamu.♦
0 komentar:
Posting Komentar